NURKHOIRON, komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) terlihat bersemangat malam itu, saat menjelaskan gagasan menyulap sebagian ruang kerja di kantornya untuk jadi museum HAM.
“Komnas HAM punya ruangan yang bisa digunakan sebagai museum. Itu lebih mudah daripada membangun dari awal karena bangunannya sudah ada,” kata dia dalam diskusi mengenai Museum HAM, 8 Desember 2016.
Komisioner Komnas HAM yang banyak berkecimpung menangani kejahatan kemanusiaan 1965-1966 itu mengatakan tahun 2016 adalah momentum yang tepat untuk mendirikan museum.
“Tahun 2016 pemerintah sedang menyiapkan program pembangunan museum. Komnas HAM pernah membahas rencana pembangunan museum HAM juga, kami berharap rencana kami sejalan dengan program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu,” kata Nurkhoiron kepada Historia .
Ide museum HAM yang didiskusikan di kalangan komisioner Komnas HAM menurut Nurkhoiron tidak terpaku pada satu periode kekerasan politik tertentu. Museum akan merentang jauh hingga ke zaman VOC, di mana kejahatan terhadap kemanusiaan di negeri ini bermula.
Terlepas dari rencana Komnas HAM dan program pemerintah untuk membangun museum, Yulia Evina Bhara bergegas lebih mula dengan ide museum temporer. Direktur Partisipasi Indonesia itu berinisiatif untuk merealisasikan ide museum HAM kendati dalam bentuk yang masih sederhana dan sementara.
Hasilnya adalah sebuah bangunan yang terdiri atas puluhan perancah yang terpasang membentuk kubus berukuran sekira 200 meter persegi dengan tinggi lima meter. Bangunan temporer berselubung jaring hitam itu didapuk sebagai museum bertajuk Museum Rekoleksi Memori. Museum berfungsi sebagai ruang pamer selama lima hari yang didirikan di areal Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, dalam rangka peringatan hari HAM internasional, 10 Desember 2016.
“Museum ini didirikan untuk menyatakan sejarah kepada generasi sekarang. Inisiatif Museum Rekoleksi Memori ini didedikasikan kepada seluruh korban pelanggaran HAM baik sudah tiada maupun yang masih memperjuangkan keadilan hingga hari ini,” kata Yulia kepada Historia.
Lagipula menurut Yulia, jalan untuk membangun museum HAM yang permanen agaknya masih terkendala oleh pemahaman yang berbeda atas peristiwa kekerasan politik di masa lalu. Terlebih dalam soal peristiwa 1965 yang rangkaiannya bermula sejak 1 Oktober 1965 sampai dengan pembunuhan massal sepanjang 1965-1966 masih mengundang reaksi keras dari beberapa kelompok.
Yulia menyayangkan masih adanya stigma terhadap korban dan penyintas kejahatan kemanusiaan serius 1965-1966. Padahal pada era demokrasi ini, mestinya menjadi momentum untuk merefleksikan kembali pengalaman bangsa di masa lalu.
“Kita harus sudi menengok ke belakang, mencoba menggali suara dari masa lalu, merekoleksi memori kita untuk dapat memahaminya dengan nalar dan mata hati yang jernih hari ini. Kita haru belajar menerima kenyataan sepahit apapun,” ujarnya.
Sementara itu Ketua Komnas HAM Nur Kholis mengatakan museum temporer Rekoleksi Memori itu adalah bagian dari langkah penting dalam upaya menyelesaikan persoalan masa lalu. Dia berharap museum temporer Rekoleksi Memori yang digagas Yulia bisa jadi awal yang baik untuk mewujudkan museum nasional HAM yang permanen.
“Dari kegiatan ini, harapan kita, dapat mendorong untuk pendirian museum nasional HAM. Dari museum HAM ini, kita bisa belajar masa lalu. Museum HAM bisa jadi akan menjadi model bagi penyelesaian masalah HAM,” kata Nur Kholis.
Ikhtiar Anak Muda
Dalam membangun museum temporer itu Yulia melibatkan arsitek dan desainer muda jebolan Jerman: Stephanie Larassati, Gosha Muhammad dan Wendy Sudibyo. Menariknya, anak-anak muda Indonesia yang banyak malang melintang di bidang arsitektur di Jerman itu untuk kali pertama bersentuhan dengan tema kejahatan kemanusiaan di negerinya.
“Ini pengalaman pertama buat saya sekaligus tantangan yang menarik merancang museum temporer tentang kejahatan kemanusiaan di Indonesia pada masa lalu. Apalagi sampai saat ini sejarah pelanggaran HAM di Indonesia masih ditutup-tutupi dan belum bebas untuk dibicarakan,” kata Stephanie.
Wendy Sudibyo arsitek kelahiran Cilacap 27 tahun silam juga mengungkapkan hal yang sama. Membangun museum temporer Rekoleksi Memori yang menghadirkan masa lalu kelam bangsa ini adalah pengalaman pertama baginya. Sebagaimana Stephanie, Wendy juga menerima pelajaran sejarah yang tak pernah terbuka, terutama tentang periode kekerasan politik yang menyebabkan banyak korban di kalangan masyarakat.
Mereka bekerjasama merancang museum temporer yang akrab dan mudah dipahami bagi generasinya. Konsep yang mereka susun menjadi lambang pencarian anak muda tentang kisah masa lalu bangsanya yang selama ini selalu dirahasiakan bahkan dilarang dibuka oleh penguasa.
“Konsep Museum Temporer Rekoleksi Memori adalah sebuah simbol terhadap aksi penolakan oleh generasi muda Indonesia untuk menutup mata akan sejarah pelanggaran HAM,” kata Stephanie.
Bangunan sementara yang menggunakan material sederhana itu memang tampak memikat. Paviliun terdiri dari rangka-rangka perancah yang disusun bertingkat, melambangkan aksi merangkai memori. Perancah itu tak lagi dilihat sebagai elemen industri pembangunan, namun sebagai elemen arsitektur yang memberikan bentuk sekaligus tampak bangunan.
Desain bangunan temporer itu menurut Stephanie menjadi ihktiar dia dan generasinya untuk mengungkapkan kebenaran melalui pendekatan kreatif dan substansial.
“Dengan bentuk yang sederhana, paviliun ini mengubah pelataran TIM (Taman Ismail Marzuki) menjadi suatu ruang terbuka untuk kontemplasi dan dialog,” kata dia memberi penjelasan.
Karya Seni
Selain melibatkan arsitek dan desainer muda, museum Rekoleksi Memori juga menghadirkan karya-karya seniman dan fotografer muda. Sebut saja misalnya Elisabeth Ida, fotografer-cum-perupa Indonesia yang kini bermukim di Gent, Belgia. Karya instalasi bertajuk Sejarah Siapakah? itu berangkat dari gagasan untuk membangun, meruntuhkan (dekonstruksi) dan membangun ulang (rekonstruksi) narasi sejarah kejahatan kemanusian di Indonesia.
Joachim Naudts, kurator yang mengkurasi karya Ida mengatakan sebagai seorang seniman, Ida menggunakan gambar-gambar fotografis dan filmis yang menimbulkan efek mengerikan. Ida memokuskan tema karyanya pada propaganda sejarah rezim Soeharto dan diaspora penyintas pascaperistiwa 1965 yang kini banyak bertebaran di Eropa.
“Saya hanya bisa membayangkan setengahnya saja, bagaimana hal-hal ini mempengaruhi seorang seniman muda seperti Elisabeth Ida di dalam mengerjakan proyek yang berhubungan dengan diaspora Indonesia dan kejadian-kejadian sejarah semenjak 1965,” ujar Joachim dalam pengantar kurasinya.
Karya menarik lain adalah karya videografer Yovista Ahtajida. Anak muda yang biasa nongkrong di sekitar museum Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta Timur itu itu membuat instalasi video kanal ganda bertajuk Wahana Loebang Maoet. Menurutnya, monumen Lubang Buaya bukan lagi wahana pembelajaran, melainkan wahana penyebar horor.
“Hanya ada kengerian di sana. Seperti masuk rumah hantu saja. Dan itulah karya terpenting Orde Baru,” ujar lelaki berambut keriting jebolan FISIP UI itu.
Fotografer Adrian Mulya menyajikan karyanya tentang para perempuan penyintas peristiwa 1965. Di bawah judul Pemenang Kehidupan, Adrian memotret wajah-wajah perempuan tua mantan anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang digambarkan sebagai organisasi perempuan kejam tak beradab oleh rezim Soeharto.
Di tangan Adrian, potret perempuan anggota organisasi perempuan yang selama bertahun-tahun dimusuhi dan dikelabui sejarahnya itu, tampil menawan. Jauh dari kesan yang selama ini tergambar lewat film Pengkhianatan G30S/PKI: keji, amoral dan tak beradab.
Hampir semua karya seni yang ditampilkan di dalam museum temporer itu berpijak pada tema sejarah kekerasan yang terjadi sepanjang tahun 1965-1966. Padahal menuruth komisioner Komnas HAM Nurkhoiron sampai hari ini tema tentang kekerasan pada pengujung era Sukarno itu masih banyak menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. “Soalnya angka 65 itu sampai sekarang masih keramat,” kata dia.
Menuju Museum yang Permanen
Bagi Nurkhoiron, Museum Rekoleksi Memori menjadi langkah awal untuk mewujudkan museum HAM yang bersifat permanen. Museum HAM dibutuhkan sebagai wahana pembelajaran sejarah masyarakat agar kekerasan politik yang mengorbankan banyak orang tak bersalah tidak lagi berulang di masa kini dan masa yang akan datang.
“Museum temporer Rekoleksi Memori itu menjadi awalan yang baik bagi kami untuk terus mengupayakan pendirian museum HAM yang permanen agar masyarakat dan elit politik di negeri ini bisa belajar dari masa lalu dalam hal hak asasi manusia,” kata Nurkhoiron.
Keingintahuan publik pada periode sejarah yang penuh kekerasan itu bisa terlihat dari jumlah kunjungan masyarakat ke museum temporer Rekoleksi Memori di TIM yang digelar sejak 8-12 Desember 2016 itu.
“Selama lima hari kami menyelenggarakan acara ini, ada sekitar tiga ribu pengunjung yang datang kesini dan sebagian besar anak-anak muda yang ingin tahu sejarah bangsanya sendiri,” kata Yulia sembari menunjukan sejumlah foto dan daftar hadir sebagai bukti.
Melihat pentingnya keberadaan museum HAM dan tingginya minat masyarakat sebagaimana ditunjukan selama penyelenggaraan museum temporer Rekoleksi Memori, pendirian museum HAM yang permanen jadi semakin penting.
“Itu kenapa kami akan terus berusaha mewujudkannya, kalau perlu urunan (menggalang, red.) dana dari kami dan masyarakat,” pungkas Nurkhoiron.