PEMILIHAN umum presiden kian dekat. Tiap calon mengusung misi dan visi masing-masing. Walau terkadang berlawanan, dalam bidang ekonomi keduanya bersepakat bahwa perekonomian Indonesia harus bisa berdiri di atas kaki sendiri. Prabowo menyebutnya “ekonomi kerakyatan” sedang Jokowi “ekonomi berdikari”.
Jargon-jargon seperti itu bukan barang baru. Di masa pemerintahan Sukarno, gagasan kemandirian ekonomi sudah diserukan, “bahkan dijadikan sebuah orientasi politik pembangunan,” ujar Amiruddin Al-Rahab, penulis buku Ekonomi Berdikari Sukarno, dalam diskusi di Freedom Institute, Menteng, 26 Juni 2014. Turut hadir pula Peter Kasenda sebagai pembicara dan Wilson sebagai moderator.
Menurut Amiruddin, Sukarno ingin mengubah perekonomian Indonesia yang masih berjiwa kolonial dan didominasi asing menuju perekonomian berdikari yang lebih menguntungkan Indonesia. Caranya melalui pelaksanaan sebuah kebijakan ekonomi baru: Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun (1961).
Program transformasi ekonomi itu pada akhirnya berbenturan dengan sentimen modal asing. Penyelesaiannya? Sukarno berkompromi; modal asing boleh masuk namun dengan batasan yang jelas.
“Pada tahun 1963, Sukarno menyerukan kebijakan ekonomi yang tertuang dalam Dekon (Deklarasi Ekonomi). Di dalamnya, Sukarno sedikit berkompromi terhadap asing dan pihak swasta. Modal asing boleh masuk, tapi sharing. 60% untuk Indonesia, dan 40% untuk asing, ditambah setelah 20 tahun akan menjadi milik Indonesia sepenuhnya,” tutur Amiruddin.
Kompromi ala Sukarno itu tidak disukai negara-negara poros Barat. Maka, Sukarno berpaling ke Tiongkok dan Uni Soviet. Dia mengandalkan modal dari poros Timur untuk menopang kebijakan ekonomi berdikarinya.
Pada kenyataannya, upaya merealisasikan kebijakan itu teramat sulit. Salah satu alasannya, badan-badan politik saat itu belum sepenuhnya dikuasai Sukarno, defisit anggaran akibat operasi Trikora dan Dwikora, serta praktik korupsi dalam negeri.
“Selain faktor dalam negeri, Sukarno menghadapi pembusukan dari dalam yang bekerja sama dengan luar negeri,” tutur Peter Kasenda. “Sebenarnya Indonesia saat itu berusaha mengimpor beras dari Burma dan Thailand, namun banyak perusahaan asing mencekalnya sedemikian rupa.”
Tak lama, perekonomian negara ambruk, disusul runtuhnya kuasa politik Sukarno.
Di masa Orde Baru, gagasan ekonomi berdikari pun menghilang. Suharto juga menganggap pentingnya kontribusi modal asing dalam perekonomian nasional. Namun, kebijakan investasi modal asingnya yang kelewatan justru membuat negara nyaris bangkrut di akhir masa Orde Baru.
Sekarang tinggal kita tunggu, ekonomi berdikari seperti apa yang akan diterapkan presiden terpilih. Atau hanya janji semata.