Masuk Daftar
My Getplus

Arti Ibu Pertiwi hingga Pekik Merdeka

Inilah arti dari Ibu Pertiwi, Indonesia, Hindia Belanda, garuda, hingga pekik merdeka.

Oleh: Historia | 15 Jul 2020
Pengurus Perhimpunan Indonesia di Belanda. (kebudayaan.kemdikbud.go.id).

Istilah Ibu Pertiwi

Ibu Pertiwi merujuk pada personifikasi nasional negara Indonesia. Ibu Pertiwi sudah dikenal sejak zaman Hindu-Buddha di Nusantara sebagai dewi bumi dan lingkungan hidup, atau Dewi Prthvi dalam bahasa Sanskerta saat itu. Seiring perkembangan zaman, Ibu Pertiwi menjadi kata kiasan untuk menyebut tanah air tempat lahirnya bangsa Indonesia.

Ibu Pertiwi populer dalam berbagai lagu dan prosa perjuangan, seperti lagu “Ibu Pertiwi” dan “Indonesia Pusaka”. Kata Ibu Pertiwi juga kerap digunakan di media untuk menyebut Indonesia secara kiasan atau dalam kalimat yang berkonteks puitis. [Rahadian Rundjan]

Baca juga: Demi Ibu Pertiwi dan Nasib Kaum Putri

Advertising
Advertising

Sebutan Puitis untuk Nusantara

Insulinde. Berasal dari bahasa Latin, insula (pulau) dan Inde (India). Istilah ini diperkenalkan Multatuli dalam romannya yang berjudul Max Havelaar pada 1860.

Multatuli, yang bernama asli Eduard Douwes Dekker, menyebut Indonesia sebagai “Kerajaan Insulinde yang megah melingkari khatulistiwa bak untaian zamrud.” Pernyataan bernada ironi ini dimaksudkan untuk menyindir bangsa Belanda yang menjajah, memeras, dan berlaku sewenang-wenang terhadap penduduk asli Hindia Belanda.

Pada 1913, Insulinde digunakan sebagai nama partai untuk menggantikan Indische Partij setelah para pemimpinnya, Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat, dan Ernest Douwes Dekker, diasingkan oleh pemerintah Hindia Belanda. [Martin Sitompul].

Baca juga: Ketika Paus Sastra Indonesia Menerjemahkan Max Havelaar

Nama Indonesia Pertama Kali Muncul

Jauh sebelumnya, ada banyak sebutan untuk Indonesia. Yang paling umum adalah Nusantara; nusa artinya pulau, antara adalah lain atau seberang. Kata ini dipakai Majapahit untuk menyebut semua wilayah taklukkannya, yang membentang antara benua Asia dan Australia. Sebutan ini tersua dalam naskah-naskah Jawa Kuno pada abad ke-14.

Memasuki abad ke-17, kepulauan penghasil rempah ini biasa disebut Hindia Timur (Oost Indische). Ada pula sebutan Kepulauan Timur (The Eastern Islands), Kepulauan Hindia (Indian Arciphelago), Lautan Timur (The Eastern Seas), dan Pulau-Pulau Hindia (Insulinde). Pada 1850, George Samuel Windsor Earl, seorang pelancong dan pengamat sosial asal Inggris, menggagas kata Indonesia untuk mewakili sekelompok ras manusia (Polinesia) yang menghuni kepulauan Hindia (etnografis).

Sejawatnya, James R. Logan, seorang etnolog, berpendapat kata itu lebih baik dimasukkan dalam istilah geografis karena pemendekan dari Kepulauan Hindia. Sedangkan untuk menyebut penduduknya, Logan mengusulkan kata Indonesian.

Baca juga: Nusantara dalam Catatan Penjelajah Dunia

Belanda Memilih Nama Hindia Belanda

Alternatif nama Hindia Belanda pernah diangkat pada 1919. Volksraad (Dewan Rakyat) mendiskusikan usulan empat nama: Indonesie, Insulinde, Hindia Belanda, dan OostIndie. Dalam pemungutan suara tanggal 26 April 1919, nama Insulinde menang dengan 16 suara. Namun, beberapa hari kemudian, keputusan itu dipersoalkan, dan sebagai gantinya Hindia dipilih tanpa perdebatan dengan alasan sudah dikenal dengan baik.

Pada Oktober 1920, Komisi Negara hendak mengubah konstitusi Hindia Belanda. Setelah disetujui pemerintah, pasal 1 itu berbunyi: “Kerajaan Belanda meliputi Belanda, Hindia Belanda, Suriname, dan Curacao…”

Pasal itu didiskusikan dalam Volksraad di Batavia pada 26–29 April 1921. Sebelumnya, pada awal tahun, Dirk van Hinloopen-Labberton, seorang guru yang tersentuh gerakan dan partai-partai yang muncul di Jawa, mempersiapkan amandemen yang mengusulkan nama Indonesia. Dia mempersiapkannya dengan Ch. Crammer dan Th. Vreede, sehingga dikenal sebagai amandemen Labberton-Cramer-Vreede. Amandemen ini ditolak sehingga tak dibahas dalam sidang Volksraad pada April 1921. Beberapa orang di Volksraad meremehkannya sebagai “baru pantas bagi nama sebuah jenis cerutu.” Sejak awal, pemerintah sudah menekankan bahwa sebutan Hindia Belanda secara esensial mempunyai arti dalam hukum internasional.

Second Chamber dari parlemen di Belanda mendiskusikannya pada 1 November 1921. Terinspirasi amandemen Labberton-Cramer-Vreede, W. van Ravesteyn, wakil dari komunis, menekankan sebutan Indonesia. Nasibnya juga sama. Amandemennya ditolak.

Baca juga: Mitos 350 Tahun Penjajahan Belanda di Indonesia

Indonesia sebagai Identitas Politik

Cerdik-cendekia bumiputra yang menempuh studi di Negeri Belanda mengubah nama perkumpulan mereka, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) yang berdiri pada 1908 menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) pada 1925. Kata Indonesia digunakan untuk merujuk sebuah cita-cita negara baru, sebuah identitas politik.

Dalam Kongres Demokrasi Internasional untuk Perdamaian di Bierville, dekat Paris, pada Agustus 1926, untuk kali pertama nama Indonesia diperkenalkan. Mohammad Hatta mewakili PI dalam pidatonya mengutarakan perjuangan rakyat Indonesia untuk kemerdekaan nasionalnya. Atas penggunaan nama itu dalam arti politik, pemerintah Belanda melarang pemakaian nama Indonesia di Hindia Belanda. Tapi tak ada yang bisa membendungnya.

Baca juga: Perhimpunan Indonesia, Wahana Perjuangan di Negeri Belanda

Garuda Menjadi Lambang Negara

Kala Sukarno telah merumuskan Pancasila pada 1 Juni 1945, dia menginginkan konsepnya divisualisasikan. Visualisasi itu akan dipakai sebagai lambang negara. Namun, lambang itu tak kunjung dibuat hingga lima tahun setelahnya. Barulah pada 1950, Sukarno secara resmi mengeluarkan sayembara lambang negara. Pada 10 Januari 1950, Sukarno membentuk sebuah panitia yang bertugas menyeleksi lambang negara. Koordinatornya adalah Sultan Hamid II, menteri negara zonder portofolio.

Terpilih dua karya terbaik. Masing-masing dari Sultan Hamid II dan Mohammad Yamin. Keduanya bergambar garuda. Dua karya itu lalu diajukan ke DPR Republik Indonesia Serikat (RIS). Mereka lebih menerima karya Sultan Hamid II lantaran karya Mohammad Yamin dianggap mencitrakan pengaruh Jepang dengan penyertaan sinar-sinar matahari. Kemudian lambang itu diperlihatkan ke Sukarno pada 8 Februari 1950.

Setelah melalui beberapa penyempurnaan, gambar garuda itu akhirnya diterima sebagai lambang resmi negara RIS pada 11 Februari 1950. Sukarno kemudian memperkenalkannya kepada publik kali pertama pada 15 Februari 1950 di Hotel Des Indes. Pada 20 Maret 1950, lambang itu disempurnakan kembali oleh pelukis istana, Dullah. Melalui Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 1951, lambang itu secara resmi digunakan.

Baca juga: Sultan Hamid II dan Polemik Gelar Pahlawan Nasional

Dari Mana Asal Garuda

Garuda merupakan nama umum untuk seekor elang mitologis. Burung ini terdapat dalam relief-relief di Candi Dieng (abad ke-9). Bentuk kepalanya seperti manusia, namun berparuh. Relief di Candi Prambanan dan Panataran juga memuat gambaran burung ini. Selain dalam relief, garuda digunakan dalam lambang dan stempel kerajaan-kerajaan di Jawa.

Dalam khazanah pewayangan, garuda dikenal sebagai sosok yang penuh keberanian, setia, dan terhormat. Gambaran ini tersua dalam cerita Mahabharata yang diadopsi untuk lakon wayang. Nama burung itu Jatayu. Citra perkasa burung itu melekat hingga Indonesia merdeka.

Baca juga: Sultan Hamid II dan Polemik Gelar Pahlawan Nasional

Pekik Merdeka Mengkhalayak

Kata “merdeka” berasal dari bahasa Sanskerta, maharddhika. Kata ini tersua dalam naskah kakawin Nitisastra bertitimangsa abad ke-15. Artinya, telah bebas dari soal keduniawian. Kata ini lambat laun diucapkan “merdeka”. Kata "merdeka" beroleh pengertian baru selama masa pergerakan kebangsaan (1908–1945). Sejumlah koran di Hindia Belanda memuat kata ini dalam pengertian “bebas dari penjajahan”.

Usai Proklamasi, Bung Karno kerap memberi salam dengan memekik “merdeka!” Bersama itu, tangannya terkepal dan diangkat setinggi bahu. Karena dilakukan seorang tokoh, salam ini lekas mengkhalayak. Pemerintah bahkan menetapkan pekik “merdeka” sebagai salam nasional melalui Maklumat Pemerintahan 31 Agustus 1945. [Hendaru Tri Hanggoro].

Baca juga: Bom Pekik Merdeka Sukarno

TAG

perhimpunan indonesia ragam

ARTIKEL TERKAIT

Empat Hal Tentang Sepakbola Empat Hal Tentang Komik Enam Hal Terkait Medis Dari Tapa ke Penjara Empat Hal Terkait Perempuan Dari Bersin hingga Penyakit Kelamin Dari Peragaan Busana hingga Bersulang Empat Hal Tentang Perang Dari Pengelana Melayu hingga Bajak Laut Asing Dari Syal hingga Dasi