31 Januari 1948: Hari Jadi Brigade V
Berdiri dengan egrang (alat permainan tradisional terbuat dari dua batang bambu), dua anak bumiputra berusaha mengambil uang koin yang tertancap pada buah jeruk berbalur pelumas dengan mulut mereka. Permainan ini digelar di alun-alun Banyumas, Jawa Tengah oleh tentara Belanda dari Brigade V yang merayakan hari jadi ke-2.
Brigade V, populer dengan nama panggilan Victory, didirikan di Malaka pada 27 Januari 1946. Sekira tiga bulan kemudian, dipimpin Kolonel J.K. Meyer, mereka mendarat di Batavia lalu menuju Bandung. Selama agresi militer Belanda I, mereka bergerak ke Sumedang, Cirebon, Brebes, Purwokerto, Gombong, dan Cilacap.
Sesaat sebelum agresi militer Belanda II, mereka terkonsentrasi di Semarang. Ketika agresi dimulai mereka ditempatkan di Solo lalu secara bertahap ditarik kembali ke Semarang setelah kesepakatan gencatan senjata. Pada 23 Desember 1949, hampir empat tahun setelah terbentuk, Brigade V kembali ke Belanda.
Baca juga: Kisah Batalyon Sepatoe Roesak
11 Juni 1948: Sukarno Meninjau Sumatra
Presiden Sukarno dan rombongan tiba di perbatasan Sumatra Barat-Tapanuli. Pagi 12 Juni, Sukarno berpidato dalam rapat raksasa di Padang Sidempuan yang dibanjiri rakyat. Bahkan, ada yang datang dari Labuhan Batu (Sumatra Timur-Selatan) dan Pasir Pengarayan (Riau Utara) dengan berjalan kaki menempuh jarak ratusan kilometer.
Sorenya, Sukarno memberikan kursus politik. Di kota ini, rakyat mempersembahkan ulos, kain khas Batak, berikut seekor kerbau sebagai penghormatan. Setelah rampung, Sukarno menuju Sibolga.
Malamnya, Sukarno menghadiri upacara persembahan ulos, diiringi gendang Batak dan tari tor-tor. Residen Tapanuli berpidato, wakil executief Tapanuli menyelimutkan ulos ke bahu presiden. Setelah itu, Sukarno menerima persembahan hasil bumi Tapanuli dan pakaian perang dari rakyat Pulau Nias.
Baca juga: Sukarno, Gondang, dan Tor-tor
9–12 September 1948: PON I di Solo
Pekan Olahraga Nasional (PON) I diselenggarakan di Solo sesuai keputusan Konferensi Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) yang disetujui Menteri Pembangunan dan Urusan Pemuda Soepeno. Presiden Sukarno menyerahkan bendera putih berlogo lima ring Olimpiade dengan obor di tengahnya kepada regu pembawa obor sebagai prosesi pembukaan.
Peserta PON I adalah kontingen dari Karesidenan Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang, Kediri, Madiun, Semarang, Pati, Kedu, Magelang, Banyumas, Bandung, dan Jakarta. Kontingen tersebut memperebutkan medali dari cabang olahraga atletik, bola keranjang (korfbal), bulutangkis, tenis, renang, panahan, sepakbola, basket, dan pencak silat.
Solo menjadi juara umum dengan memperoleh 16 medali emas, 10 perak, dan 10 perunggu. Pasca-PON I, kegiatan olahraga nasional mandek lantaran terjadi peristiwa Madiun dan agresi militer Belanda II.
Baca juga: PON I Sebagai Simbol Kedaulatan
12 November 1949: Patroli TNI
Pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) melakukan patroli di Pasar Besar, Solo. Tanggung jawab keamanan kota Solo dan Surakarta resmi dialihkan ke TNI dalam sebuah upacara di Stadion Sriwedari dengan Letkol Slamet Rijadi mewakili TNI dan Kolonel van Ohl mewakili Tentara Kerajaan Belanda. Hal ini dilakukan menyusul ditandatanganinya Konferensi Meja Bundar, yang antara lain berisi keputusan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.
Baca juga: Jalan Terjal Negara Federal
25 Desember 1949: Kunjungan Menteri Pertahanan RIS
Sri Sultan Hamengkubuwono IX selaku menteri pertahanan Republik Indonesia Serikat (RIS), mengunjungi Denpasar, Bali, yang merupakan bagian dari Negara Indonesia Timur.
Sultan mengunjungi semua negara bagian untuk mengkonsolidasi semua kekuatan pro-Republik. Dia juga bermaksud mengangkat penanggung jawab keamanan dari TNI, karena keamanan negara-negara bagian dalam RIS dikoordinasikan oleh Angkatan Perang RIS dengan TNI sebagai unsur utamanya.
Kedatangan sultan mendapat sambutan meriah kaum Republiken, yang kemudian memanggul dan mengaraknya. “Kedatangan rombongan Sri Sultan merupakan kesempatan bagi rakyat untuk menunjukkan sikap mereka yang pro-Republik,” tulis Mohamad Roem, dkk., dalam Takhta untuk Rakyat. Dari Bali, Sultan mengunjungi Madura dan mendapat sambutan yang sama.*