Setengah Abad Historiografi G30S dan Dua Solusi Kasus Genosida 1965
Sejarawan Asvi Warman Adam dikukuhan jadi profesor riset. Menawarkan solusi macetnya penyelesaian kasus genosida 1965.
SETELAH 50 tahun berlalu, ada tiga periode perdebatan dalam historiografi peristiwa G30S 1965. Hal tersebut disampaikan Asvi Warman Adam dalam pidato pengukuhannya sebagai profesor riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kamis pagi 26 Juli 2018.
Tiga periode itu menurut Asvi meliputi periode perdebatan di seputar siapa dalang peristiwa G30S 1965 yang terjadi pada kurun 1965-1968, periode kedua terjadi penulisan sejarah resmi oleh pemerintah Soeharto yang dimulai sejak 1968 sampai 1998. Pada periode ini pula upaya menghilangkan peran Sukarno dalam sejarah terjadi. Periode ketiga terjadi semenjak berhentinya Soeharto sebagai presiden pada 21 Mei 1998. Asvi menyebut periode ketiga ini sebagai periode pelurusan sejarah.
“Buku yang pertama dipublikasi tentang Gerakan 30 September 1965 berjudul 40 Hari Kegagalan ‘G30S’, 1 Oktober-10 November 1965 diterbitkan oleh Lembaga Sejarah, Staf Pertahanan Keamanan atas prakarsa Jenderal Nasution yang menugasi beberapa pengajar UI. Cetakan pertama 27 Desember 1965,” kata Asvi dalam pidato pengukuhannya.
Baca juga: Sejarawan Asvi Warman Adam: saya bukan pengkhianat negara
Menurut sejarawan kelahiran Bukittinggi 1954 itu, kendati buku yang digagas Jenderal Nasution tersebut tidak mencantumkan kata PKI di akhir “G30S” namun sudah menyinggung keterlibatan PKI dalam percobaan kudeta tersebut. Pada periode pertama itu juga bermunculan berbagai karya lain yang menyajikan berbagai dugaan siapa dalang utama serta penyebab terjadinya peristiwa G30S 1965.
“Naskah yang kemudian dikenal sebagai Cornell Paper keberadaannya terkuak kepada publik Amerika Serikat karena sebuah tulisan di surat kabar The Washington Post, 5 Maret 1966. Laporan penelitian tersebut ditulis Ben Anderson, Ruth McVey dan FP Bunnell yang baru secara resmi diterbitkan tahun 1971. Dokumen ini menyebut percobaan kudeta tersebut sebagai persoalan internal Angkatan Darat,” ujar Asvi.
Laporan tersebut membuat Ben Anderson dilarang masuk ke Indonesia selama 30 tahun lebih dan membuatnya mengalihkan perhatian serta risetnya ke Thailand. Selain Ben, Asvi juga mencatat sejumlah karya yang menyuguhkan versi siapa yang berada di balik peristiwa pembunuhan jenderal 1 Oktober 1965, antara lain karya Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, The Coup Attempt of September 30 Movement in Indonesia. Buku ini ditulis atas bantuan Guy Jean Pauker dari Rand Corporation yang disebut-sebut bekerja juga untuk CIA.
Periode kedua berkisar di seputar usaha pemerintah Soeharto menyeragamkan versi sejarah G30S berdasarkan tafsir sepihak penguasa. Asvi menyebut nama Nugroho Notosusanto sebagai arsitek dari rekayasa penulisan sejarah tersebut.
“Setelah berhasil melakukan standarisasi sejarah ABRI, Nugroho Notosusanto melakukan hal yang sama dalam sejarah nasional,” ujar Asvi.
Selain menyeragamkan versi sejarah G30S, Nugroho Notosusanto pula yang berperan dalam upaya desukarnoisasi dalam peristiwa kelahiran Pancasila, 1 Juni 1945. Dia menyisihkan peran Sukarno dalam proses penggalian konsep Pancasila dengan mengedepankan peran Mohamad Yamin.
Periode ketiga perdebatan mengenai historiografi G30S 1965 terjadi ketika Soeharto tumbang dari kekuasaannya pada 1998. Menurut Asvi pada periode pelurusan sejarah ini Persatuan Purnawirawan Angkatan Udara Republik Indonesia (PP AURI) jadi yang pertama memulai usaha meluruskan sejarah 1965. Melalui buku Menyingkap Kabut Halim, PP AURI mengajukan versi bahwa mereka tidak pernah terlibat dalam peristiwa G30S 1965.
Baca juga: TNI AU disudutkan soal senjata dalam peristiwa G30S
Setelah Mei 1998, berbagai ragam versi peristiwa G30S bermunculan, baik dari kesaksian para penyintas sampai dengan karya ilmiah hasil kajian para sarjana sejarah dari berbagai universitas, baik dalam maupun luar negeri. Namun demikian seluruh kesaksian dan kajian ilmiah tersebut seakan belum cukup untuk membuat pemerintah menyusun kebijakan penyelesaian kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada kurun 1965-1966.
Padahal menurut Asvi, peristiwa pembunuhan jenderal 1 Oktober 1965 hanya dalih bagi Soeharto untuk menghabisi Partai Komunis Indonesia (PKI) sekaligus merebut kekuasaan dari tangan Sukarno. Sebagian besar korban peristiwa tersebut dipersekusi massal dan tidak pernah bisa dibuktikan apa kesalahannya di muka pengadilan.
Dalam pidato pengukuhannya, Asvi mengajukan rekomendasi kepada pemerintah agar menyelesaikan persoalan tersebut secara bertahap. Dimulai dari penyelesaian persoalan pencabutan kewarganegaraan terhadap warga negara Indonesia (eksil) yang pada saat kejadian berada di luar negeri dalam rangka tugas belajar dan tugas negara. Kasus kedua yang perlu diselesaikan adalah pembuangan tahanan politik ke Pulau Buru.
“Kedua kasus tersebut perlu dituntaskan terlebih dahulu sebab dua kasus tersebut murni merupakan kebijakan negara,” kata Asvi.
Selama berkarier sebagai peneliti LIPI, sejarawan lulusan Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Paris, Prancis itu telah menghasilkan 14 buku dan puluhan makalah serta artikel. Sejak 2012 Asvi juga tercatat sebagai dewan redaksi ahli majalah Historia dan dikenal giat memperjuangkan keadilan bagi para korban dan penyintas peristiwa 1965.
Baca juga: Problem penulisan sejarah di Indonesia
Tambahkan komentar
Belum ada komentar