Masuk Daftar
My Getplus

Kisah Panglima Pasukan Diponegoro dalam Perang Padri

Awalnya berlaku sebagai bagian dari kekuatan kolonial, Sentot Alibasah pada akhirnya berkoalisi dengan rakyat Sumatra Barat untuk mengusir Belanda.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 05 Mei 2020
Letnan Kolonel Raaf dan pasukannya dalam Perang Paderi, dilukiskan Justus Pieter de Veer (Wikimedia Commons)

TAHUN 1830-an, suasana persatuan di kalangan kaum Padri dan kaum adat mulai terasa. Antara kaum ulama dengan kaum adat mulai saling berkompromi. Kedua kubu sebelumnya terlibat perang saudara akibat perbedaan pendapat dalam proses penerimaan Islam. Kaum ulama (kaum Padri) menginginkan penerapan ajaran Islam yang sesuai Al-Qur’an dan Hadits, sementara kaum adat merasa perlu menjaga tradisi leluhur tetap hidup.

Di tengah perpecahan itu Belanda ikut campur dan membuat keadaan semakin rumit. Perlahan masyarakat sadar bahwa Belanda hanya memanfaatkan mereka untuk kepentingan kolonialisasi di Sumatera. Peperangan pun akhirnya berubah menjadi upaya mengusir pemerintah Belanda dari Tanah Minang. Kedua kelompok sepakat menghentikan perang dan bersatu menghilangkan kolonialisme dari wilayahnya.

Di lain pihak, kekhawatiran mulai menyelimuti pihak Belanda. Bersatunya dua kekuatan itu memunculkan trauma jika kerugian yang mereka alami dalam Perang Jawa akan terulang di Sumatera. Maka satu-satunya jalan agar kerugian itu tidak terjadi, pihak Belanda  harus mendatangkan bala bantuan dari Batavia.

Advertising
Advertising

Baca juga: Sentot Alibasah, Panglima Perang Termuda Pangeran Diponegoro

Di antara mereka yang dikirim ke Minangkabau terdapat satu pasukan berisi orang-orang bumiputra. Adalah Sentot Alibasah Abdulmustopo Prawirodirdjo, pimpinan pasukan tersebut. Nama Sentot Alibasah sudah tidak asing di telinga pasukan Belanda. Dia merupakan salah satu panglima Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa. Kepiawaiannya mengorganisasi pasukan tempur begitu terkenal.

“Oleh karena ia sangat pandai dalam peperangan guerilla, berani, dan gilang-gemilang dalam peperangan ia mendapat nama yang harum dan dihormati oleh kawan dan lawan,” tulis H.P. Aukus dalam Het legioen van Mangkoe Nagoro.

Di akhir Perang Jawa, kegagalan demi kegagalan dialami Sentot. Dia akhirnya menyerah kepada Belanda pada 16 Oktober 1829. Sentot disebut mengambil keuntungan pribadi dalam penyerahan tersebut. Meski ada juga yang menyebut kondisi perekonomian rakyat yang terpuruk memaksa dirinya menyerah. Dia kemudian dibawa ke Batavia dan dipekerjakan dalam pasukan Belanda. Itulah sebabnya Sentot bisa berada di kubu para kolonial.

Baca juga: 

Islamisasi Minangkabau: Kaum Padri vs Kaum Adat Berujung Perang Saudara

 

Tiba di Minangkabau

Sentot dan bala pasukannya tiba di Padang, Sumatera Barat pada Juni 1832. Menurut Mhd. Nur, dkk dalam Perjuangan Sultan Alam Bagagar Syah dalam Melawan Penjajah Belanda di Minangkabau Abad ke-19, Sentot diterima Residen Sumbar Letnan Kolonel Elout dan diperkenalkan kepada rakyat Minangkabau sebagai bagian dari mereka. Bagi pemerintah Belanda, pengenalan Sentot itu penting untuk memberitahukan rakyat bahwa di kubu Belanda juga ada orang-orang bumiputra.

“Pendekatan tentara Belanda itu berarti bahwa banyak tentara Belanda yang beragama Islam, bahkan ibadahnya lebih taat lagi, kondisi yang sama dengan orang Minangkabau,” tulis Mhd. Nur, dkk.

Baca juga: 

Penyelundup Kaum Paderi

Beberapa waktu tinggal, Sentot semakin dekat dengan kehidupan rakyat Minangkabau. Dia sadar bahwa rakyat di sini bukanlah musuh yang harus diperangi, tetapi saudara senasib yang sedang berjuang menghilangkan kolonialsime Belanda. Teringat perjuangannya di Jawa, Sentot mulai merubah sikapnya. Dia secara diam-diam berbalik melakukan perlawanan dan membantu rakyat membangun kekuatan untuk mengusir Belanda.

Sentot lalu menjalin pendekatan dengan kaum Padri dan kaum alam. Dia seringkali melakukan pertemuan rahasia bersama Tuanku Imam Bonjol (pemimpin kaum Padri) dan Sultan Alam Bagagar Syah (pimpinan kaum alam). Ketiganya sepakat untuk menggabungkan kekuatan dalam upaya perlawanan di dalam Perang Padri. Sentot dan mantan pasukan Diponegoro lainnya juga telah siap melaksanakan serangan besar-besaran.

Baca juga: 

Malam Jahanam di Benteng Bonjol

 

Kembali Diasingkan

Gerak-gerik mencurigakan dari Sentot dan Sultan Bagagar Syah mulai tercium pemerintah Belanda. Keduanya mulai tidak menjalankan tugas-tugas yang diperintahkan. Seperti ketika pemerintah Belanda menyuruh Sentot dan Bagagar Syah untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri di Balai Tengah Lintau, mereka malah mengadakan perayaan di Istana Pagaruyung bersama penghulu adat dan masyarakat.

Tindakan itu membuat murka Residen Elout. Dia kemudian menulis surat  ke Batavia. Isinya laporan tentang Sentot yang dicurigai akan berkhianat kepada pemerintah Belanda. Dikutip Soekanto dalam Sentot alias Alibasah Abdulmustopo Prawirodirjo, Elout tidak senang dengan pengkhianatan Sentot dan pasukannya.

“Alibasah telah membuat perjanjian yang tidak saya ketahui dengan mereka, terjadinya ini sudah lama dan ia akan mengatur supaya ia dan barisannya dapat tinggal di Minangkabau. Ia telah janji kepada orang-orang ia akan tolong mereka untuk mengusir kita (orang Belanda). Yang Dipertuan dari Pagaruyung mula-mulanya tidak setuju. Dan orang-orang pada umumnya juga tidak percaya kepada Sentot dan barisannya. Akan tetapi Sentot dapat membawa hati mereka supaya mengambil pihaknya jadi tak memihak kita (Belanda),” tulis Elout seperti dikutip Soekanto.

Baca juga: 

Ke Mana Perginya Barisan Sentot Pengikut Diponegoro?

Setelah menerima surat itu, pemerintah pusat akhirnya mengeluarkan surat pemindahan Sentot dari Minangkabau. Pada 2 Maret 1833, Sentot diminta kembali ke Jawa dengan dalih membantu memulihkan keadaan di sana. Setelah sampai di Batavia, kata Mhd. Nur, Sentot ditahan dan dicap sebagai pengkhianat. Dia lalu dipindahkan ke Bengkulu pada Agustus 1833 untuk menjalani masa pembuangan dan dipisahkan dari bala pasukannya. .

Kepergian Sentot menjadi pukulan bagi rakyat Minangkabau. Berkurangnya kekuatan tempur dikhawatirkan akan mempengaruhi jalannya perlawanan. Tetapi rupanya semangat rakyat Minang untuk melawan tidak berkurang sedikitpun. Di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol dan Sultan Alam Bagagar Syah perjuangan terus berlangsung hingga berakhirnya perang pada 1838.

“Pengalamannya bersama Sentot Ali Basya Prawirodirjo semakin meyakinkan dirinya untuk mengusir Belanda. Tiga kekuatan yang telah dibentuk di Minangkabau untuk menentang penjajah Belanda telah terorganisir dengan baik, walaupun Sentot telah diasingkan,” tulis Mhd. Nur, dkk.

Sentot sendiri tak pernah bisa lepas dari kungkungan Belanda. Pada 17 April 1855, dia meninggal sebagai orang buangan di Bengkulu.*

TAG

sentot alibasah diponegoro perang padri

ARTIKEL TERKAIT

Musuh Napoleon di Waterloo Hina Diponegoro Hilangnya Pusaka Sang Pangeran Menyibak Warisan Pangeran Diponegoro di Pameran Repatriasi Dedikasi Peter Carey Meneliti Pangeran Diponegoro Ke Mana Perginya Barisan Sentot Pengikut Diponegoro? Jenderal "Jago Perang" Belanda Meregang Nyawa di Pulau Dewata Tongkat Kiai Cokro Diponegoro Revolusi Sosial, Artikel Sneevliet, dan Surat Pangeran Hendrik Detik-detik Menegangkan Saat Belanda Menjebak Diponegoro Sang Penangkap Diponegoro