Protes dengan Tapa Pepe
Dalam masyarakat feodal Jawa, aksi protes secara damai terhadap kebijakan kerajaan dinamakan dengan tapa pepe.
Biasanya dilakukan rakyat kecil, berpakaian putih, dengan berjemur di bawah terik matahari di alun-alun kerajaan sambil menunggu sang raja berkenan untuk menghadap mereka.
Tapa pepe sudah dikenal sejak masa kerajaan Hindu-Buddha dan terus dipraktikkan pada masa-masa kesultanan Islam di Jawa.
Baca juga: Bentuk-bentuk Gerakan Protes Masa Kolonial
Pemberontakan Budak yang Berhasil
Saint-Domingue di Karibia merupakan koloni Prancis sejak 1659. Di sana, sistem perbudakan orang-orang kulit hitam Afrika berlangsung.
Setelah revolusi rakyat melanda Prancis tahun 1789, kaum budak di Saint-Domingue ikut bangkit melawan tuan-tuan kulit putihnya. Perang kemerdekaan berlangsung pada 1791–1804 dengan kekalahan Prancis.
“Dengan mengalahkan Prancis dan menyingkirkan hampir semua populasi kulit putih, orang kulit hitam dan ras campuran di Saint-Domingue telah membuka jalan untuk membentuk sistem sosial baru di mana perbudakan dihapus sepenuhnya,” tulis Jeremy D. Popkin dalam A Concise History of the Haitian Revolution.
Perang revolusi dimenangkan kaum budak. Sebuah negara baru didirikan dan diperintah mantan budak pada 1 Januari 1804: Republik Haiti.
Baca juga: Ketika Budak Melakukan Pemberontakan
Pemberontakan Kapal Tujuh
Pemberontakan Kapal Tujuh adalah insiden pembajakan kapal laut Belanda Zeven Provincien (Kapal Tujuh Provinsi) oleh awak-awak kapal Indonesia. Insiden ini terjadi karena para pembajak tak terima dengan kebijakan Gubernur Jenderal De Jonge (menjabat 1931–1936) untuk memotong gaji buruh-buruh kapal. Ditambah, sebelumnya telah terjadi pemogokan buruh di pelabuhan Surabaya untuk merespons isu yang sama.
Pada 5 Februari 1933, ketika kapal sedang berlabuh di Olele, dekat Kutaraja, para pembajak memulai aksinya. Mereka menyekap para perwira Belanda serta mengambil alih kapal dan membawanya berlayar ke Surabaya.
Pemerintah Hindia Belanda murka. Begitu memasuki Selat Sunda, kapal Zeven Provincien dicegat kapal perang dan pesawat pengebom Belanda. Karena tak mau menyerah, Zeven Provincien dibom. Awaknya menyerah. Para inisiator pemberontakan seperti Kawilarang, Martin Paraja, dan Maud Boshart dihukum berat.
“Gerakan pemberontakan pelaut itu memang terkesan kiri. Ada semangat kelas pekerja yang menuntut hak-haknya pada majikan,” tulis Petrik Matanasi dalam Prajurit-Prajurit di Kiri Jalan.
Baca juga: Henk Sneevliet Membela Pemberontakan Kapal Tujuh
Kamp Konsentrasi Bermula
Penggunaan kamp konsentrasi di masa perang sudah diterapkan Spanyol, yang disebut reconcentrados, ketika mengatasi pemberontakan rakyat Kuba (1868–1878).
Di Afrika Selatan, kamp serupa dibangun Inggris untuk menampung orang-orang Boer selama masa Perang Boer II (1899–1902). Meski Inggris menyuplai logistik, tetap saja kehidupan di kamp-kamp ini begitu menyedihkan dan banyak yang meninggal karena sakit atau kelaparan.
Pada masa Nazi Jerman, kamp-kamp konsentrasi berubah menjadi tempat eksekusi massal.
“Semua kamp konsentrasi di abad ke-20 punya satu kesamaan: orang-orang ditaruh di kamp bukan karena apa yang mereka lakukan, tetapi karena siapa mereka, seperti kelompok ras yang dibenci, lawan politik, atau orang yang dianggap berbahaya bagi masyarakat,” tulis Hermann Giliomee dalam The Afrikaners: Biography of a People.
Baca juga: Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Pertama Nazi
Hukuman Masuk Penjara
Orang Mesir kuno mengenal hukuman penjara sejak 2040 SM. Sementara orang Yunani dan Romawi kuno mengenal hukuman penjara untuk melengkapi hukuman badan seperti cambuk dan kerja paksa. Para terhukum bisa masuk penjara karena banyak hal: membunuh sampai menunggak utang.
Seperti termaktub dalam Corrections: The Essentials karya Mary K. Stohr dan Anthony Walsh, yang disebut penjara kala itu hanya berupa ruang bawah tanah, gua, dan lubang.
Kemudian orang Inggris memperkenalkan penjara sebagai institusi khusus pada abad ke-17. Mereka menyebutnya “rumah perbaikan”. [Hendaru Tri Hanggoro].
Baca juga: Cerita dari Balik Jeruji Besi