Ke Mana Perginya Barisan Sentot Pengikut Diponegoro?
Kendati menjadi andalan pasukan Diponegoro, para pengikut Sentot Alibasah tak sampai selesai mengikuti Perang Jawa. Mereka kemudian berkarier di tempat lain.
SENTOT Alibasah Prawirodirdjo (1808-1855) merupakan salah satu komandan andalan Pangeran Diponegoro. Dengan pasukannya yang –oleh Belanda disebut Barisan Alie Bassa Prawiro Derdjo– tangguh, Sentot menopang pasukan Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830).
Namun, Sentot tidak berperang sampai habis. Pada 1829, Sentot sudah berhenti melawan tentara Belanda. Sentot bersama pengikutnya lalu pergi ke kulon. De Javasche Courant tanggal 23 Agustus 1831 menyebut Barisan Alie Bassa, yang terdiri dari 450 orang, naik kapal uap Van Der Capellen ke Batavia (kini Jakarta) dari Semarang pada 15 Agustus 1831.
Sentot punya setidaknya satu batalyon tentara. Oleh karenanya, Barisan Alie Bassa digunakan tentara kolonial. Sentot diberi pangkat letnan kolonel dalam kemiliteran Belanda.
Di dalam barisan tersebut terdapat beberapa bangsawan, sesuai daftar perwira dalam Stamboeken Officieren KNIL 1815-1940. Para bangsawan itu yakni: Mayor Soerio Bronto, Kapten Prawiro di Poero, Kapten Notto Prawiro, Letnan Satu Prawirosoediro, Letnan Satu Sosroatmodjo, Letnan Dua Djoijoprawiro, dan Letnan Dua Kerto Redjo.
Di Batavia, mereka dipekerjakan sebagai pasukan pendukung tentara kolonial –di. Itu terlihat saat terjadi pemberontakan petani Tionghoa di Karawang, Jawa Barat pada pertengahan 1832. Untuk memadamkan pemberontakan itu, sebut De Javasvhe Courant edisi 23 Agustus 1831, pada Mei 1832 pemerintah kolonial mengirim pasukan di bawah Mayor AV Michel. Di bawah komadonya terdapat 30 prajurit infanteri Eropa, 50 prajurit kavaleri berkuda, dan 300 orang dari Barisan Alie Bassa yang dulu dipimpin Sentot.
Ketangguhan Barisan Alie Bassa membuatnya terus dipergunakan pemerintah kolonial. Kiprah pentingnya yang paling terkenal adalah saat dilibatkan pemerintah kolonial dalam ekspedisi militer ke Sumatra Barat. Di sana, Barisan Alie Bassa berperang melawan kaum Padri.
“Akan tetapi, anak muda pemberani seperti Sentot dituduh yang bukan-bukan, dapat menggawatkan keadaan kalau tetap berada di Sumatra Barat,” catat Rusli Amran dalam Cerita-cerita Lama dalam Lembaran sejarah.
Pasukan Sentot lalu dipindah dari Sumatra Barat ke Bengkulu. Tidak ditemukan catatan pertempuran yang mereka lakukan selama di Bengkulu.
Barisan Alie Bassa dinyatakan bubar pada awal 1834. Para anggotanya, termasuk para perwira Jawa, kemudian dimasukkan ke dalam militer Belanda Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) dengan pangkat dan sistem Belanda. Javaasche Courant tanggal 15 November 1834 menyebut Raden Tumenggung Prawiero Koesoemo sebagai kapten. Sementara Kerto Wongso, Prawiro Ronno, Merto Poero, Prawiro Redjo, Sentiko, Kerto di Redjo, Tumenggung Prawiro Sentiko, Mongon Negoro, Soeto Sentonno, Prawiro Brotto, Djajeng Kersna, Djoijo Projedno, Wongso Dipoei Djoijo Sentiko, dan Notto di Poero dijadikan letnan.
Baca juga:
Para pengikut Sentot itu kemudian tersebar. Mayor Pangeran Soerio Bronto ditempatkan di depot infanteri. Pangeran Soerio Bronto, sebut Rusli Amran, masih terhitung cucu dari Sultan Hamengkubuwono. Dari 1833 hingga 1837, ia ditempatkan di batalyon garnisun pantai barat Sumatra. Selama di bawah komando Jenderal Mayor Cleerens (3 Mei 1836-6 Agustus 1837), Mayor Soerio dianggap menonjol dalam pertempuran hingga dianugrahi bintang Ridder Militaire Willemsorde kelas empat oleh Kerajaan Belanda. Mayor Soerio tutup usia pada 15 Januari 1854.
Ada pula eks pengikut Sentot yang tinggal di Minangkabau, seperti Mangoendipoero, Poerwonegoro, dan Haji Nisa yang menjadi kyai dalam Barisan Sentot. Mereka yang tinggal di Minang kemudian punya anak dengan orang Minang dan keturunannya menjadi orang Minang. Lalu, ada eks Barisan Alia Bassa yang bermukim di Tapanuli seperti Pontjonegoro. Tentu ada pula yang kemudian pulang ke Jawa. Sentot sendiri lama di Sumatra dan pada 17 April 1855 tutup usia di usia yang tergolong muda.
Mereka yang usianya makin sepuh sebagai tentara lalu mendapat tunjangan dari pemerintah kolonial. Haji Nisa yang dihormati para serdadu mendapat 250 gulden tiap bulannya. Sementara kyai lain separti Kyai Melangi dan Kyai Penghulu hanya 115 saja tiap bulan. Angka itu tergolong tinggi saat itu.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar