Sri Nasti Rukmawati (74 tahun ) tidak melupakan hari-hari setelah Peristiwa 1965. Baginya hari-hari itu adalah hari mengerikan yang selalu menghantuinya. Hari-hari yang suram itu membalik putaran roda hidup, bagi dia dan keluarganya. Terlahir dari pasangan pelukis Mia Bustam dan Sudjojono, Sri Nasti memiliki darah seni yang kental. Mia Bustam adalah salah satu pelukis anggota Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra). Pada 1965 menjadi keturunan dari pelukis Lekra berarti berada dalam bahaya besar. Pada saat itu, Lekra dipandang pemerintah sebagai bagian dari PKI dan oleh karenanya dianggap sebagai ancaman.
Sri Nasti tidak lupa pada masa-masa yang menakutkan itu. Kala itu, Sri Nasti merupakan anggota non aktif Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia atau CGMI, sebuah Gerakan mahasiswa yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Ia selalu diliputi kekhawatiran ditangkap pemerintah. “Rumah kami yang dari bambu (gedheg, red.) dihuni orang. Ada keluarga sendiri dan ditambah delapan teman yang lain,” ungkap Nasti. Pada 23 November 1965, menurut Sri Nasti, Mia hendak ke pasar untuk belanja keperluan ulang tahun Watu Gunung yang ke-17. Saak akan berangkat, tiba-tiba di luar rumah terdengar suara truk tentara. Satu per satu anak-anak yang tinggal bersama Mia pun lari tunggang-langgang. Sebagian besar lari dan sembunyi di sungai. Namun, Mia dan Sudjojono pada akhirnya tertangkap.
Setelahnya, ada saja tentara yang mengetuk pintu rumah mereka. Biasanya, mereka dating pada malam hari. Suara khas sepatu lars, selalu mendahuluinya. Satu kali, mereka datang mengaku sebagai Aidit, Njoto, dan tokoh-tokoh PKI lain. Mereka berpura-pura tidak tahu Mia Bustam telah tertangkap sehingg menyebut-nyebut namanya seolah minta tempat mengungsi. Enam anak Mia sepakat untuk tidak membukakan pintu. Dalam waktu yang lama, Sri dan saudara-saudaranya mesti menahan diri dari rasa takut yang muncul setiap kali muncul suara pintu mereka diketuk pada malam hari..
Kini, setelah puluhan tahun berlalu, trauma tentang para penyintas 1965 itu belum juga hilang. Bahkan adiknya Sekar Tunggal belum mampu bangkit dari berbagai peristiwa itu. “Sampai saat ini, adik saya Sekar Tunggal masih trauma jika mendengar suara sepatu lars atau sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa 1965,” kata Nasti. Sri Nasti berusaha melepaskan diri dari trauma masa lalu dengan bergabung ke dalam Dialita. Dialita adalah sebuah kelompok paduan suara Indonesia berbasis di Jakarta yang terbentuk tahun 2011. Anggota paduan suara ini terdiri dari perempuan yang keluarganya pernah menjadi tahanan politik pada masa Orde Baru. Tujuan awal dari pembentukan Dialita adalah menjadi wadah untuk saling membantu sesama tahanan politik pasca-1965, terutama mereka yang mengalami kesusahan.
Bersama Dialita, Sri Nasti seperti lahir Kembali. Semangat hidupnya menyala kembali melalui seni paduan suara. Dalam setiap penampilannya Sri Nasti selalu tampak menjiwai ketika menyanyikan kembali lagu-lagu pada album Dialita. Lagu-lagu milik Dialita adalah lagu-lagu yang diciptakan oleh para tahanan politik tentang kehidupan mereka ketika dipenjara. Salah satu lagunya berjudul Taman Bunga Pelantungan, yang merupakan tempat ibunya, Mia Bustam, dipenjara.
Bagi Sri Nasti, peristiwa 1965 menjadi bayangan kelam yang seolah tak kunjung tergerus waktu. “Akibat dari peristiwa 1965 itu macam-macam. Soal Pendidikan, misalnya, kami tak bisa berbuat banyak. Kuliah saya tidak bisa dilanjutkan. Minat adik-adik saya tak bisa disalurkan,” ungkap Sri Nasti. “Peristiwa itu membuat kami tak berdaya. Kami menjadi korban yang hidupnya ditentukan orang lain,” tutupnya.