PADA 1986, keluarga Nani Nurrachman Sutojo kembali ke Indonesia dari penugasan di Amerika Serikat. Nani adalah anak dari Mayjen TNI (Anumerta) Soetojo Siswomihardjo, salah satu dari tujuh perwira tinggi Angkatan Darat yang menjadi korban pembunuhan pada dini hari 1 Oktober 1965.
Saat itu, sedang marak pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer. Setiap tanggal 30 September, film ini diputar di televisi dan menjadi tontonan wajib segala usia. Pada 30 September 1986, Nano anak bungsu Nani yang berusia delapan tahun menonton dengan tekun seluruh film berdurasi tiga jam itu. Nani mendampinginya. Alangkah terkejutnya Nani ketika selesai nonton, Nano menanyakan, “Ma…what is a communist? Was it them who killed Eyang Tojo?”
Baca juga: Kecewa dengan film Pengkhianatan G30S/PKI, sutradaranya ingin berhenti membuat film
Nani terdiam, berpikir keras, apa yang harus dikatakan kepada anaknya, sementara dia sendiri belum memiliki jawaban untuk diri sendiri. “Tunggu ya, No. Pertanyaan itu sama sulitnya dengan pelajaran Matematika kamu di sekolah. Sampai kamu menyebutnya ‘mati-matian’. Tunggu sampai kamu cukup umur untuk bisa mengerti apa yang nanti Ibu jelaskan,” kata Nani dalam Kenangan Tak Terungkap: Saya, Ayah dan Tragedi 1965 suntingan Imelda Bachtiar.
Malam harinya, Nani salat dan menangis. Dia menyadari bahwa dialah yang sebenarnya ditanya oleh Tuhan: sudahkah engkau selesai dengan dirimu? Sebab bagaimana bisa menjelaskan dengan baik bila belum bisa menyelesaikan trauma diri sendiri.
Nani terus terang bahwa film ini menerbitkan gundah: apakah seperti ini informasi yang akan kita wariskan kepada generasi anak-cucu tentang Peristiwa Gerakan 30 September 1965? Apa sebetulnya yang ingin disampaikan film ini? Film ini panjangnya luar biasa, tetapi tidak berhasil mengangkat situasi sosial yang sedang terjadi saat itu.
Baca juga: Orang-orang di balik penghentian penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI
Nani mengira film ini juga menggambarkan gejolak sosial masyarakat saat itu yang tidak terlepas dari peristiwa 1965. Semacam film sejarah yang menukik.
“Saya kecewa. Ternyata film ini jauh dari bayangan saya tentang sebuah tuturan sejarah. Malah berlebihan menonjolkan Pak Harto. Bukan saya tidak setuju pada peran Soeharto sebagaimana digambarkan melalui film itu, hanya film itu tidak menceritakan konteks sosial yang lebih dalam. Penonton, apalagi generasi muda yang lahir setelah peristiwa itu meletus pasti tidak akan paham karena gambarannya tidak utuh,” kata Nani.
“Kata ‘pengkhianatan’ pada judulnya juga mengundang tanda tanya besar untuk saya dan tentunya juga siapa pun yang menonton dengan kritis, ‘pengkhianatan kepada siapa?’ semakin berat dan semakin sulit jawabannya, karena sekali lagi, tak ada konteks sosial di dalamnya, baik sebelum atau sesudah peristiwa 1965,” kata Nani.
Baca juga: Film propaganda yang menanamkan trauma dan dendam pada generasi muda
Nani berusaha keluar dari trauma dan melakukan rekonsiliasi. Dia dan mereka yang orangtuanya terlibat dalam sejarah gelap bergabung dalam wadah rekonsiliasi bernama Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) yang didirikan pada 25 Mei 2003. Dalam FSAB terdapat keluarga Pahlawan Revolusi, anak dan cucu tokoh PKI, DI/TII, PRRI/Permesta, korban konflik bersenjata sampai mereka yang dulu ayah atau kakeknya saling berseberangan ideologi politik.
“Kami berhasil berkumpul dalam suasan akrab dan tanpa prasangka, malah mampu mengahasilkan tekad untuk berhenti mewariskan konflik dan berhenti membuat konflik baru,” kata Nani.