Masuk Daftar
My Getplus

Mereka yang Menanti Rehabilitasi

Sebanyak 188 eks guru di Kebumen yang dipecat karena tuduhan terlibat G30S memenangkan gugatan di PTUN pada 2008. Hingga kini nama mereka tak kunjung direhabilitasi.

Oleh: Andri Setiawan | 01 Okt 2020
Para peyintas memaparkan pengalamannya di Kantor Komnas HAM, Jakarta, 17 April 2016. (Dok. Humas YPKP1965).

Kusman merupakan guru muda di SDN Sidototo, Kebumen, ketika Peristiwa G30S terjadi tahun 1965. Ia tak tahu-menahu apa yang sedang terjadi. Ia bukan anggota partai politik manapun, apalagi PKI yang dituduh sebagai dalang peristiwa berdarah itu.

Di luar aktivitasnya mengajar sekolah dasar, Kusman juga seorang dalang wayang kulit. Pada pertengahan dekade 1960-an itu, ia sering mendapat panggilan mendalang di berbagai daerah di Kebumen.

Pada 1967, tanggul Waduk Sempor jebol. Peristiwa ini menjadi pengingat Supriyanto, anak Kusman, kapan ayahnya digelandang aparat. Kusman dibawa ke Komando Distrik Militer (Kodim) Kebumen dan ditahan selama tiga hari. Sementara dia ditahan, rumahnya digeledah aparat.

Advertising
Advertising

Baca juga: Lima Versi Pelaku Peristiwa G30S

“Digeledah, apa yang dicari saya juga nggak tahu. Ada genteng di atas diinjek-injek. Wah luar biasa,” kata Supriyanto yang kala itu masih duduk di bangku sekolah dasar.

Aparat akhirnya tak menemukan apa-apa. Tak ada bukti bahwa Kusman adalah anggota PKI apalagi terlibat dalam G30S. Menurut Supriyanto, ayahnya kemungkinan dituduh karena pernah mendalang pada satu acara yang digelar partai berlambang palu-arit itu.

Terstigma

Setelah dibebaskan dari Kodim dan hendak kembali mengajar, Kusman menerima kenyataan pahit. Kepala sekolah mengatakan padanya bahwa Kusman sudah tak perlu mengajar lagi. Ia dipecat tanpa kejelasan.

“Nggak ada surat secuil, nggak ada proses, nggak ada ya namanya negara hukum harus pengadilan misalnya,” ujar Supriyanto kepada Historia.

Beberapa bulan tanpa pekerjaan, Kusman akhirnya dipanggil mengajar kembali. Sekolah tempatnya bekerja kekurangan guru karena banyak guru yang diberhentikan. Namun, selama mengajar gajinya tak pernah turun. Kepala sekolah mengatakan gajinya sedang dipinjam untuk keperluan lain.

Baca juga: Film Pengkhianatan G30S/PKI dan Fakta Sejarah

Sembilan bulan mengajar tanpa gaji, Kusman akhirnya dipecat lagi. Pihak sekolah mengatakan sedang membenahi urusan kepegawaian. Jika sudah kelar, Kusman dijanjikan akan dipanggil lagi. Namun, kali ini ia ternyata berhenti mengajar selamanya.

Pada 1969, datang surat dari Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda) Semarang. Isinya, pernyataan bahwa Kusman tak terlibat G30S. Namun, stigma kadung melekat sehingga Kusman tak pernah bisa kembali menjadi guru.

Stigmatisasi seperti yang dialami Kusman itu pula yang menimpa Retno Budi Hastuti. Kendati baru lahir pada 1978 atau 13 tahun sebelum Retno dilahirkan, Peristiwa G30S cukup berdampak padanya. Pasalnya, ayahnya pernah ditahan karena tuduhan yang sama seperti Kusman.

Untung Sucipto, ayah Retno, mengajar di sekolah yang sama dengan Kusman. Ia tak pernah tergabung dalam partai maupun terlibat dalam acara-acara yang digelar partai. Untung benar-benar bersih dari politik praktis apalagi kaitanya dengan PKI.

Namun, suatu hari Untung ditangkap dan digelandang ke Kodim. Dia dituduh sebagai anggota PKI oleh tetangganya karena masalah pribadi.

Aparat yang menggeledah rumah Untung tak menemukan apa-apa karena Untung memang bukan anggota PKI dan tak pernah berhubungan dengan PKI. Namun nasi telah menjadi bubur, ditangkapnya Untung telah melekatkan stigma pada dirinya dan keluarganya.

Baca juga: Anak Pahlawan Revolusi Kecewa Film Pengkhianatan G30S/PKI

Sama seperti Kusman, Untung tak bisa lagi menjadi guru. Ia akhirnya bekerja sebagai petugas pom bensin. Tak berhenti sampai di situ, anak-anaknya yang lahir jauh setelah G30S terjadi pun menjadi sulit mencari pekerjaan, terlebih ketika Orde Baru masih berkuasa.

“Saya ngerasain sendiri ya nyari kerjaan tuh susah. Adiknya bapak saya kan kebetulan pada sukses, ibaratnya bawa saya untuk dimasukin kerja aja pada takut,” kata Retno kepada Historia.

Kusman dan Untung hanya dua dari 298 guru dan penjaga sekolah di Kebumen yang diberhentikan pasca-Peristiwa 1965. Setelah reformasi, mereka mulai mencari keadilan untuk memulihkan nama baik.

Menang Gugatan

Pada 18 Mei 2006, mereka membentuk Koordinator Eks Guru dan Penjaga SD Se-Kabupaten Kebumen. Dengan badan hukum dan AD-ART yang jelas mereka memulai upaya-upaya untuk mendapat rehabilitasi.

Awalnya, mereka dipingpong dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (PDK) Kabupaten ke bupati lalu ke DPRD. Setelah menghadap gubernur Jawa Tengah mereka kembali dilempar ke DPR, Sospol, dan kembali ke PDK. Mereka akhirnya menghadap langsung ke Sekjen Depdiknas RI dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) di Jakarta.

Di sana, mereka diminta menunjukan surat asli Pepekuper (Pembantu Pelaksana Kuasa Perang). Tentu saja mereka tidak dapat menunjukkan karena ketika dilepas dari penahanan, mereka hanya diberi Surat Pembebasan. Mereka akhirnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dari 298 orang, 188 di antaranya memenangi jalur peradilan ini. Mereka dinyatakan tidak bersalah dan harus mendapat rehabilitasi.

Baca juga: Kontestasi Dua Narasi dalam Peristiwa 1965

Sekjen Kemdiknas kemudian menempuh banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) hingga kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun, kasasi ditolak dengan putusan No 69 K/TUN/2008.

Meski telah memenangkan gugatan, para penyintas tak pernah direhabilitasi. Sementara itu, sejak 2008 satu persatu eks guru dan penjaga sekolah ini meninggal dunia. Kini setelah 12 tahun putusan menguap begitu saja, tinggal sekitar 20 orang dari penyintas yang masih hidup.

“Saya sangat mengharapkan daripada pemerintah, dalam hal ini dinas dengan sekjennya, segera melaksanakan putusan MA. Dan sekarang sudah di ujung persoalan karena sudah selesai diaudit. Mbok iya segera dilaksanakan, kasian ini mbah-mbah sudah pada uzur. Ya pengen melihat lah, mungkin mewakili teman-teman dari yang sekian ratus itu. Yang masih hidup biar mewakili,” ungkap Supriyanto.

Supriyanto merasa rehabilitasi sangat perlu dilaksanakan. Pasalnya stigma buruk terus membayangi anak-cucu para penyintas. Ia juga dipasrahi ayahnya yang meninggal pada 2011 dan rekan-rekan ayahnya untuk terus mengawal pelaksanaan putusan.

“Saya nggak capek. Saya kepengen ‘sekolah’. Biar tahu orang-orang pinter di pemerintahan,” ujarnya.

TAG

1965 penyintas

ARTIKEL TERKAIT

Tiga Peristiwa yang Terjadi September 1965 Sebelum Jenderal Soeprapto Pergi Perjalanan ke Barat Mencari Suaka Sri Nasti Mencoba Melepas Trauma 1965 dengan Suara Suara Penyintas 1965 yang Layak Didengar Potret Pahit Penyintas 1965 dalam You and I Peliknya Rekonsiliasi Peristiwa 1965 Link Live Streaming Dialog Sejarah Historia.id: 1965, Sejarah yang Dikubur Tantangan Riset Sejarah di Era Milenial Melumpuhkan Gerombolan G30S tanpa Peluru