Masuk Daftar
My Getplus

Asing

Kita kerap curiga terhadap apa yang disebut asing, betapapun absurdnya pengertian soal asing itu sendiri.

Oleh: Bonnie Triyana | 28 Feb 2017
Sukarno mengumumkan kepada pers tentang penyerahan kedaulatan Indonesia, Desember 1949. Foto: gahetna.nl.

Terakhir kali kita, sebagai bangsa, berhadap-hadapan secara fisik dengan apa yang disebut penjajahan bangsa asing pada 1945. Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Menyatakan diri lepas dari penjajahan bangsa lain: Belanda dan kemudian Jepang.

Semangat itulah yang kemudian menjadi pembuka UUD 1945, sebagai landasan bahwa kita, sebagai sebuah bangsa, yang punya pengalaman terjajah tak menginginkan hal yang sama terjadi pada bangsa mana pun di dunia ini. “Karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan,” demikian kalimat terakhir dari paragraf pertama pembukaan UUD 1945 itu.

Namun Presiden Sukarno dalam banyak pidatonya, setelah Indonesia merdeka, masih terus mendengung-dengungkan l’explotation d’homme par homme, l’explotation d’nation par nation. Dia mengingatkan bahwa selama masih ada penghisapan manusia atas manusia, penghisapan bangsa atas bangsa, maka seluruh manusia di bumi ini belum terbebaskan dari cengkeraman penjajahan.

Advertising
Advertising

Tapi kini setengah abad lebih setelah penjajah hengkang dari negeri ini, kita masih terus cemas dan waswas tentang penjajahan asing. Kita kerap curiga terhadap apa yang disebut asing, betapapun absurdnya pengertian soal asing itu sendiri: apakah dia merujuk kepada warna kulit? Golongan? Ras tertentu? Agama? Atau malah: asal bule sudah pasti asing.

Bahkan lebih ekstrem lagi, dikotomi asing-pribumi mengaburkan soal-soal benar atau salah. Dalam urusan tertentu, yang “asli” (selalu) lebih benar daripada yang “asing.” Yang (pen)datang tak lebih berhak daripada yang asli. Yang asli selalu (harus) menang, bagaimana pun cara menempuhnya.

Kalau memang apa yang disebut “asing” itu sesuatu yang datang dari luar dan identik dengan kejahatan yang kerap merugikan, semestinya urusan sudah selesai saat Belanda (dan kemudian Jepang, yang asing itu) pergi meninggalkan bangsa ini tahun 1945.

Tapi kenapa, sejak zaman awal kemerdekaan sampai detik ini, seluruh penjara di Republik ini masih dipenuhi oleh orang-orang yang dalam gambaran kita bukan “asing” melainkan bangsa dewek: kulit sawo matang berambut hitam. Dan sekarang, seluruh pelaku korupsi datang dari bangsa kita sendiri. Tingkat kejahatannya pun sama mengerikannya dengan meneer-meneer Belanda yang datang kemari untuk membawa hasil kekayaan alam kita ke negeri mereka.

Apa yang dimaksud Sukarno tentang manusia harus terbebas dari penghisapan manusia lainnya merujuk kepada kenyataan bahwa penjajahan bisa saja terjadi oleh dan bagi bangsa sendiri. Penjajahan, pengisapan, eksplotasi bisa terjadi oleh siapapun di muka bumi ini tanpa memandang ras dan etnisnya.

Kadang-kadang, pada dunia yang semakin terbuka ini, pemahaman terhadap yang “asing” dan yang “asli” menjadi terlalu sempit dan picik. Bahkan menggiring kepada sikap xenophobia, takut pada semua hal yang datang dari luar, asing. Dan di sisi lain, sama bahayanya dengan perasan xenomania, yang membuat kita selalu menggandrungi apa saja yang datangnya dari luar.

Yang asing semestinya, bukan apa yang selalu dikaitkan dengan warna kulit, ras, etnis, golongan atau agama, tapi apa-apa yang menurut kita bukan bagian dari nilai-nilai kebajikan manusia. Kejahatan dalam bentuk apapun dan oleh siapa pun yang melakukannya adalah hal yang asing yang tak bisa kita terima.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Ibu dan Kakek Jenifer Jill Tur di Kawasan Menteng Daripada Soeharto, Ramadhan Pilih Anak Roket Rusia-Amerika Menembus Bintang-Bintang Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Pieter Sambo Om Ferdy Sambo