Masuk Daftar
My Getplus

Arsip Terjaga Menjaga Indonesia

Arsip berguna bukan hanya untuk penelitian tetapi juga dapat menjaga kedaulatan.

Oleh: Fadrik Aziz Firdausi | 04 Sep 2016

SEBUAH film dokumenter tentang masa awal berdirinya Republik Indonesia memperlihatkan suasana Stasiun Manggarai Jakarta dan sebuah rangkaian kereta api berlokomotif seri C-28 buatan Jerman. Itulah situs dan benda bersejarah yang menjadi saksi bisu hijrahnya pemerintahan Indonesia ke Yogyakarta pada awal 1946.

“Kereta inilah yang dulu digunakan oleh rombongan Bung Karno dan Bung Hatta untuk hijrah ke Yogyakarta. Selain sumber arsip primer yang bisa bersaksi, ternyata benda ini pun juga penting,” ujar sejarawan Rusdhy Hoesein dalam diskusi “Dokumen Negara dan Ular Besi Penyelamat Republik” di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta Pusat, 3 September 2016.

Cerita soal kereta api bersejarah itu menjadi pemantik untuk menyoroti abainya pemerintah terhadap peninggalan sejarah di Indonesia. Rusdhy menunjukkan bahwa dulunya Stasiun Manggarai memiliki tiga peron yang konstruksinya berbahan kayu besi. Tetapi, kini hanya tersisa dua peron yang masih asli karena peron paling barat telah dibongkar dan diganti kostruksi besi.

Advertising
Advertising

“Kalau peron (yang tersisa) ini dibongkar juga, habislah kenangan kita tentang Manggarai,” keluhnya. “Lokomotif bersejarah yang digunakan hijrah pun kini tidak terlacak ada di mana. Tetapi dengar-dengar Manggarai mau dibangun lagi menjadi tiga lantai.”

Dari persoalan itu, Rusdhy beranjak pada tantangan kekinian dalam penulisan sejarah yang bias karena penggunaan sumber sejarah seperti arsip yang belum memadai. “Pada dasarnya peristiwa sejarah itu tetap. Tetapi berita kesejarahan disampaikan oleh orang per orang yang membawa subjektivitas tertentu,” terangnya. Oleh karena itu, dia menekankan kepada para penekun sejarah supaya berpegang kepada metodologi yang sahih dalam menulis dengan memanfaatkan sumber-sumber sejarah terutama arsip.

Sementara itu, Djoko Utomo, mantan kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), mengatakan bahwa asumsi dasar yang selama ini berkembang dalam masyarakat soal arsip bahwa banyak orang terbatas menganggap arsip sebagai sumber dan bukti sejarah. 

“Tetapi kalau hanya untuk sumber sejarah, lalu buat apa?” tanya kurator Museum Jenderal Soeharto itu. Sepanjang pengalamannya di ANRI, pengguna arsip memang didominasi oleh kalangan akademisi. Padahal arsip bisa lebih berguna dari itu. “Selain untuk penelitian, arsip harusnya bisa diakses oleh masyarakat luas dan berguna untuk kemaslahatan masyarakat,” terangnya.

Djoko mengemukakan banyak contoh kegunaan arsip. Salah satunya untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia. Sayangnya, hal itu pernah diabaikan oleh pemangku kebijakan. “Saat Belanda pergi dari Indonesia, banyak persoalan terkait perbatasan bekas negara kolonial yang tidak diperhatikan. Lihat lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke Malaysia,” ujar Djoko. 

Saat itu, dalam sidang Mahkamah Internasional, Malaysia memperkuat klaimnya atas kedua pulau di Selat Makassar itu berdasarkan dokumen-dokumen legal sejak masa Kesultanan Sulu, Inggris, dan Malaysia. Saat Inggris masih menguasai Malaysia, pemerintahan kolonialnya telah mengelola pulau itu sejak 1878. Sementara Indonesia, kata Djoko, lemah argumentasi hukumnya sehingga kedua pulau itu akhirnya masuk wilayah Malaysia.

Berkaca dari masalah-masalah itu, Djoko mengusulkan suatu terminologi khas guna mencegah masalah seperti itu terulang kembali di masa depan. “Saat penyusunan undang-undang kearsipan saya memasukkan apa yang disebut sebagai arsip terjaga,” jelasnya.

Menurut definisi dalam UU No. 43 tahun 2009 tentang Kearsipan, definisi arsip terjaga adalah arsip negara yang berkaitan dengan keberadaan dan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dokumen yang dapat dikategorikan sebagai arsip terjaga meliputi dokumen kependudukan, kewilayah, kepulauan, perbatasan, perjanjian internasional, kontrak karya, dan masalah pemerintahan strategis. 

Meskipun dalam soal kearsipan ini Indonesia telah memiliki landasan hukum yang jelas, namun realisasinya belum maksimal. “Sayang sekali tindak lanjutnya masih belum maksimal,” kata Djoko.

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian II – Habis) Azab Raja Cabul di Tanah Bugis Sentot Alibasah Prawirodirjo, Putera, Hansip Sebelum Telepon Jadi Pintar Empat Hal Tentang Sepakbola Andi Azis, Tambora, dan Hutan Nasib Pelukis Kesayangan Sukarno Setelah 1965 Meneer Belanda Pengawal Mistar Indonesia Riwayat Jackson Record Spion Wanita Nazi Dijatuhi Hukuman Mati