Masuk Daftar
My Getplus

Alkohol dan Kejeniusan Masyarakat Nusantara

Alkohol bukan cuma perkara mabuk-mabukan. Ada kejeniusan, kreativitas, hingga spiritualitas masyarakat Nusantara di dalamnya.

Oleh: Andri Setiawan | 05 Mar 2021
Ilustrasi (Betaria Sarulina/Historia)

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021, yang memasukan investasi industri minuman keras sebagai salah satu bidang usaha, menuai kotroversi. Banyak pihak menolak dengan berbagai alasan, dari agama hingga moral. Akibatnya, aturan mengenai industri minuman keras ini kemudian dicabut Presiden Jokowi pada Selasa, 2 Maret 2021.

Seiring dengan kontroversi yang muncul sebelum aturan itu dicabut, diskusi mengenai minuman keras bergulir. Alkohol disebut sebagai bagian dari produk kebudayaan lokal Indonesia yang kini masih bias ditemui di beberapa daerah. Di Sumatera Utara terdapat tuak, di Jawa ada ciu, congyang. Sementara, di daerah Indonesia Timur ada sopi dan moke di Nusa Tenggara Timur serta Cap Tikus di Sulawesi Utara.

Ikhwal alkohol bahkan telah ada sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara. Prasasti-prasati menyebut minuman beralkohol dengan beragam nama serta kegunaan sejak abad ke-10.

Advertising
Advertising

Baca juga: Minuman Beralkohol Khas Nusantara

Filsuf Tommy F. Awuy dalam Dialog Sejarah “Minum Kemarin, Mabuk Sekarang: Alkohol dan Kejeniusan Lokal” di saluran Youtube dan Facebook Historia, Kamis, 4 Maret 2021 menyebut bahwa alkohol memang merupakan bagian dari produk kreativitas suatu masyarakat.

Kreativitas yang dimaksud Tommy adalah tentang bagaimana manusia merespon kekayaan alam yang tersedia. Respon inilah yang membuat leluhur Nusantara membuat alkohol dengan berbagai kegunaan memanfaatkan pepohonan, buah-buahan, hingga dedaunan yang ada di sekitar mereka.

“Dari arak, misalnya, muncul dari lontar, muncul dari aren, dan berbagai hal. Itu respon positif manusia terhadap alam ini,” sebut Tommy.

Menurut Tommy, potensi mengolah kekayaan alam menjadi produk baru ini sekaligus menunjukkan rasa hormat manusia terhadap alam itu sendiri. Kaitan manusia, alam, dan alkohol kemudian juga memunculkan aspek spiritualitas.

“Itulah respon leluhur kita, dengan kejeniusan mereka menghadirkan produk yang kita lihat sebagai alkohol. Tapi sekarang dilihat itu identik dengan mabuk-mabuk. Ya bukan masalah itu. Jadi kita harus luruskan ini supaya jangan terjadi pembunuhan karakter terhadap alkohol itu sendiri,” jelas Tommy.

Sementara, dosen filsafat Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia sekaligus aktivis perempuan Saras Dewi menyebut bahwa di Nusantara, alkohol memiliki setidaknya dua aspek penting: sosial dan spiritual. Saras mencontohkan di Bali, misalnya, arak tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan masyarakatnya. Arak biasa dipakai untuk menjaga persaudaraan melalui beragam kegiatan.

“Misalnya tengah megibung, atau bersantap bersama, itu pasti disuguhi entah arak atau tuak ya, tergantung,” kata Saras.

Baca juga: Mabuk Saat Berpesta dan Berdoa

Dalam perspektif spiritual, Saras menyebut bahwa alkohol menunjukkan daya imanjinasi leluhur luar biasa. Menurutnya, akar tentang spiritualitas alkohol ini telah ada dalam kitab suci Regweda. Dalam Regweda, disebutkan tetang bagaimana dewa mengkonsumsi minuman yang disuling atau diekstrak sehingga menimbulkan rasa keabadian atau immortality.

Dalam kepercayaan Hindu-Bali, alkohol juga tak melulu untuk alam manusia, melainkan juga untuk mereka yang berada di demensi lain. Saras yang juga berasal dari Bali mencontohkah bahwa keluarganya biasa menyuguhkan satu gelas kecil arak sebagai persembahan untuk almarhum kakeknya. Arak juga dipakai dalam sembahyang untuk mengajak berkomunikasi dengan “Yang Agung”.

“Itu pintu masuknya. Salah satunya dengan arak ya, arak brem lebih tepatnya. Diberikan atau semacam dikucurkan ke tanah,” terang Saras.

Di Karangasem, sambung Saras, arak beras juga menjadi bagian dari ritual-ritual sakral. Beras yang berkaitan erat dengan kehadiran Dewi Sri itu, setelah diolah menjadi arak, dipakai untuk mendekatkan diri kepada hal-hal transendental.

“Salah satu bagian dari ritualnya adalah bagaimana fermentasi (beras) yang kemudian dinikmati bersama itu seperti mempersatukan tubuh kita manusia biasa dengan tubuh yang sakral, tubuh yang transendental,” jelasnya.

Baca juga: Komisi Antialkohol Zaman Kolonial

Saras menyebut, keberadaan alkohol dalam kebudayaan Nusantara ini menunjukan betapa kaya daya imanjinasi leluhur. Dalam masyarakat yang masih kental dengan animisme dan dinamisme, alkohol merupakan penemuan jenius, bukan semata-mata satu minuman yang digunakan untuk mabuk lalu hilang kesadaran tanpa makna.

“Alkohol itu teknologi yang sangat jenius para leluhur kita. Karena, bayangkan, dia mencoba melampaui kesementaraan tubuh dia kan sebenarnya. Dia ingin merasakan sesuatu yang di luar daripada keseharian. Tetapi suatu peristiwa yang dia merasakan kehadiran yang lain, yang agung bahkan,” ungkapnya.

Di Bali, minum arak melewati beberapa tahap. Dimulai dari yang ringan, sedang, hingga kemudian mabuk sampai tak sadar yang dalam bahasa Bali disebut punyah.

“Jadi kuncinya, seni untuk meminum alkohol adalah bagaimana ada di dua dunia itu, antara sadar dan ketaksadaran itu kan sebenarnya,” katanya.

Tommy F. Awuy kembali mengingatkan bahwa alkohol lokal merupakan warisan yang patut dijaga karena merupakan produk yang lahir dari alam yang telah memberikan kehidupan. Dari alkohol lokal, energi alam yang dibutuhkan untuk membangkitkan kreativitas juga muncul.

“Alam itu kita lihat sebagai energi karena daunpun bisa menghidupkan kita, akarpun bisa menghidupkan kita, biji-bijianpun bisa menghidupkan kita,” terangnya.

Ia berharap, alkohol tidak melulu dinarasikan sebagai barang yang membuat destruksi atau selalu dikait-eratkan dengan perilaku-perilaku kriminal. Sebab, alkohol memiliki nilai-nilai kejeniusan luluhur di dalamnya.

Baca juga: Bung Hatta dan Minuman Keras

“Leluhur respect terhadap alam. Kita harusnya juga kan respect kepada leluhur yang sudah memproduksikan alkohol yang bagi mereka itu adalah buah kreativitas dari respek terhadap biji-bijian, buah-buahan, padi-padian, tadi sampai muncul Dewi Sri itu. Semua itu tidak lepas dari alam yang memiliki energi. Taksu bahasa Balinya,” kata Tommy.

Senada dengan Tommy, Saras juga mengajak masyarakat untuk merawat pengetahun leluhur tentang alkohol lokal yang memiliki beragam perspektif.

“Menurut saya sekarang adalah waktu untuk penting menulis dan juga menjaga, merawat, melestarikan seluruh pengetahuan nenek moyang, khususnya terkait dengan arak, tuak, brem, sopi, moke yang dari Indonesia timur, yang merupakan jejak leluhur kita, warisan leluhur kita yang begitu berharaga. Harus dijaga,” ujar Saras.

TAG

minuman keras

ARTIKEL TERKAIT

Lebih Dekat Mengenal Batik dari Kota Batik (Bagian I) Warisan Budaya Terkini Diresmikan Menteri Kebudayaan Merekatkan Sejarah Lakban Menyibak Warisan Pangeran Diponegoro di Pameran Repatriasi Kisah Tukang Daging yang Menipu Bangsawan Inggris Uprising Memotret Kemelut Budak yang Menolak Tunduk Depresi Besar dan Kegilaan Menari di Amerika Ali Sadikin Gubernur Necis Bergaya Lewat Karung Dari Manggulai hingga Marandang