Sepakterjang Sukarno di era pemerintah militer Jepang di Indonesia (1942-1945) ternyata sempat direkam oleh pihak Sekutu. Sejarah mencatat, bersama Mohammad Hatta dan sejumlah tokoh nasional lainnya, Sukarno pernah memilih jalur kooperatif kala bala tentara Dai Nippon menguasai Indonesia.
“Pada waktu itu tidak ada yang mengetahui, apakah pengadilan penjahat perang mungkin melibatkan pemimpin utama Indonesia. Dalam hal ini, Sukarno dan Hatta jelas dalam bahaya…” ungkap sejarawan Rudolf Mrazek dalam Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia.
Situasi tersebut sempat membuat Sukarno cemas. Dalam otobiografinya yang disusun oleh Cindy Adams, Bung Karno Pejambung Lidah Rakjat Indonesia, Sukarno menyebut suasana Jakarta kala itu penuh dengan bahaya untuk dirinya. Kawan-kawan Sukarno bahkan berpikir ada kemungkinan sang presiden akan meringkuk lagi di penjara, minimal selama belasan tahun.
“Orang-orang Inggris berusaha berkali-kali menangkapku, dengan demikian mereka bisa memaksaku untuk diadili sebagai penjahat perang. Dan (orang-orang) Belanda berusaha berkali-kali langsung membunuhku,” ungkap Sukarno.
Baca juga: Tujuh Upaya Membunuh Presiden Sukarno
Sukarno memang pernah beberapa kali akan dihabisi oleh pasukan KNIL. Terakhir mobil yang biasa ditumpanginya secara tiba-tiba ditabrak oleh sebuah truk militer sehingga menyebabkan sopir pribadinya terluka parah.
“…Mereka mengira aku berada di dalam mobil…” ujar Sukarno.
Tidak kuat dengan teror yang terus mendera dirinya dan keluarga kecilnya, Sukarno memutuskan untuk mengungsi ke suatu tempat di luar kota yang jaraknya dari Jakarta memakan waktu berjam-jam. Mereka menghindar ke rumah seorang ahli kebatinan yang dikenal baik dan dipercaya oleh Sukarno. Di manakah itu? Dalam otobiografinya, Sukarno tak menyebut secara jelas nama tempat tersebut.
Namun kisah pengungsian Sukarno dan keluarganya itu sempat diulas secara detail dalam buku otobiografi Hasjim Ning yang disusun oleh A.A. Navis, Pasang Surut Pengusaha Pejuang. Menurut salah satu tokoh pemuda dan pengusaha Cianjur itu, tempat yang dimaksud tak lain adalah Sukanagara (sekarang Kecamatan Sukanagara), suatu desa berhawa sejuk yang terletak di selatan Cianjur.
Baca juga: Hasjim "Keki" Gara-gara Bung Karno Ngungsi Tak Bawa Koki
Dikisahkan oleh Hasjim, pada suatu hari di awal Oktober 1945, dirinya mendapat telepon dari Bupati Cianjur Mohammad Jasin. Dia diminta untuk secepatnya datang seorang diri ke pendopo kabupaten untuk ikut menemui Menteri Dalam Negeri R.A.A. Wiranatakusumah.
Dalam pertemuan itu Menteri Wiranatakusumah menyampaikan situasi Jakarta yang tidak menentu. Banyak desas-desus yang sulit dilacak kebenarannya, termasuk rumor yang mengatakan bahwa pihak Sekutu akan menangkap Presiden Sukarno sebagai penjahat perang.
Berdasarkan situasi itu, maka rapat kabinet memutuskan agar Bung Karno diungsingkan untuk sementara waktu hingga Kabinet mendapat kepastian soal status sebenarnya Sukarno dari pihak Sekutu secara langsung. Maka dipilihlah Cianjur sebagai tempat pengungsian itu.
“Menteri ingin kepastian, apakah kami dapat menjamin keamanan Bung Karno?” kenang Hasjim Ning.
Setelah mendapat jawaban positif dari Hasjim Ning, maka disepakati Bung Karno dan keluarganya akan dititipkan di Pesantren Al Basyariah di Kampung Cikiruh, Sukanagara yang berjarak 46 km dari Cianjur. Sejatinya, pilihan tempat itu datang dari Sukarno sendiri karena secara pribadi sang presiden sudah lama mengenal baik Ajeungan Achmad Basyari, pimpinan pesantren tersebut.
Baca juga: Sukarno Cemas Bu Fat Hilang di Cipanas
Singkat cerita, dengan diantar oleh Hasjim sendiri, pada suatu malam sesudah magrib, sampailah Bung Karno, Fatmawati dan Guntur di Pesantren Al Basyariah. Mereka ditempatkan di suatu rumah tersendiri dengan dijaga oleh Muntoyo, sopir sekaligus anggota Polisi Istimewa yang menjadi pengawal Bung Karno.
“Sebelum saya kembali ke Cianjur, saya serahkan sepucuk senapan mesin ringan kepada Muntoyo sekaligus secara kilat mengajarkan penggunaannya,” ujar Hasjim.
Kepada Ajengan Achmad, tak lupa Hasjim juga memberikan sejumlah uang untuk bekal hidup Bung Karno sekeluarga selama di Sukanagara. Kendati awalnya ditolak, namun Hasjim tak urung bisa menyampaikan uang itu lewat istri sang kiyai.
“Uang ini untuk persiapan saja. Siapa tahu Bung Karno akan lama di sini dan akan banyak tamu yang datang,” kata Hasjim.
“Baiklah, Nak. Terimakasih,” jawab istri ajengan itu.
Setelah beberapa hari Bung Karno sekeluarga tinggal di Sukanagara, Hasjim Ning ditelepon oleh pamannya, Wakil Presiden Mohammad Hatta. Kepadanya, Hatta berpesan agar segera membawa Sukarno sekeluarga ke Istana Bogor.
Maka diboyonglah Sukarno sekeluarga ke Istana Bogor. Di sana Presiden Sukarno lantas melakukan diskusi dengan Hatta dan dua utusan Sutan Sjahrir yakni Soedjatmoko dan Soedarpo Sastrosatomo. Rupanya dari Sjahrir yang “dekat” dengan pihak Sekutu didapatkan kepastian bahwa Sekutu tak bermaksud menangkap Bung Karno. Maka diputuskanlah agar Sukarno kembali lagi ke Jakarta pada keesokan harinya.