CHRISTIAN Gonzales, Raphael Maitimo, Sergio van Dijk, Tonnie Cussel, Stefano Lilipaly, Bio Paulin, Greg Nwokolo, Victor Igbonefo, Diego Michiels, Johnny van Beukering, Guy Junior, Kim Jeffrey Kurniawan, Ruben Wuarbanaran, dan Ezra Walian merupakan bintang sepakbola naturalisasi atau blasteran yang menyemarakkan persepakbolaan Indonesia sejak beberapa tahun terakhir.
Jelang Asiang Games 2018 di negeri sendiri, PSSI tak ingin kehilangan muka dalam cabang olahraga paling bergengsi itu dengan ambil langkah bypass: naturalisasi. Adalah Ilija Spasojeciv, pesepakbola Montenegro, yang Oktober 2017 sah menjadi warga negara Indonesia (WNI) dan menambah deretan nama pemain hasil naturalisasi. Dia sudah menjalani debutnya ketika timnas U-23 melakukan pertandingan persahabatan melawan timnas U-23 Suriah, November 2017.
Naturalisasi bukan barang baru dalam persepakbolaan tanah air. Ketika republik ini masih seumur jagung, ada beberapa pemain kulit putih yang dinaturalisasi. Mereka –kecuali kiper Tan Mo Heng dan beberapa pesepakbola berdarah Tionghoa lain tak perlu mendapatkan nasionalisasi lantaran merupakan peranakan yang memilih Indonesia sebagai tanah airnya setelah Hindia Belanda bubar– orang Belanda yang menggeluti sepakbola sejak masa Hindia Belanda.
Mereka antara lain, Boelard van Tuyl, Pieterseen, Van der Berg, Pesch, dan Arnold van der Vin. Nama terakhir menjadi pemain naturalisasi tersukses lantaran satu-satunya eks-orang Belanda yang mampu masuk timnas PSSI di era 1950-an. Van der Vin sebelumnya menjadi kiper andalan UMS (Union Makes Strength), VIJ (kini Persija Jakarta) dan melakoni debutnya di timnas Indonesia melawan tim asal Hong Kong, South China AA pada 27 Juli 1952.
Sayangnya, kiper yang akrab disapa ‘Nol’ itu mesti “terusir” dari Indonesia pada 1954 akibat kebijakan anti-Belanda. Di Belanda, Nol memilih membela klub Fortuna Sittard. Bisa jadi, fakta ini mencatatkannya sebagai pemain Indonesia pertama yang tampil di salah satu liga bergengsi Eropa.
Namun setahun kemudian, Nol kembali ke Indonesia untuk mengawal mistar PSMS Medan dan comeback ke timnas. Kendati kembali ke skuad Garuda, Nol justru kecewa dengan mundurnya kondisi persepakbolaan nasional. “Kondisi sepakbola Indonesia berada di level yang buruk. PSSI payah mendidik wasit dan perangkat pertandingan lainnya,” ujar Nol di suratkabar De Nieuwsgier, 6 Mei 1955.
Tapi apa mau dikata, dia sudah memilih kembali ke Indonesia dan terus menjadi pilihan pertama atau kedua di timnas. Nol kembali merantau pada 1956 sampai 1961 ke klub Malaysia Penang FA hingga pensiun. Sejak itu, persepakbolaan Indonesia nihil dari naturalisasi baik di kompetisi Perserikatan maupun Galatama.
“Dulu (di Galatama) malah enggak kenal sama sekali dengan yang namanya naturalisasi,” ungkap Bambang Nurdiansyah, penyerang timnas era 1980-an yang bermain di Arseto Solo, Tunas Inti, dan Pelita Jaya, kepada Historia via sambungan telepon beberapa waktu lalu.
Maka, ketika naturalisasi kembali muncul pada awal 2000-an, ia langsung menuai pro-kontra. Menurut Timo Scheunemann, mantan pelatih Liga Indonesia yang kini jadi pengamat, naturalisasi pertanda pembinaan sepakbola Indonesia telah gagal. “Ya memang pembinaan kita gagal. Naturalisasi masih menjadi solusi jangka pendek. Itu no problem sebenarnya karena banyak negara melakukannya. Tapi Indonesia kan negaranya besar sekali. Kita punya 200 juta pemain, kok. Kalau untuk jangka pendek, tidak masalah, asal jangan terus-terusan,” ujarnya kepada Historia.
Senada dengan Timo, Bambang juga posisi kontra terhadap naturalisasi. Pria yang juga pernah melatih klub-klub Liga Indonesia serta timnas itu menganggap naturalisasi merupakan buah dari kegagalan pembinaan dan juga kompetisi.
“Saya pikir enggak perlu sebenarnya naturalisasi. Karena itu artinya kita mengakui gagal dalam pembinaan. Kalau gitu caranya, stop saja pembinaan dan kompetisi. Lari saja ke Eropa, cari yang darah (keturunan) Indonesia, suruh jadi pemain nasional, umpamanya. Ya untuk sekarang, silakan lah (naturalisasi jelang Asian Games), tapi ke depannya jangan ada lagi, pembinaan saja yang benar. Kalau naturalisasi terus, buat apa ada pembinaan dan kompetisi,” tutupnya.