Masuk Daftar
My Getplus

Lebih Dekat dengan Museum Nasional

Sudah 240 tahun Museum Nasional berdiri. Tantangannya mendekatkan museum dengan masyarakat.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 01 Mei 2018
Museum dan masyarakat 1950-1965. foto: koleksi Museum Nasional

GEDUNG Arca, Gedung Perabot, lalu kini menjadi Gedung Gajah atau Museum Gajah. Begitulah, dari masa ke mana, masyarakat menjuluki Museum Nasional Indonesia.

240 tahun lalu, tepatnya pada 24 April 1778, cikal bakal Museum Nasional didirikan, yaitu Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BG). Salah satu penggagasnya seorang pejabat VOC, Jacobus Cornelis Mattheus Rademacher. Lembaga independen ini didirikan untuk memajukan penelitian, khususnya dalam bidang seni, arkeologi, etnologi, biologi, dan sejarah.

Kala itu, masyarakat Eropa keranjingan dengan pemikiran-pemikiran ilmiah dan ilmu pengetahuan. “Ada semacam penciptaan ilmu pengetahuan untuk mengenal jajahan, seperti munculnya kajian indologi,” kata sejarawan Bonnie Triyana dalam bedah buku Cerita dari Gedung Arca di Museum Nasional, Senin (30/4).

Advertising
Advertising

Sejak awal berdiri, koleksi BG terus dikumpulkan dari sumbangan para anggotanya. Rademacher mengawali dengan menyumbangkan rumahnya di Jalan Kali Basar. Dia juga mengikhlaskan koleksinya berupa buku, naskah, alat musik, mata uang, spesimen flora, tanaman kering, dan sebagainya.

Pada masa itu, kalangan atas gemar mengoleksi benda-benda unik dan antik (antiquarian). Sejak 1779 rumah koleksi itu dibuka dan dipamerkan untuk umum. Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles kemudian menambahkan bangunan di belakang Societeit de Harmonie untuk menampung koleksi yang makin banyak dan tak tertampung di Jalan Kali Besar. Lokasi bangunannnya di Jalan Majapahit yang kini berdiri kompleks gedung Sekretariat Negara. Setelah gedung ini juga tak memadai, pemerintah kolonial kemudian membangun gedung di Medan Merdeka Barat pada 1862.

Setelah Indonesia merdeka, BG terus berjalan. Namanya berganti menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia pada 1950 dan dibubarkan pada 1962. Namun, museumnya masih berdiri dan dikenal dengan Museum Pusat. Baru pada 1979, namanya berubah jadi Museum Nasional.

“Dulu di sini perpustakaan dan museum menjadi satu. Tan Malaka setiap hari jalan kaki empat jam dari Rawajati, Kalibata ke sini membaca buku yang kemudian menjadi Mandilog (1943, red.),” kata Bonnie.

Pada masa berikutnya, 1996, dimulai pembangunan gedung baru di samping Gedung A Museum Nasional. “Wardiman Djojonegoro (mantan menteri pendidikan dan kebudayaan 1993-1998, red.) berjasa menambah luas lantai pameran Museum Nasional,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid.

Memperingati 240 tahun Museum Nasional, kenangan masa lalunya ditampilkan lewat pameran foto di selasar Museum Nasional. Tak banyak yang berubah, terutama jika dilihat dari bagaimana koleksi arca-arca ditata. Melalui foto diketahui sejak 1896 arca-arca yang begitu banyak hanya berjajar tanpa penjelasan yang berarti. Melalui foto pula diketahui kalau sejak dibuka untuk umum, fungsi museum berubah dari sekadar tempat menyimpan koleksi.

“Museum bukan hanya tempat menyimpan barang, tapi pusat kebudayaan, tempat orang-orang belajar segala hal, main gamelan, menonton wayang, menari, dan lain-lain,” lanjut Hilmar. 

Begitu juga yang disaksikan Soedarmadji J.H. Damais ketika pada 1968 bersama saudaranya pergi ke Museum Nasional. Di museum itulah dia menyaksikan pertunjukkan wayang kulit bersama kawan-kawan kuliahnya, yaitu Ong Hok Ham, Ben Anderson, dan Soe Hok Gie. Ketika itu Museum Nasional masih merupakan pusat kesenian kecil dengan berbagai kegiatan.

“Waktu itu, setiap hari Minggu siang, aneka gamelan diperagakan dalam pekarangannya dan setiap bulan diadakan pergelaran wayang kulit dan wayang golek,” ujar mantan kepala Museum Sejarah Jakarta itu.

Soedarmadji menilai pada masa kini menjadi tantangan besar untuk membuat museum dekat dengan masyarakat. Agaknya penting untuk kembali dirumuskan soal apa arti museum, khususnya untuk hari ke depan. Penting pula bagi museum agar mengikuti perkembangan zaman.

“Saya rasa sekarang belum ada museum yang bisa menyesuaikan dengan keinginan masyarakat. Karena jarang juga yang belajar urusan museology. Ilmu ini cukup rumit, bagaimana penyajian koleksi, bagaimana sejarahnya, sampai keamanannya,” ucapnya.

Baca juga: 

Cerita dari Museum PETA
Harga Mahal di Balik Patung Gajah Museum Nasional
Museum Lima Malam untuk Mengenang Masa Kelam
10 Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Museum Multatuli

TAG

Museum Kebudayaan

ARTIKEL TERKAIT

Menyongsong Wajah Baru Museum Nasional Indonesia dan Pameran Repatriasi Menteri Nadiem: Masih Banyak Benda Bersejarah Indonesia yang Belum Dikembalikan Pedir Kaya Jual Merica Toeti Heraty dan Filsafat "Kepoin" Muspusal, Paham Sejarah Maritim dengan Teknologi Mutakhir Museum Gajah Bakal Merestorasi 817 Koleksi yang Rusak Insiden Kebakaran di Gedung A Museum Nasional Indonesia Riwayat Erasmus Huis: Titik Balik Diplomasi (1960-1971) Biola WR Supratman Punya Cerita Menyelundupkan Seniman Bali