PEMERINTAH siap menyelesaikan pelanggaran HAM berat secara non-yudisial yang rencananya bakal direalisasikan medio Juni 2023 nanti. Keputusan itu dihasilkan dalam rapat terbatas Presiden RI Joko Widodo bersama 19 menteri serta Panglima TNI, Jaksa Agung, dan Kapolri pada Selasa, 2 Mei 2023.
Rapat tersebut membahas kelanjutan rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Ham Berat Masa Lalu (Tim PPJAM) sejak 11 Januari 2023. Rekomendasi itu mencantumkan 12 peristiwa pelanggaran HAM berat. Di antaranya Tragedi 1965-1966, Peristiwa Talang Sari Lampung 1989, Peristiwa Penembakan Misterius (Petrus) kurun 1982-1985, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, dan Peristiwa Jambo Keupok di Aceh pada 2003.
Terkait Peristiwa 1965-1966, Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan akan ada 39 individu yang statusnya sebagai eksil akan direhabilitasi sebagai warga negara yang sah. Mereka bukan pengkhianat negara. Mereka umumnya sedang tugas belajar di luar negeri ketika Peristiwa G30s terjadi dan tak bisa pulang ke tanah air pasca-Tragedi 1965.
Ke-39 eksil itu hanyalah sebagian kecil dari eksil-eksil yang ada, yang banyak sudah berpulang kini. Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 mengungkapkan bahwa eksil yang bukan pengkhianat dan tak terlibat Gerakan 30 September (G30S) itu setidaknya masih ada 600 orang, baik yang masih hidup maupun yang sudah tiada. Salah satunya adalah Soeprijadi Tomodihardjo.
Baca juga: Presiden Jokowi Akui 12 Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Meretas Jalan ke Barat demi Suaka
Soeprijadi Tomodijardjo lahir pada 27 Februari 1933 di Kediri, Jawa Timur dari keluarga pendidik. Mulai 1957 ia mengikuti jejak orangtuanya menjadi pengajar di sebuah SMA Negeri di Surabaya lewat ikatan dinas Djawatan Pendidikan Jawa Timur.
Soeprijadi meniti kiprahnya di dunia jurnalistik dengan mengikuti sejumlah kursus dan kuliah jurnalistik yang diadakan Djawatan Penerangan Jawa Timur medio 1963-1965. Ilmu-ilmu jurnalistiknya lantas disalurkannya saat dia alih profesi menjadi jurnalis di suratkabar Trompet Masjarakat.
Mengutip kolom riwayat dalam antologi cerita pendek (cerpen) Lelaki Pencari Langit karya Soeprijadi Tomodihardjo, ia ikut bersama rombongan 15 jurnalis Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) berangkat ke Beijing guna meliput perayaan 16 tahun berdirinya Republik Rakyat Cina (RRC). Kegiatan itulah yang menjerumuskannya ke lembah sial. Pembersihan para simpatisan komunis berikut Presiden Sukarno usai tragedi penculikan para jenderal pada malam laknat 1 Oktober 1965 dini hari mengakibatkan paspor Soeprijadi dirampas pada November 1965.
Baca juga: Kala Aktivis Malaysia Diciduk dan Kedutaan China Digeruduk
Alhasil, Soeprijadi tak bisa pulang ke tanah air. Ia menjadi eksil. Setelah beberapa saat luntang-lantung di Negeri Tirai Bambu, pada medio 1967 ia menerima tawaran pekerjaan sebagai penerjemah di kantor media pelat merah China, Xinhua. Tiga tahun berselang, ia bertualang ke Benua Biru mencari kehidupan lain sekaligus mencari suaka.
“Akhir 1970 dia meninggalkan daratan Cina untuk mengadu nasib ke Eropa Barat atas bantuan seorang wartawan senior perwakilan KB (Kantor Berita) Antara di Jerman Barat. Setahun kemudian awal 1972 memulai karir baru, yakni sebagai pegawai di sekretariat Rumahsakit Universitas Köln,” demikian kata buku terbitan LBH Jakarta berjudul Kami Bicara: Kembang Setaman Prosa dan Puisi.
Hingga pensiun pada 1998 dan tetap bermukim di Jerman, ia masih aktif di dunia sastra. Ia menelurkan sejumlah cerpen. Beberapa di antaranya dimuat di beberapa edisi suratkabar Kompas. Kumpulan cerpennya ia bukukan dengan tajuk Lelaki Pencari Langit.
Baca juga: Kontestasi Dua Narasi dalam Peristiwa 1965
Beberapa kumpulan cerpennya yang lain adalah Kera di Kepala (2006) dan Cucu Tukang Perang (2011). Cerpen-cerpennya begitu dominan menyuarakan nasib para eksil yang bergulat memulai kehidupan baru di negeri orang.
“Melalui 13 cerpen dalam buku Lelaki Pencari Langit, Soeprijadi menuturkan kehidupan eksil dan diaspora Indonesia dengan menggambarkan tokoh-tokoh yang sedang mengingat serpihan-serpihan memori pedih, pahit, heroik, penuh makna, dan romantis. Lebih jauh, cerita-cerita yang dituturkan Soeprijadi mengkonstruksi relasi tanah kelahiran dan negeri-negeri tempat para eksil Indonesia tinggal,” tulis Yusri Fajar dalam Sastra yang Melintasi Batas dan Identitas: Sehimpun Esai Sastra.
Salah satu cerpennya yang dimuat Kompas edisi 9 Mei 2004 kemudian dibukukannya, bertajuk Berat Hidup di Barat. Cerpennya mengisahkan tokoh bernama Eric Sullivan asal Ethiopia yang terpaksa menjadi eksil dan mencari suaka di Jerman.
Tokoh Eric Sullivan itu seolah jadi cerminan kehidupan Soeprijadi. Eric digambarkan harus menguras keringat dan air mata demi bisa bertahan hidup dan menyesuaikan diri dengan kehidupan dan lingkungan baru.
Soeprijadi mengembuskan nafas terakhirnya pada 6 Oktober 2019 karena diabetes. Hingga akhir hayatnya, ia tetap mukim di negeri orang dan berstatus eksil.
Baca juga: Peliknya Rekonsiliasi Peristiwa 1965