Citayam Fashion Week (CFW) di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat, masih ramai diperbincangkan. Selain karena hak kekayaan intelektual CFW sempat diklaim oleh selebritas Baim Wong dan Paula Verhoeven, fenomena ini juga telah menjalar ke berbagai daerah. Anak-anak muda memakai berbagai jenis busana berlenggok-lenggok catwalk di zebra cross. Peragaan busana pun kini tidak identik lagi dengan kalangan elite.
Sejarah peragaan busana (fashion show) di Indonesia dimulai oleh Adriana Paula Adeline Kawilarang, pendiri butik dan salon kecantikan pertama di Indonesia. Dalam Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 dijelaskan, Non Kawilarang lahir di Tondano pada 27 Oktober 1917. Dia anak kesembilan dari seorang mayor-sipil di Minahasa –setingkat regent (bupati) di Jawa. Sejak kecil dia telah menunjukkan ketertarikannya pada dunia mode, khususnya merancang pakaian. Sejak duduk di sekolah MULO (kini setara SMP), dia telah merancang dan menjahit pakaiannya sendiri.
Baca juga: Obituari: Rima Melati Telah Pergi
Pernikahan Adriana Paula Adeline dengan Martinus van Rest memperoleh anak perempuan bernama Marjoline. Dia kemudian menikah lagi dengan John Nicolaas Tambayong, sehingga putrinya bernama Marjoline Tambayong yang kemudian lebih dikenal dengan Rima Melati, aktris dan model ternama yang belum lama meninggal dunia.
Irma Hardisurya, Ninuk Mardiana Pambudy, dan Herman Jusuf dalam Kamus Mode Indonesia menyebut Non Kawilarang termasuk pelopor industri mode di Indonesia. Dia menempuh pendidikan tata busana di Akademi Jahit Rotterdam, Belanda pada 1936–1938. Dia termasuk perintis bisnis ritel mode ketika membuka butik Shri Fatma di kompleks bioskop Metropole (Megaria), Cikini, Jakarta Pusat, pada 1951.
Baca juga: Kisah Peter Sie pada Zaman Jepang
Nama Shri Fatma pemberian Presiden Sukarno yang diambil dari nama istrinya, Fatmawati, yang artinya perempuan terindah. “Waktu itu kami memang agak dekat dengan Bung Karno,” kata Non Kawilarang. Sukarno juga memberi nama Melati kepada Marjoline sehingga namanya menjadi Rima Melati.
Pada era 1950-an, Non Kawilarang dan Peter Sie dikenal sebagai perancang busana top dan pelopor mode di Indonesia. Sama-sama mendapatkan pendidikan mode di Belanda, keduanya secara terpisah membuka usaha pembuatan pakaian. Tak sekadar menjahit pakaian, mereka juga memberi masukan tentang pakaian bagi para pelanggannya dan merancang pakaian dengan kreasi sendiri. Itulah yang membedakan mereka dengan penjahit biasa.
Baca juga: Dari Peragaan Busana hingga Bersulang
Tak hanya membuka butik dan salon kecantikan pertama, menurut Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981–1982, Non Kawilarang juga menyelenggarakan peragaan busana pertama kali di Indonesia pada 1951.
Mula-mula acara peragaan busana diadakan dua kali setahun, akhirnya dia tak dapat lagi mengingat jumlah peragaan busana yang telah diselenggarakannya selama berkecimpung dalam dunia mode. “Aduh! Pokoknya banyak sekali,” kata Non Kawilarang.
Baca juga: Rahardian Yamin, Pelopor Modeling Indonesia
Meski peragaan busana belum banyak diadakan pada era 50-60-an, Non Kawilarang dan Peter Sie cukup sering menggelar peragaan busana untuk memperkenalkan karya-karya mereka.
Popularitas yang diraih Non Kawilarang dalam dunia mode tak membuatnya puas. Dia merasa harus terus mengembangkan diri. Untuk meningkatkan keahliannya, dia tinggal di Hong Kong pada 1963–1966. Sekembalinya dari Hong Kong, dia mendirikan Rima Melati Boutique.
Pada 1969, perdagangan internasional berkembang pesat dan Indonesia mulai terbuka untuk investasi asing. Non Kawilarang bersama sejumlah perancang busana dan tokoh mode mendirikan asosiasi perancang mode pertama yang bernama Perhimpunan Ahli Perancang Mode Indonesia (PAPMI). Dia juga turut mendirikan sekolah-sekolah jahit yang guru-gurunya dari anggota PAPMI.
Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin sebagai pelindung PAPMI antusias dengan rencana pendirian sekolah jahit tersebut. Dia menyumbang uang sebagai modal awal, sementara sisa kekurangannya ditanggung oleh anggota PAPMI secara gotong-royong. Ali juga mendorong diselenggarakannya acara-acara peragaan busana.
Baca juga: Kemeriahan Mambo Fesyen Show
Dalam memoar Peter Sie, Mode Adalah Hidupku, disebutkan bahwa Ali Sadikin menugaskan Non Kawilarang dan Peter Sie untuk menggelar peragaan busana dalam rangka peresmian penggunaan gelanggang pacuan kuda di kawasan Pulo Mas tahun 1971.
Dalam peragaan busana tersebut, Non Kawilarang dan Peter Sie menggunakan batik dan katun untuk rancangan mereka, dilengkapi beragam topi yang disesuaikan dengan warna dan corak rancangannya.
Sebagai salah satu perancang busana ternama, Non Kawilarang berhasil meraih sejumlah penghargaan dan hadiah. Di antaranya dalam First International Contest of Indonesia Batik (FICIB) yang digelar di Mirasa Sky Club di Gedung Sarinah, Jakarta, pada 1972, dia menjadi satu-satunya pemenang mengalahkan peserta dari berbagai negara yang diundang.
Baca juga: Tampil Modis Lewat Sejarah
Pada 1972, Non Kawilarang mendirikan agensi model bernama Indonesian Modelling Agency (IMA). Para peragawati yang dididik di agensi model ini turut ambil bagian saat Non Kawilarang memperkenalkan pakaian-pakaian rancangannya melalui peragaan busana.
Menjelang usia senja, Non Kawilarang mencurahkan perhatiannya pada kegiatan rohani. Dia menyatakan menemukan kebahagiaan dengan “bekerja di ladang Tuhan”. Terakhir, dia mengetuai sebuah kelompok umat Kristen di Jakarta.
Perancang busana dan salah satu perintis dunia mode Indonesia ini tutup usia pada 27 Juni 1997 di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan, setelah berjuang melawan kanker kulit. Pada 2013, Non Kawilarang dianugerahi penghargaan Lifetime Fashion Icon Awards atas jasanya dalam mengembangkan industri mode tanah air.