Pada akhir abad 13, Marco Polo menginjakan kakinya di tanah Sumatra. Di sana, pelaut asal Venezia, Italia itu terperanjat menyaksikan seekor binatang aneh tapi nyata. Dalam catatan perjalanannya, Il Milione, dia menyebutkan terdapat unicorn –kuda bertanduk satu dalam mitologi Eropa– di negeri yang disebutnya Java Minor (Jawa Kecil). Belakangan diketahui, binatang yang dilihat Marco Polo bukanlah unicorn melainkan badak bercula satu.
Baca juga: Kisah badak tak bernama yang mengusik imajinasi manusia
Sebelum Marco Polo, pertengahan abad 13, sejarawan dan penjelajah Persia Zakaria al-Qazweiny dalam Atsarul Bilad wa Akhbarul Ibad telah mengidentifikasi wilayah Nusantara. Menurutnya, “Jawah” (Jawa) adalah sebuah bilad (negara) yang terletak antara India dan Tiongkok.
“Perjalanan pedagang dari India yang menuju Tiongkok harus melalui negara ini. Para pedagang biasanya membeli barang dagangan dari negara ini berupa kayu gaharu, kamper, dan beras,” tutur Muhammad Lutfi, dosen Sastra Arab UI dalam Konferensi Nasional Sejarah X yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan kebudayaan di Hotel Grand Sahid Jakarta Pusat, 8-9 November 2016.
Lebih jauh ke belakang, Nurni Wulandari menguraikan, antara Jawa dan Tiongkok telah terjalin relasi tributari (upeti) sejak abad ke-2 Masehi. Dokumen tertua yang menerakan Jawa sebagai pembuka hubungan Nusantara dengan Tiongkok tercatat dalam naskah klasik Dinasti Han, Hou Han Shu (Kitab Sejarah Dinasti Han Akhir). Deskripsi tentang Jawa termuat dalam bab 116 berjudul “Xinanyi Zhuan” (“Catatan Negara Barbar Barat Daya”) yang menyatakan:
“Pada masa pemerintahan tahun ke-6 (131 Masehi) Kaisar Yongjian, disebutkan bahwa Raja Yediau (Yavadvipa atau Jawa) bernama Bian mengirim utusan untuk memberi sesembahan ke Cina. Sebagai balasan Kaisar menghadiahinya stempel emas kekaisaran dengan pita berwarna ungu,” sebagaimana dituturkan Nurni, sinolog Universitas Indonesia.
Baca juga: Hubungan bilateral Jawa dan Tiongkok
Ahli sejarah kolonial yang juga arsiparis, Mona Lohanda mengemukakan beberapa nama penjelajah Eropa yang tak banyak tercatat dalam sejarah. Ludovico di Varthema, penjelajah Italia asal Bologna, disebut-sebut sebagai orang pertama yang mencuatkan istilah spice islands (kepulauan rempah-rempah). Dalam memoarnya Itinerario de Ludovico di Varthema yang terbit tahun 1510, memberi fakta bahwa dia adalah orang Eropa pertama yang mereportase pelayaran dari Selatan Jawa sampai Selatan Australia dan Tasmania. Ludovico juga ditengarai sebagai penjelajah pertama yang memperkenalkan nama Sumatra dan Borneo (Kalimantan) setelah mengunjungi wilayah itu pada 1505.
Antonio Pigafetta, seorang dari 18 anggota tim Ferdinand Magellan yang selamat kembali ke Spanyol setelah ekspedisi mereka mendapat serangan penduduk Filipina tahun 1522. Pada 1521, dia menyinggahi Kalimantan dan merekam keadaan setempat dalam catatan perjalanan Relazione del primo viaggio attorno al mondo. Dia menyebut bahwa pulau itu sangat besar dan perlu waktu tiga bulan berlayar mengelilinginya.
“Orang Melayu menyebut pulau itu 'Kalamantan' yang artinya sejenis buah mangga liar. Kalamantan berarti Pulau Mangga, meski penamaan itu berbau mistik,” tulis Pigafetta sebagaimana dikutip Mona.
Baca juga: Misteri lenyapnya Mayor Muller, utusan Belanda di Kalimantan
Sementara itu, ada pula penjelajah Prancis yang tercatat mengarungi Nusantara. Adalah Piere Poivre yang ditugaskan kongsi dagang Prancis pada tahun 1754 untuk memperoleh rempah-rempah. Setelah mengunjungi Maluku, usahanya berhasil karena budidaya pala dan cengkeh berkembang pesat di koloni Prancis, Ile de France (Mauritius). Meski tetap menjadi penghasil rempah, namun menurut Mona, Maluku sejak akhir abad 18 tak lagi memegang monopoli dalam perdagangan dunia.
Menurut sejarawan Restu Gunawan, Indonesia layak berbangga karena di masa lalu merupakan wilayah pertemuan yang sangat penting. Nusantara menjadi peraduan pengembara berbagai belahan dunia dengan bermacam tujuan. Mulai dari para pencari Tuhan yang menyebarkan agama, pengelana terpelajar yang mencari pengetahuan dari dunia baru, hingga pemburu rempah-rempah.
“Kepulauan Nusantara adalah rendezvous dari peradaban dunia baik Timur dan Barat,” ujar Restu.
Baca juga: Problem historiografi Indonesia
Senada dengan itu, menurut Mona Lohanda, pelayaran dan niaga semestinya menjadi salah satu primadona kajian sejarah Nusantara. Namun dia juga menekankan, berita asing tentang Nusantara hendaknya diimbangi dengan dokumen-pencatatan karya tradisional yang terserak-serak di setiap wilayah adat dan etnis.
“Kita harus menggalakkan sumber sejarah yang ada pada kita. Dan ada baiknya jika sejarawan mau mempelajari bahasa-bahasa lokal. Dengan begitu, dapat diharapkan historiografi Nusantara semakin meningkat dalam jumlah dan mutu dari waktu ke waktu,” kata Mona.