KERELAAN Artinah Samsuddin, istri mantan Walikota Sukabumi Mr. Samsuddin, membiarkan rumahnya di Gerjen, Yogyakarta didatangi para gerilyawan membuatnya dicurigai melindungi para gerilyawan republik. Alhasil, beberapa serdadu Belanda/NICA mendatanginya. Mereka memerintahkan Artinah menghadap ke sebuah pos militer.
“Aku dituduh sebagai mata-mata kaum Republik. Aku merasa ngeri dan cemas. Tapi tekadku sudah mantap, apapun yang terjadi pada diriku, tidak akan berkhianat membuka rahasia,” ujar Artinah dalam memoarnya di buku Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi: Kumpulan Pengalaman dan Pemikiran. Buku II, “Pengalaman Fantastis Lolos dari Lubang Jarum”.
Pengalaman mengerikan Artinah saat Agresi Militer Belanda II itu menjadi bagian dari risiko perjalanan hidupnya sebagai pejuang. Perjuangan Artinah bermula saat usinya 18 tahun. “Pada usia delapan belas tahun aku mulai merasakan getaran-getaran semangat perjuangan pada sekujur tubuhku. Aku sadar, belum terlambat untuk ikut berjuang. Kesadaran inilah yang menggerakkan nuraniku untuk ikut berjuang dalam pergerakan nasional,” ujarnya.
Artinah bergabung dengan Indonesia Muda (IM). Saat menghadiri Kongres Pemuda II, yang menghasilkan Sumpah Pemuda, dia bertemu kembali guru idolanya yang populer disapa Ibu Sud. “Sejak itu aku selalu ikut bersama-sama beliau dan teman-teman yang lain bermain tonil (sandiwara) yang dipimpin oleh Mr. Moh. Yamin.”
Kedekatan dengan para tokoh pergerakan membuat hasratnya ikut berjuang memerdekakan Indonesia makin kuat. “Karena begitu bersemangatnya, kadang-kadang kami bertindak berlebihan sebagai layaknya anak-anak muda yang aktif dalam dunia pergerakan, kami tidak ingat waktu, tidak ingat keluarga apalagi memikirkan hari depan pribadi.”
Di sela-sela kesibukannya mengajar bahasa Belanda di sebuah sekolah di Kwitang, Jakarta, Artinah dan teman-temannya aktif memberi ceramah, mengadakan aktivitas pemberantasan buta huruf, dan kegiatan-kegiatan sosial lain. Suatu kali, saat sudah pindah tempat mengajar ke Ardjoena School di Petojo, Artinah berurusan dengan dinas intelijen kolonial PID. Musababnya, saat berpidato di sebuah pertemuan IM Artinah mengucapkan kata “merdeka”. Selain diinterogasi PID, Artinah juga terancam kehilangan pekerjaan. Tapi pembelaan gigih dari Mr. P. Post, seorang Belanda penganut Politik Etis, dan guru-guru lain membuatnya tak jadi dipecat.
Aktivitas Artinah berlanjut ketika dia mendampingi suaminya tugas belajar di Belanda. Di negeri kincir angin, dia bergabung dengan Perhimpunan Indonesia (PI). Mereka aktif memberantas buta huruf yang umum terdapat pada para babu dan jongos Indonesia yang dibawa tuan mereka ke Belanda. Sambil mengajar membaca, mereka juga menanamkan nasionalisme.
Pada 1933, Artinah diutus PI mewakili Indonesia di Konferensi Internasional untuk Perdamaian dan Anti-Fasisme yang dihelat di Selle Pleyel, Paris. “Karena meningkatnya kekuasaan Hitler semakin jelas, gerakan anti-fasis tahun 1930-an tumbuh yang kecil tumbuh untuk menjangkau banyak orang. Dua konferensi untuk perdamaian diadakan di Amsterdam pada 1932 dan di Salle Pleyel Paris pada 1933. Kaum perempuan yang hadir dengan kekuatan besar di kamp-kamp perdamaian anti-fasis tak bisa diragukan lagi mulai saat itu,” tulis Sian Reynolds dalam France Between the Wars: Gender and Politics.
Sekembalinya ke tanah-air, dia berjuang lewat organisasi Istri Sedar sambil mendampingi suaminya yang jabatannya terus meningkat. Semasa pendudukan Jepang, Artinah aktif di Fujinkai. Dia aktif membantu Sukarno dan para tokoh bangsa yang menggembleng muda-mudi di Menteng 31. Saat itulah dia pernah mempermasalahkan seorang murid Sukarno yang melecehkan anak buahnya. Artinah melaporkannya pada Sukarno dan Sukarno langsung memarahi murid itu. “Esok harinya pemuda itu datang kepada anak buah saya dan juga kepada saya untuk meminta maaf,” kenang Artinah.
Setelah proklamasi, Artinah berjuang di Sukabumi, tempat suaminya menjabat sebagai walikota. Bersama istri Abu Hanifah, tokoh Masyumi, dia memberi pelatihan bermacam keterampilan kepada para pemudi dari berbagai pelosok. Kegiatan itu terhenti begitu pasukan Sekutu masuk Sukabumi. Mereka lalu berjuang dengan cara mengirim makanan untuk para gerilyawan. “Aku bersama Ibu Abu Hanifah dan ibu-ibu pejuang lainnya setiap hari dengan tidak mengenal lelah dan takut terus mengirimkan bahan makanan untuk para pejuang kita yang berada di front Lido, Jawa Barat,” ujar Artinah.
Menyusul didudukinya Sukabumi, Artinah mengikuti suaminya mengungsi ke Yogyakarta. Selain mengadakan dapur umum, Artinah mengizinkan rumahnya jadi basis gerilya. Hilir-mudi para gerilyawan ke rumahnya mengundang kecurigaan NICA. Beberapa hari sebelum diinterogasi pasukan Belanda, Artinah mengantarkan makanan ke istri Panglima Sudirman di tempat persembunyiannya.
Interogasi terhadap Artinah berjalan lama dan menegangkan. Seorang perwira yang menginterogasinya amat marah lantaran Artinah selalu menjawab pertanyaan dengan tidak tahu. Namun, suasana mendadak berubah ketika Artinah berbicara dengan anaknya menggunakan bahasa Belanda. Perwira itu langsung menaruh sikap hormat begitu Artinah menjelaskan dia pernah tinggal di Belanda dan mengajar bahasa Belanda semasa muda.
“Kata-kataku sangat mengena di hatinya. Setelah ia berpikir sejenak sambil mengangguk-anggukkan kepala, aku diperbolehkan pulang sambil dinasehati agar lebih berhati-hati dan jangan membantu para gerilyawan republik,” ujar Artinah.
Nasehat perwira Belanda itu tak menyurutkan tekad Artinah membantu perjuangan. Maka ketika Sultan Hamengku Buwono IX memintanya membantu ibu-ibu mengumpulkan bantuan dana untuk membantu perjuangan, Artinah amat semangat. Perjuangan Artinah berlanjut lewat Kowani pasca-Pengakuan Kedaulatan.
“Untuk semua yang kulakukan itu, setelah aman aku mendapat tanda terimakasih berupa sebidang tanah dari penduduk yang terletak di Kauman, namun tanah itu kuwakafkan kembali. Malu rasa hati menerima hadiah karena apalah arti perjuanganku bila dibandingkan pengorbanan saudara-saudara setanah air yang lain.”