17 April 1855: Sentot Alibasah Prawirodirjo Meninggal Dunia
SENTOT Alibasah Abdulmustopo Prawirodirjo meninggal dunia di Bengkulu pada 17 April 1855. Dia adalah panglima perang pasukan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825–1830).
Sentot adalah putra dari Raden Ronggo Prawirodirjo III, bupati wedana (kepala bupati) yang berkedudukan di Maospati. Ayahnya mati dibunuh pemerintah kolonial Belanda karena dianggap pemberontak. Bisa jadi itulah salah satu alasan Sentot bergabung dengan Diponegoro.
Sentot, yang lahir pada 1808, bergabung dengan Diponegoro saat berusia 17 tahun pada 1825. Awalnya Diponegoro hendak mendidik Sentot menjadi santri agar menjadi ulama. Namun, Sentot tidak tertarik. Dia juga tidak bisa membaca dan menulis.
Pada 1828, Gusti Basah, salah satu panglima gugur dalam peperangan. Sebelum meninggal, dia meminta kepada Diponegoro agar menunjuk Sentot sebagai penggantinya. Diponegoro menyetujui permintaan Gusti Basah. Sentot pun menjadi panglima perang Diponegoro termuda pada usia 20 tahun.
Baca juga: Sentot Alibasah Prawirodirjo, Panglima Perang Termuda Pangeran Diponegoro
Sentot pantas menyandang panglima perang. Sebab, sebelumnya dia telah membuktikan kemampuannya memimpin pasukan dalam melawan pasukan Belanda.
Menurut sejarawan Peter Cerey, penulis biografi Pangeran Diponegoro, di bawah pimpinan Sentot, pasukan Diponegoro memenangi pertempuran pada akhir Juli sampai Agustus 1826. Sentot dan pasukannya berhasil menguasai Kasuran (28 Juli), Lengkong (30 Juli), Bantul (4 Agustus), Kejiwan (9 Agustus), dan Delanggu (28 Agustus), membuat sebagian besar daerah inti Jawa tengah-selatan jatuh ke bawah kekuasaan Diponegoro.
Namun, Sentot akhirnya menyerah kepada Belanda pada 17 Oktober 1829. Setelah Perang Jawa berakhir, dia diberangkatkan ke Sumatra Barat untuk menumpas perlawanan kaum Padri.
Alih-alih menumpas perlawanan, Sentot malah mendukung kaum Padri. Sentot ditarik kembali ke Jawa dan segera ditangkap. Dia diasingkan ke Cianjur lalu dipindahkan ke Bengkulu hingga mengembuskan napas terakhir.
Baca juga: Kisah Sentot Alibasah Prawirodirjo dalam Perang Padri
16 April 1943: Putera Didirikan Jepang
PUTERA atau Pusat Tenaga Rakyat (Jawaminshu soryoku kesshu undo) didirikan pemerintah pendudukan militer Jepang (Gunseikanbu) pada 16 April 1943 untuk membujuk kaum nasionalis dan intelektual Indonesia agar mendukung Jepang.
Untuk mewujudkan itu, diangkatlah Sukarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan KH Mas Mansur yang kemudian dikenal sebagai Empat Serangkai untuk memimpin Putera.
Baca juga: KH Mas Mansur Pelihara Anjing
Darul Aqhsa dalam biografi Kiai Haji Mas Mansur, 1896–1946: Perjuangan dan Pemikiran menyebut Putera diresmikan Gunseikan di Lapangan Ikada (kini, kawasan Monas), Jakarta. Dalam rapat itu, KH Mas Mansur turut memberikan pidato sambutan, antara lain mengatakan bahwa Indonesia dapat lepas dari cengkeraman Belanda berkat Dai Nippon.
Putera yang bermarkas besar di Jalan Sunda 18 (kini Jalan Gereja Theresia), Jakarta, memiliki empat departemen dengan 12 seksi. Keempat departemen tersebut adalah Departemen Perencanaan dan Pembangunan di bawah Mohammad Hatta, Departemen Kebudayaan di bawah Ki Hajar Dewantara, Departemen Propaganda di bawah Sukarno, dan Departemen Kesejahteraan Masyarakat di bawah KH Mas Mansur.
Karena dianggap tak efektif, tak genap setahun Putera dibubarkan dan diganti dengan badan baru bernama Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa (Jawa Hokokai).
Baca juga: Kisah D.N. Aidit dan Mohammad Hatta di Putera
Keberadaan Putera menegaskan pilihan taktik dalam menghadapi Jepang. Sukarno, Hatta, dan tokoh-tokoh tua memilih bekerja sama dengan Jepang. Sementara tokoh-tokoh pemuda melawan Jepang dengan bergerak di bawah tanah.
“Telah disepakati, kami akan bekerja dengan dua cara. Di permukaan secara terang-terangan (bekerja sama) dan di bawah tanah secara rahasia (melawan),” kata Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat yang ditulis Cindy Adams.
Namun, dari semua tokoh yang bekerja sama dengan Jepang, Sukarno yang paling menonjol. Misalnya, karena kemampuannya menggerakkan massa, Sukarno terlibat dalam pengerahan romusha –sehingga dengan enteng dicap mandor romusha. Dia juga dicap kolaborator Jepang sehingga diburu Sekutu.
Baca juga: Dianggap Kolaborator Jepang, Sukarno Diburu Sekutu
19 April 1962: Hansip Lahir
HANSIP lahir berdasarkan SK No. MI/A/72/1962 tentang Peraturan Pertahanan Sipil yang dikeluarkan Wakil Menteri Pertama urusan Pertahananan Keamanan (Wampa Hankam) tanggal 19 April 1962.
Pembentukan Hansip tak bisa dilepaskan dari upaya merebut Irian Barat. Pada 19 Desember 1961, Presiden Sukarno mengumumkan Tri Komando Rakyat yang mencakup mobilisasi umum.
Untuk itu, Menteri Keamanan Nasional/Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI A.H. Nasution membentuk organisasi pertahanan sipil (Hansip). Pelaksanaan mobilisasi umum ditetapkan melalui Perppu No. 1/1962, yang kemudian jadi UU No. 14/1962.
Baca juga: Hansip Bubar Barisan
Perppu mengatur pengerahan warga negara berumur 18–50 tahun untuk kepentingan keamanan dan pertahanan negara. Tugasnya dibagi dua: perlawanan rakyat (Wanra) yang membantu kesatuan angkatan bersenjata dan perlindungan masyarakat (Hansip).
Berbeda dari Wanra, Hansip ditempatkan di bawah Wampa Hankam. Wampa Hankam selanjutnya mengeluarkan SK No. MI/A/72/1962 yang menegaskan hakikat hansip adalah nonmiliter.
Pemerintah Orde Baru melalui Keppres No. 55/1972 mengalihkan kedudukan Hansip dari Kementerian Pertahanan dan Keamanan ke Kementerian Dalam Negeri. Hansip ditiadakan setelah keluar Peraturan Presiden No. 88/2014 yang mencabut Keppres No. 55/1972. Hansip beralih rupa jadi satuan perlindungan masyarakat (linmas).*
Baca juga: Silakan, Ini Sejarah Satpam