Masuk Daftar
My Getplus

Tampil Modis Lewat Sejarah

Bermula dari penggunaan kulit hewan. Manusia lalu mengenal gaun dan rok paling awal dengan hanya selembar kain panjang yang dibebatkan di tubuh.

Oleh: Jay Akbar | 14 Okt 2010
Feysen perempuan dan anak-anak zaman Victoria tahun 1874. Foto: thinglink.com.

TAHUKAH Anda sejarah sepatu atau pakaian yang kini setiap hari Anda kenakan? Sepatu pertama terbuat dari kulit binatang yang dililitkan di kaki atau dijahit menjadi kantung sepatu. Lalu orang Mesir Kuno sudah membuat sandal papirus, sementara orang Yunani Kuno membuat sepatu lebih rumit lagi dengan sol dalam dan sol luar berpaku pendek. Gaun pertama juga terbuat dari kulit binatang, lalu kain tenunan menggantikannya. Dari waktu ke waktu sepatu dan pakaian berkembang sesuai kebutuhan dan tren, dari pemilihan bahan hingga bentuknya.

Itulah yang hendak disampaikan Helen Reynolds dalam buku seri Mode dalam Sejarah.

Reynolds memulai pembahasan mengenai sejarah sepatu dari sisi pemilihan bahan. Pada peradaban awal, orang menggunakan bahan-bahan yang tersedia di sekitar, menyesuaikan modelnya dengan kondisi alam dan iklim setempat. Alas kaki orang Mesir Kuno memungkinkan udara segar mengalir dan membuat kaki tetap nyaman dalam cuaca gurun yang panas. Sementara orang Eropa Utara, akibat cuaca dingin, membuat alas kaki dengan bahan kulit samak yang berasal dari kulit rusa, kambing, sapi, babi, dan domba.

Advertising
Advertising

Dalam perkembangannya, orang mulai mengutamakan model dengan mengabaikan kenyamanan. Pada abad ke-14, misalnya, sepatu model lancip dengan ujung mengarah ke atas sangat populer di kalangan bangsawan Eropa. Bahkan ada yang meminta para pengrajin untuk membuat model sepatu lancip yang ekstrim sehingga menyulitkan saat berjalan. Sampai-sampai saat itu ada aturan yang mengatur panjang sepatu.

Selain sebagai mode, alas kaki juga menjadi penanda status sosial. Bangsawan-bangsawan di Eropa pada abad ke-16 mulai menggunakan alas kaki berlapiskan satin atau beludru yang dijahit dengan benang emas atau perak. Saat itu bentuk cocor bebek yang lebar dan lurus menjadi tren. Dalam lukisan bertahun 1536, Henry VIII dari Inggris berpose dengan busana paling mutakhir saat itu: sepatu model cocor bebek berpola sayat-sayat.

Hal-hal unik yang jarang terpikirkan orang mengenai sepatu juga diulas dalam buku ini. Penggunaan sol (alas sepatu) keras pada bot, misalnya, sudah dirintis sejak zaman kekaisaran Romawi. Kala itu, untuk menjaga agar sepatu tak mudah rusak dan aus di jalan Eropa yang terjal dan berbatu, para prajurit Romawi menggunakan sepatu beralaskan paku-paku pendek. Begitu juga penggunaan sepatu hak, yang sekarang seolah menjadi barang wajib bagi perempuan terhormat. Awalnya, sepatu hak dipakai agar penggunanya tak gampang tergelincir saat menunggang kuda. Model ini menjadi populer ketika Ratu Prancis Chaterine de’ Medici (1519-1589) memesan sepatu model ini pada seorang perancang mode di Italia.

Hal unik lainnya: pembedaan sepatu untuk kaki kiri dan kaki kanan baru muncul pada abad ke-19! Sebelumnya, para pengrajin membuat sepasang sepatu yang bentuknya identik dan bisa dipakai oleh kedua kaki. Enakan yang mana, ya?

Perkembangan teknologi berpengaruh besar terhadap industri pembuatan sepatu. Proses pengolahan bahan, desain rancang, hingga pembuatan sepatu dilakukan dengan tenaga mesin berkomputerisasi. Hal ini mendorong pabrik-pabrik sepatu dunia mampu memproduksi sepatu secara massal dalam waktu relatif singkat, dan harganya pun jadi murah.

Dalam buku lainnya, Reynolds mengulas sejarah rok dan gaun. Bermula dari penggunaan kulit hewan, manusia lalu mengenal gaun dan rok paling awal dengan hanya selembar kain panjang yang dibebatkan di tubuh. Penggunaannya kemudian berkembang: dililitkan dan dilipat, diberi lipit, kerut, atau diikat.

Pada abad pertengahan, potongan gaun menjadi kian rumit di Eropa. Pakaian dilengkapi korset pinggang untuk menonjolkan bentuk alami pinggang. Memasuki abad ke-16 gaun yang dianggap modis adalah gaun berstruktur dan terbuat dari sutera tebal atau beludru. Korset yang dipakai kaku dan panjang dengan bagian depan berbentuk huruf “V”. Pada paro kedua abad ini kerutan menjadi model busana yang populer.

Setiap zaman dan setiap tempat memiliki aturan tatabusana. Rok yang selama ini identik dengan kaum hawa sebenarnya menjadi pakaian lumrah bagi kaum adam sejak zaman Mesir Kuno. Demikian juga pakaian dengan belahan dada rendah-menantang, yang dulu dianggap tak sopan bagi sebagian masyarakat Eropa. Kini, bukan hanya memamerkan belahan dada, perancang busana cenderung mengekspos hampir setiap lekuk dan bagian tubuh pemakainya. Di sisi lain, perempuan abad ke-20 juga mulai menjalani gaya hidup aktif. Mereka butuh pakaian yang lebih mudah dipakai sekaligus praktis. Ketika kain dari serat sintentis diciptakan, beragam model yang lebih sederhana pun bermunculan.

Reynolds membahas sejarah mode ini secara tematis berdasarkan tren di masing-masing zaman. Ulasannya dilengkapi foto maupun gambar, yang memudahkan pembaca mendapatkan gambaran detail. Enak dilihat dan mudah dicerna. Kedua buku ini merupakan bagian dari seri Mode dalam Sejarah untuk melihat pengaruh mode dan kemajuan teknologi terhadap perilaku sosial, selera, dan gaya hidup, atau sebaliknya. Selain kedua judul ini; rasanya akan lebih lengkap jika kita membaca judul lain dalam serial ini: Jaket & Celana, Baju Dalam, Topi & Gaya Rambut, serta Riasan Wajah & Tubuh.

Buku ini layak dijadikan bahan bacaan bagi siapa saja yang ingin tampil modis setiap waktu.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Presiden Korea Selatan Park Chung Hee Ditembak Kepala Intelnya Sendiri Pengungsi Basque yang Memetik Bintang di Negeri Tirai Besi Warisan Budaya Terkini Diresmikan Menteri Kebudayaan Aksi Spionase Jepang Sebelum Menyerang Pearl Harbor Radius Prawiro Mengampu Ekonomi Masyarakat Desa Tuan Tanah Menteng Diadili Mimpi Pilkada Langsung Jurus Devaluasi dan Deregulasi Radius Prawiro Mobil yang Digandrungi Presiden Habibie Jenderal Belanda Tewas di Lombok