KAKEK berusia 75 tahun itu sabar menunggu. Wajahnya sudah banyak berubah sejak pertemuan terakhir sekira satu setengah tahun silam. Senyum lepas menyungging di bibirnya yang kini tak ditemani gigi ketika dia akhirnya kedatangan tamu yang ditunggunya.
Selain sibuk di organisasi Ratu Adil (Rakyat Bersatu Bertindak berdasarkan Agama dan Ilmu), Efendi Saleh, kakek tadi, dan keluarganya sedang aktif menuntut ganti-rugi kepada Yayasan Saint Carolus. Menurutnya, sebagian lahan RS Carolus di jalan Salemba merupakan lahan rumah neneknya, Nyi Metrasari Raden Sukaesih, di mana dulu dia ikut tinggal, yang diambil paksa penguasa Orde Baru. “Kita lagi sedang berperkara,” katanya sambil tertawa kecil. Kisah persengketaan keluarganya dengan Yayasan Saint Carolus menyeruak tak lama setelah Prahara 1965.
Baca juga:
Tragedi 1965?
Menjernihkan Pemahaman Tragedi 1965
Pada masa pemerintahan Sukarno, Yayasan Saint Carolus meminati lahan tempat tinggal neneknya yang terletak persis di samping RS Saint Carolus. Yayasan lalu melakukan berbagai upaya. Setelah upaya membeli tak berhasil, yayasan pernah berusaha menukar guling lahan milik neneknya dengan lahan di Jalan Raden Saleh, Jakarta. “Itu sudah ada surat-suratnya, mau dikasih,” ujar Efendi.
Tapi upaya yayasan itu selalu bertepuk sebelah tangan. Sukaesih tak pernah tertarik melepas lahannya. Meski tak jelas apa alasannya, penolakan yang memercikkan bibit api dalam sekam itu sangat mungkin terkait dengan faktor historis lahan itu yang kisahnya membentang 40 tahun ke belakang dari saat itu.
Pada 1926, bersama adiknya yang bernama Poeradisastra (ayah sastrawan Saleh Iskandar Poeradisastra atau lebih dikenal dengan Buyung Saleh), Sukaesih ikut ambil bagian dalam pemberontakan petani melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda di Cilegon. “Dia (Poeradisastra, red.)yang mendapat tugas mengorganisasi orang dari Ciamis ke Banten,” kata Saleh.
Suami ketiga Sukaesih, seorang tentara Belanda bernama Johannes Hermanus Philippo, diam-diam ikut bersumbangsih dengan memberi bantuan. Tapi dia ketahuan dan dipecat sementara Sukaesih di-Digul-kan.
Peran itulah yang membuat pemerintah republik kemudian membalas jasa Sukaesih dengan penghargaan sebagai perintis pergerakan kemerdekaan. Selain itu, negara memberinya sebidang tanah di Jalan Minangkabau. Semantara, tanah di Jalan Salemba Raya 35 merupakan hibah dari seorang pegawai Departemen Pekerjaan Umum.
Baca juga:
Kontestasi Dua Narasi dalam Peristiwa 1965
Setengah Abad Historiografi G30S dan Dua Solusi Kasus Genosida 1965
Oleh Sukaesih tanah di Manggarai dijadikan usaha toko bahan bangunan, sementara yang di Salemba seluas 800-an meter persegi untuk tempat tinggal. Tanah yang bentuknya memanjang ke belakang itu berdampingan dengan kantor dan gudang milik BAT (British American Tobacco) di sebelah kanan dan RS Saint Carolus di sebelah kirinya.
Efendi dan orangtuanya ikut tinggal di situ. Kamar Efendi menempati bagian belakang bungalo yang terletak paling belakang. Teman-temannya biasa main ke situ. Efendi aktif membantu perguruan silat yang didirikan ayahnya. Perguruan silat yang didirikan Adang Saleh (ayah Efendi) itu bernaung di bawah Persatuan Pencak Silat Seluruh Indonesia.
Mereka biasa berlatih di halaman rumah atau lapangan di belakang Perguruan Rakyat yang terletak di samping gudang BAT. Perguruan Rakyat menjadi tempat Efendi sekolah dan Sukaesih bekerja sebagai bendahara. Menurut Ruth McVey dalam Teaching Modernity: The PKI as an Educational Institution, para pemimpin PNI Batavia mendirikan perguruan itu pada 1928.
Tanah itulah, termasuk milik Sukaesih, yang diminati Yayasan Saint Carolus. Yayasan kemungkinan membutuhkannya untuk memperluas rumahsakit. “Carolus punya rencana banyak, sejak lama itu. Tapi kebentur sama kita,” ujarnya.
G30S, yang diikuti oleh perubahan peta politik nasional, ikut mengubah keadaan di daerah itu. Semua yang “berbau” kiri dan Sukarnois mulai “diburu” dan “digebuk”. Mahasiswa antikomunis, antara lain dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), menjadi aktor terpenting. Tentara memasok segala kebutuhan mahasiswa. Pihak-pihak antikomunis ikut mendukung. “Nasi bungkus untuk mahasiswa itu keluar dari dapurnya Saint Carolus. Karena saya bersebelahan, saya tahu keluarnya nasi bungkus itu,” kata Efendi.
Sekira 1966, anak-anak KAMI menggerebek rumah Sukaesih dan memasangi sebuah plang bertuliskan: Ikut Gerwani Djakarta Raja. “Plang itu dirobohin sama anak-anak,” kata Efendi. Efendi sendiri selamat karena sebelumnya sudah diberitahu akan adanya aksi oleh salah seorang anggota KAMI yang sering nongkrong di rumahnya. “Waktu adik saya mau dibawa sama mereka, yang bela anak-anak GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia –red.).”
Rumah dan isinya pun menjadi acak-acakan dan banyak yang hilang. “Semua ijazah, semua keterangan saya habis dibakar anak-anak KAMI itu,” katanya. Bukan hanya itu, kamar Efendi pun digali. “Katanya saya menimbun senjata.”
Efendi terpaksa melarikan diri hingga ke Bali. Sempat bergonta-ganti pekerjaan dalam pelariannya, dia akhirnya tertangkap sekitar tahun 1969. Ayahnya juga kena tahan lima tahun. “Padahal PKI juga bukan, dia justru PNI,” kata Efendi. Berita tentang rumah neneknya sudah tak diketahuinya lagi. Selepas dari tahanan rezim Orde Baru pada 1979, Efendi hanya tahu neneknya sudah meninggal dan sebelumnya pindah ke Cipinang. Lahan rumah neneknya telah menjadi bagian RS Carolus.
Baca juga:
Distorsi Sejarah dan Kebencian pada Sukarno
Dianggap Gangguan, CIA Rancang Pembunuhan Sukarno
Penumpasan PKI di NTT dalam Dokumen Rahasia AS
Bagaimana ceritanya lahan Carolus membesar bahkan hingga ke lahan Perguruan Rakyat, dia tak tahu. “Perguruan Rakyat itu yang sekarang jadi kamar mayatnya Saint Carolus; asrama perawat itu dulunya lapangan di depan rumah saya,” ujarnya. Efendi hanya tahu sedikit dari teman-temannya, “habis Laskar Arief Rahman Hakim menggrebek itu diserahkan kepada PMKRI.”
Kini, keluarga Efendi menuntut haknya. "Kenapa yang lain dapat ganti rugi, keluarga saya tidak?” ujarnya. Tapi Yayasan Carolus bersikukuh sudah membeli tanah itu dari sebuah yayasan yang beralamat di Jalan Salemba Raya 35. Sengketa itupun beralih ke pengadilan negeri Jakarta Pusat. “Ada panggilan kepala desa, lurah. Penduduk setempat yang tua-tua tau bahwa memang kita pernah tinggal di situ. Saksi-saksi banyak,” jelasnya. “Semua diambil sama Carolus. Itu negara yang ngasih, negara juga yang ngambil, atas nama negara tapi sebenarnya bukan negara,” tutupnya.