Sentot Alibasah, Panglima Perang Termuda Pangeran Diponegoro
Sentot Alibasah menjadi panglima perang Pangeran Diponegoro di usia 20 tahun. Namun, ia menyerah kepada Belanda.
PERANG Jawa dimulai pada 1825 dan menjadi perlawanan paling berat yang pernah dihadapi Belanda. Perlawanan Pangeran Diponegoro dan pasukannya itu menyulut semangat perlawanan seorang pemuda 17 tahun yang kemudian menjadi panglima perang. Ia adalah Sentot Alibasah.
Sentot Alibasah Abdulmustopo Prawirodirdjo merupakan putra dari Raden Ronggo Prawirodirdjo III, Bupati-Wadono (kepala bupati) Montjonegoro Timur dengan salah seorang selir. Ibu dari Raden Ronggo Prawirodirdjo adalah puteri Hamengku Buwono I. Jadi, sama seperti Pangeran Diponegoro, Sentot adalah buyut dari Sultan Hamengku Buwono I. Dalam istilah Jawa, hubungan Sentot dengan Diponegoro disebut misan.
Menurut sejarawan Peter Carey Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, “Sentot” merupakan nama samaran perang atau nama julukan yang berasal dari kata mak sentot yang berarti “terbang” atau “melesat”.
Bergabung dengan Diponegoro
Soekanto dalam Sentot alias Alibasah Abdulmustopo Prawirodirjo menyebut semangat perlawanan Sentot muncul setelah melihat ngerinya perang yang dilancarkan Diponegoro kepada Belanda. Ditambah lagi, ayah Sentot juga seorang yang keras terhadap kolonial.
“Jadi Sentot tumbuh menjadi manusia yang tak sejuk hatinya, seorang yang mengandung dendam kepada Belanda, seorang revolusioner,” sebut Soekanto.
Menurut Soekanto, Sentot bergabung dengan barisan Diponegoro pada 28 Juli 1826. Sementara Peter Carey menyebut Sentot bergabung dengan Diponegoro pada Agustus 1825 di Selarong. Kala itu usia Sentot baru menginjak 17 tahun.
Baca juga: Perang Jawa Libur Selama Ramadan
Awalnya, Diponegoro hendak mendidik Sentot menjadi santri. Namun, Sentot tampaknya memang tidak berminat. Ia juga tidak bisa membaca dan menulis.
“Sentot tidak bisa membaca maupun menulis dan sejak kecil telah menunjukan rasa malas yang sengit terhadap maksud Diponegoro […] untuk mendidik Basah ini agar menjadi ‘ulama’,” tulis Justus Heinrich Knoerle dalam jurnalnya seperti dikutip Peter Carey.
Pada Agustus 1828, Gusti Basah, salah satu panglima Diponegoro, gugur dalam peperangan. Sebelum meninggal, ia meminta kepada Diponegoro agar yang menggantikannya adalah Sentot. Diponegoro menyetujuinya.
Tak lama setelah diangkat sebagai senopati, dalam waktu singkat Sentot telah menunjukan kemampuannya. Pada 5 September 1828, Sentot dikirim ke Progo timur dan berhasil memukul mundur tentara Sollewijn. Beberapa minggu kemudian, peperangan di Bagelen dan Banyumas juga mendapat hasil dan memuaskan.
Menurut E.S. de Klerck dalam De Java-oorlog van 1825-1830, yang dikutip Soekanto, Sentot seringkali memilih penggerebekan sebagai taktik perang. Menggempur sekeras-kerasnya dan penuh tenaga.
“Jika Sentot mundur, kemunduran ini terjadi dengan teratur dan kebijaksanaan; tentaranya disebar, sehingga susah menyusulnya dan kerap kali berbahaya, oleh karena tak dapat dipastikan apakah pelarian itu tipu atau tidak; tentara yang memburunya yang formasinya tak tertutup lagi, bisalah menjadi korban!” tulis de Klerck.
Kepandaiannya dalam perang gerilya membuat Sentot tak hanya dihormati oleh pasukannya melainkan juga oleh pasukan Belanda. Ia diakui sebagai musuh yang tangguh.
“Oleh karena ia sangat pandai dalam peperangan guerilla, berani, dan gilang-gemilang dalam peperangan, ia mendapat nama yang harum dan dihormati oleh kawan dan lawan,” tulis H.P. Aukus dalam Het legioen van Mangkoe Nagoro, seperti dikutip Soekanto.
Kejatuhan Sentot
Sentot sebagai panglima perang memang tak diragukan lagi. Namun, ternyata urusan uang pajaklah yang kemudian menjatuhkan namanya di depan Diponegoro.
Pada Desember 1828, Sentot meminta kepada Diponegoro untuk memimpin seluruh kekuatan pasukannya. Namun tak hanya itu, ia juga meminta untuk mengurusi penarikan pajak secara langsung demi keperluan prajuritnya.
Permintaan Sentot ini membuat Diponegoro khawatir karena ia merasa perlu menjamin kebijakan pajak ringan serta tersedianya sandang dan pangan yang murah.
“Ia khawatir jika Sentot –yang terkenal dengan gaya hidupnya yang boros– diperbolehkan menggabungkan wewenang pemerintahan dan militer, karena rakyat biasa akan tertindas dan dukungan mereka terhadap perang sucinya akan sirna,” tulis Peter Carey.
Baca juga: Memenuhi Ramalan Pangeran Diponegoro
Diponegoro juga menuliskan keprihatinannya dalam Babad Diponegoro. “Jika ia yang memegang pedang, juga diperbolehkan menggenggam uang, lantas bagaimana? Tidakkah itu membuat terbengkalai?” tulis Diponegoro.
Dengan berat hati, Diponegoro akhirnya setuju. Sentot mendapat dua pertiga bagian uang pajak cukai pasar di Kulon Progo dan Bagelen timur. Namun tak lama kemudian, kekhawatiran Diponegoro benar terjadi.
Satu kekalahan besar terjadi pada 8 Januari 1829. Kala itu Belanda telah membangun benteng yang baru dan besar di daerah Nanggulan. Namun, Sentot tidak bereaksi cepat karena sibuk dengan urusan keuangan. Ketika Sentot memerintahkan penyerangan, benteng Belanda sudah terlanjur kuat. Pasukan Sentot harus menelan kekalahan.
Persoalan pajak juga kemudian berimbas pada ikatan baik antara Diponegoro dengan rakyat. Tanpa kepercayaan rakyat, gerilya Diponegoro tak akan berhasil. Pada September 1829, perlawanan terorganisir di Jawa Tengah selatan berakhir.
Baca juga: Peter Carey dan Takdir Menemukan Diponegoro
Sentot akhirnya menyerah kepada Belanda pada 16 Oktober 1829. Penyerahannya menimbulkan kontroversi. Ia disebut mengambil keuntungan pribadi dari penyerahan itu. Alasan lain menyebut ia sebenarnya masih ingin menerukan perang. Namun karena kondisi perekonomian rakyat yang semakin memburuk karena perang tak kunjung usai, Sentot memilih menyerah.
Di bawah perintah Belanda, Sentot sempat bertugas di Salatiga, Batavia, dan Karawang. Pada 1832, ia dikirim ke Padang untuk membendung pemberontakan para ulama di sana.
Namun, bukannya meredam pemberontakan, pihak Belanda curiga bahwa Sentot memiliki hubungan dengan para pemberontak. Ia kemudian ditahan oleh Belanda dan kembali ke Batavia pada Maret 1833. Dari Batavia, pada Agustus 1833 Sentot dikirim ke Bengkulu untuk menjalani masa pembuangan.
Sentot Alibasah Abdulmustopo Prawirodirdjo meninggal dunia di pembuangan pada 17 April 1855 dalam usia 47 tahun.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar