top of page

Sejarah Indonesia

Sukarno Gondang Dan Tor Tor

Sukarno, Gondang, dan Tor-tor

Ketika mengunjungi Tapanuli, Sukarno disambut dengan gondang dan tor-tor.

17 Juni 2012

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Ilustrasi: Micha Rainer Pali


PADA Juni 1948, untuk kali pertama sejak Indonesia merdeka, Presiden Sukarno berkunjung ke Sumatra. Pagi 12 Juni, Sukarno berpidato dalam rapat raksasa di Padang Sidempuan yang dibanjiri rakyat. Hujan tak menghalangi mereka untuk mendengarkan pidato Sukarno. Bahkan ada yang datang dari Labuhan Batu (Sumatra Timur-Selatan) dan Pasir Pengarayan (Riau Utara) dengan berjalan kaki menempuh jarak ratusan kilometer. Sorenya, Sukarno memberikan kursus politik.


Di kota ini, rakyat mempersembahkan kain Batak (ulos) kepada Sukarno, berikut seekor kerbau sebagai bentuk penghormatan terhadap pahlawan. Setelah rampung, Sukarno menuju Sibolga. “Presiden Sukarno tiba di Tapanuli untuk menggembleng dan mengobarkan semangat persatupaduan rakyat di Kota Nopan, Padang Sidempuan, Sibolga, Tarutung, Balige dalam perjalanannya ke Kutaraja. Semua persatuan menjadi bertambah kuat,” tulis Abdul Haris Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Periode Renville.


Malamnya, Sukarno menghadiri upacara persembahan ulos, sekali lagi sebagai penghormatan kepada pahlawan tanah air yang berjasa. “Upacara diiringi dengan gendang Batak. Residen Tapanuli mengucapkan pidato, wakil executief Tapanuli mempersembahkan kulos tersebut dengan tor-tor (tari) dan menyelimutkannya ke bahu presiden,” tulis Pramoedya Ananta Toer dkk dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid IV.


Setelah itu, atas nama rakyat, Sukarno menerima persembahan hasil bumi Tapanuli seperti kopi dan kemenyan serta pakaian perang dari rakyat Pulau Nias.


Itulah sepenggal sejarah ketika gendang (gondang) Batak dan tor-tor dimainkan untuk menyambut Presiden Sukarno.


Baru-baru ini, kantor berita Bernama di Malaysia melansir berita bahwa tor-tor dan alat musik gondang sambilan (sembilan gendang), yang selama ini dimiliki masyarakat Mandailing, Sumatra Utara, akan diklaim Malaysia. Kantor berita itu mengutip pernyataan Menteri Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia Datuk Seri Dr Rais Yatim. Tarian tor-tor akan diresmikan sebagai salah satu cabang warisan negara dan didaftarkan dalam Seksyen 67 sebagai Akta Warisan Kebangsaan 2005.


Dalam “Tor-Tor sebagai Properti dan Perwujudan Adat,” dimuat jurnal Etnomusikologi, Vol. 1 No. 2, September 2005, Frida Deliana Harahap mencatat, tor-tor berbeda dari tari-tari lainnya. Ada landasan falsafah adatnya. Sekalipun indah, enak dipandang mata, dan menyenangkan hati, tarian adat ini harus ditampilkan dalam upacara adat. Penampilan tor-tor tak dapat berjalan tanpa iringan ensambel gondang –yang juga hanya dimainkan dalam upacara adat.


Karena tarian adat, gerakan tor-tor mengandung makna. Misalnya, gerak tangan yang mempunyai tiga bentuk: sombah, tolak bala, dan meminta doa. Sombah artinya menyembah atau menghormati orang yang lebih tinggi kedudukannya dalam adat. Tolak bala merupakan simbol untuk menolak bala yang datang dari luar dan simbol untuk memberikan berkat. Meminta doa dalam bahasa Angkola (Mandailing) disebut mangido tua sahala, artinya memohon perlindungan kepada Tuhan dan meminta restu kepada mora (keluarga pihak istri), harajaon (kerajaan), hatobangon (tetua adat), dan raja panusuan bulung (seorang yang diangkat sebagai pemimpin adat di lingkungan yang sedang mengadakan pernikahan).


Diyakini, gondang sembilan dan tor-tor sudah ada sejak lima abad lalu. Alat musik gondang sembilan dan tor-tor digelar bersamaan untuk perayaan, hajatan, dan penyambutan tamu yang dihormati. Pada masa kolonial, kesenian ini menjadi hiburan para raja. Selain itu, seperti di wilayah Angkola, Sidempuan, Tapanuli Selatan, gondang juga ditabuh untuk memberi tahu penduduk ketika serdadu Belanda datang; masyarakat diminta mengungsi. Bunyi gondang pula yang meminta masyarakat kembali ke kampung ketika serdadu Belanda sudah pergi. Suku Mandailing yang bermukim di wilayah Angkola, Padang Sidempuan, dan Tapanuli Selatan menyebut alat ini gondang dua –sebelumnya gondang tujuh. Perubahan itu karena sempat dilarang pada masa penjajahan. Hanya di Mandailing Natal yang sebutannya tetap sampai sekarang: gondang sembilan.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Sukses sebagai penyanyi di Belanda, Anneke Gronloh tak melupakan Indonesia sebagai tempatnya dilahirkan.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
bottom of page