Peragaan Busana Pertama
Belum ada keterangan pasti kapan peragaan busana pertama kali digelar. Namun, Caroline Rennolds Milbank dalam New York Fashion: The Evolution of American Style menyebut peragaan busana sudah ada sejak abad ke-19 di Paris.
“Ada sejumlah bukti peragaan itu –disebut parade busana– digelar di sejumlah tempat di Paris pertengahan 1800-an,” tulis Milbank. Tapi Milbank tak menyebut peragaan itu sebagai yang pertama.
Baca juga: Fesyen dan Krisis Ekonomi
Di Amerika Serikat, peragaan busana sudah digelar pada 1903. Sejumlah toko busana mengadopsi peragaan di Paris untuk mempromosikan produk mereka.
Toko-toko itu menampilkan busana kreasi mereka. Pada 1920-an, peragaan busana mulai digelar di sejumlah restoran di Amerika Serikat saat jam makan siang.
Awal Mula Celana Jin
Celana jin bermula ketika Levi Strauss, kelahiran Bavaria, Jerman, pindah dari New York ke California, Amerika Serikat, untuk membuka toko tekstil pada 1849.
Saat itu gold rush (demam emas) melanda California. Para pekerja tambang butuh pakaian khusus. Strauss pun merancang celana berbahan denim dengan paku tembaga.
“Denim adalah bahan katun tebal yang aslinya ditenun di Nimes, Prancis,” tulis Hellen Reynold dalam Mode Dalam Sejarah. Nama “denim” berasal dari bahasa Prancis, “de Nimes” atau dari “Nimes”. Pekerja tambang menyukai celana buatan Strauss.
Baca juga: Razia Celana Jengki Pakai Botol Bir
Memasuki abad ke-20, sejumlah perancang Amerika Serikat, seperti Claire McCardell, mengadopsi jin untuk pakaian main yang sportif.
Akhirnya, jin tak sebatas celana untuk pekerja tambang. Khalayak pun tertarik memakainya sehingga membuat celana itu populer.
Museum Lilin Bermula
Pendirian museum lilin di beberapa kota besar dunia tak lepas dari peran Marie Tussauds, anak seorang pembantu rumah tangga di Strasbourg, Prancis.
Belajar seni patung lilin sejak remaja, Tussauds mengkreasi patung lilin pertamanya pada 1777 berupa sosok Voltaire, filsuf politik asal Prancis. Selepas itu, sosok sohor lain seperti Jean-Jacques Rousseau dan Benjamin Franklin menjadi modelnya.
Khalayak, sebagian dari luar Prancis, tertarik dengan karya-karyanya. Sejak 1802, Tussauds pun berkeliling Inggris dan Irlandia menggelar pameran patung lilinnya.
Tussauds mengakhiri petualangannya pada 1835 ketika menemukan tempat untuk menggelar pameran secara permanen di Baker Street, London. Dia lantas mendirikan museum yang kelak terkenal sebagai Maddame Tussauds Wax Museum.
Baca juga: Lebih Dekat dengan Museum Nasional
Museum Lilin di Indonesia
Jakarta pernah menjadi salah satu kota yang disinggahi pertunjukan patung atau boneka lilin.
Mas Soetama, guru sekolah di Pasuruan, menceritakan kunjungannya ke Batavia pada awal abad ke-20.
Dalam Karangan Perdjalanan ke Betawi, terbitan Landsdrukkerij (sekarang Balai Pustaka) pada 1903, Soetama berkisah, “Maka hamba berhenti melihat pertunjukan panopticum serta boneka lilin; yang empunya pertunjukkan itu seorang perempuan Inggris, bernama nyonya A. Simons, tempatnya di kampung Pintu Besar. Maka yang dipertunjukkan di situ: beberapa boneka diperbuat daripada lilin, besarnya sebesar orang, elok dan bagus perbuatannya, sehingga sekaligus itu kelihatan betul sebagai orang.”
Beberapa tokoh yang dijadikan model antara lain Kaisar Wilhelm I, raja Prusia (1861–1888), dan Maria Magdalena, murid perempuan Yesus Kristus.
Baca juga: Jalan Panjang Menuju Museum HAM
Kebiasaan Bersulang
Kebiasaan bersulang jamak ditemukan pada banyak masyarakat masa lampau. Maknanya hampir mirip satu sama lain. Karenanya sulit memastikan muasal kebiasaan ini.
Oddysey, karya sastra terbesar Yunani kuno abad ke-9 SM, memuat kisah Ulysses yang mengangkat cangkirnya untuk kesehatan Achilles.
Gambaran itu sesuai dengan kebiasaan masyarakat Yunani kala itu. Mengangkat cangkir biasanya juga ditujukan sebagai penghormatan terhadap Dewa Zeus, Merkuri, dan Dewi Kharis.
Baca juga: Alkohol dan Kejeniusan Masyarakat Nusantara
Fabius Maximus, politisi dan jenderal Roma tersohor abad ke-2 SM, biasa mengangkat cangkir untuk tetamu dalam jamuan. Selain mendoakan kesehatan tetamunya, kebiasaan itu tanda menyantap hidangan.
Dalam karyanya, The Decline and Fall of the Roman Empire, Edward Gibbon berkisah perayaan di kalangan bangsa Hun pada abad ke-5. Pemimpin tersohor mereka, Attila, memimpin perayaan dengan mengangkat dan mengedarkan cangkir kepada pasukannya sebanyak tiga putaran.