MENJELANG lanjutan kualifikasi Piala Dunia 2026 zona AFC, timnas Indonesia bakal diperkuat kiper naturalisasi anyar, Maarten Paes. Pengawal mistar keturunan Belanda yang bermain di klub FC Dallas itu resmi menyandang status sebagai warga negara Indonesia (WNI) sejak Selasa (30/4/2024).
Paes yang kelahiran Nijmegen, 14 Mei 1998 dan punya darah Indonesia dari garis neneknya, menjalani proses naturalisasinya bersama dua pemain lain, Thom Haye dan Ragnar Oratmangoen. Paes tercatat sempat membela timnas Belanda di beberapa kelompok umur: Belanda U-19 dan Belanda U-21.
“Semuanya sudah jelas untuk Juni nanti (Kualifikasi Piala Dunia 2026). Saya rasa bangsa ini layak untuk berada di Piala Dunia dan itu adalah target saya. Bermain sebanyak mungkin serta memberikan dampak di dalam dan di luar lapangan karena saya juga ingin menjadi contoh bagi generasi yang lebih muda,” kata Paes, dilansir laman resmi PSSI, Selasa (30/4/2024).
Saat Ini timnas senior Indonesia masih berjuang di fase kedua kualifikasi Grup F bersama Irak, Vietnam, dan Filipina. Kans untuk terus melaju ke fase ketiga masih terbuka lebar dengan menyisakan dua laga lagi kontra Irak di Jakarta (6 Juni 2024) dan lima hari berselang menghadapi Filipina.
Baca juga: Pionir Sarung Tangan Kiper
Kini skuad Garuda besutan Shin Tae-yong sudah lengkap dengan naturalisasinya dari lini depan sampai belakang. Sebelumnya, hanya posisi kiper yang belum dihiasi pemain naturalisasi.
Posisi kiper timnas bisa dibilang tak pernah “disentuh” naturalisasi. Toh dari masa ke masa Indonesia tak pernah kehabisan kiper jempolan. Mulai dari Maulwi Saelan, Ronny Pasla, Yudo Hadianto, Eddy Harto, Kurnia Sandi, Hendro Kartiko, hingga Markus Horison dan Kurnia Meiga.
Sejatinya, sebelum Paes sempat terdengar isu kiper berdarah Italia yang bermain untuk Juventus, Emilio Audero Mulyadi, yang direncanakan untuk dinaturalisasi. Namun hingga hadirnya Paes, pria kelahiran Mataram, Nusa Tenggara Barat pada 18 Januari 1997 itu tak kunjung dinaturalisasi hinggi kemungkinan Audero untuk memperkuat “Merah-Putih” makin suram.
Walaupun masih diiringi pro-kontra terkait naturalisasi yang membanjiri skuad timnas, kehadiran Paes di bawah mistar gawang Indonesia setidaknya menjadi catatan sejarah tersendiri sebagai kiper berdarah Belanda kedua. Pada era 1950-an, faktanya Indonesia pernah diperkuat kiper naturalisasi yang juga sama-sama asal Belanda, Arnold Wouter ‘Nol’ van der Vin.
Baca juga: Naturalisasi, Dulu dan Kini
Kiper Terbaik se-Asia Tenggara
Pada 1950, pasca-pengakuan kedaulatan oleh Belanda, banyak meneer yang hengkang dari Hindia Belanda ke tanah leluhur mereka, Belanda. Namun, beberapa pemain memilih dinaturalisasi. Antara lain Boelard van Tuyl, Pieterseen, Van der Berg, Pesch, dan Nol van der Vin. Nama terakhir lahir di Semarang pada 1924 dan sebelumnya membela klub lokal milik orang Belanda di Surabaya, Excelsior.
Namun situasi revolusi di Surabaya membuatnya mesti pindah ke Jakarta. Ia kemudian berkarier di UMS (Union Makes Strength) sepanjang 1946-1947 dan kemudian VIJ (Voetbalbond Indonesie Jacatra, kini Persija) pada 1948-1954 sembari menyambi bekerja menjadi agen sebuah perusahaan importir. Penampilannya yang cemerlang di Persija membuatnya dipanggil Tony Wen dan Choo Seng Que ke timnas Indonesia yang baru dibentuk pada 1952.
“Ia tampil (tur timnas) melawan tim-tim di Manila, Hong Kong, Bangkok, dan Singapura. Di Indonesia, ia juga yang jadi pengawal mistar di laga-laga (persahabatan) internasional melawan India, Hong Kong, GAK Graz dari Austria. Oleh karenanya Nol dikenal media massa negara-negara tetangga Asia Tenggara dianggap sebagai kiper terbaik,” tulis suratkabar De Volksrant, 12 Februari 1955.
Baca juga: Paman Choo, Pelatih Asing Pertama Timnas Indonesia
Namun sentimen anti-Belanda yang masih kental di masa itu membuatnya harus “cuti” dari persepakbolaan Indonesia setelah mengantarkan Persija menjuarai kompetisi Perserikatan 1953-1954. Ia hijrah ke Belanda dan direkrut sebuah klub di Geleen, Fortuna ’54. Selama di Belanda hingga 1955, ia menjalani latihan dan merasakan atmosfer sepakbola yang berbeda dari atmosfer di Indonesia.
“Secara umum, permainan di Belanda lebih keras ketimbang di Indonesia. Oleh karenanya para pemain harus siap secara mental dan fisik,” ujar Nol dikutip suratkabar De Preangerbode, 4 Agustus 1955.
Bagi Nol, sepakbola di Belanda lebih keras karena jika terjadi benturan, wasit tidak serta-merta akan langsung meniup peluit. Selain itu, menurutnya kualitas para pemain, utamanya di lini belakang dan tengah, tergolong medioker untuk standar Eropa. Baginya, para mantan rekannya di Indonesia seperti Him Tjiang, Liong Houw, dan Djamiat takkan kalah kualitas dari para pemain Belanda.
Pada Juli 1955, Nol balik ke Jakarta setelah beberapa bulan “magang” di Belanda. Ia tiba dengan pesawat di Bandara Kemayoran dan disambut meriah para tokoh sepakbola Jakarta.
“Nol kembali dari ibukota Belanda dengan disambut para anggota dewan dan para pemain UMS. Van der Vin menikmati ‘cuti’ beberapa bulan di Belanda dan bermain di beberapa pertandingan di kompetisi divisi pertama KNVB, termasuk saat menggantikan kiper Frans de Munck yang cedera di Fortuna ’54. Di Jakarta Van der Vin akan kembali mengawal mistar UMS,” ungkap suratkabar Indische Courant voor Nederland, 28 Juli 1955.
Nol sempat pindah ke Medan untuk memperkuat PSMS untuk musim 1955-1956. Ia kemudian gantung sarung tangan di klub negeri jiran Malaysia, Penang FA, kurun 1956-1961.
Baca juga: Lima Kiper dengan Rekor Gol Paling Subur