Waktu Perang Jawa (1825-1830) berkecamuk, di Sulawesi Utara Residen DEW Pietermaat minta orang Minahasa menolong Belanda dalam perang tersebut. Sebagai kelanjutan darinya, terbentuklah sebuah pasukan tempur berjumlah 1.421 orang yang disebut Serdadu Manado atau Pasukan Tulungan. Komandannya Tololiu Hermanus Willem Dotulong yang diberi pangkat mayor. Dotulong dibantu tiga kapten.
“Mereka antara lain Benyamin Sigar (Langowan), D. Rotinsulu (Tonsea), dan Polingkalim (Tondano),” tulis Jessy Wenas dalam Sejarah dan Kebudayaan Minahasa.
Pasukan Tulungan atau Hulptroepen (pasukan bantuan) Minahasa ini adalah sebagian dari banyak hulptroepen yang membantu Belanda. Setelah terbentuk, pasukan itu langsung diberangkatkan ke Jawa.
“Mereka berangkat dengan kapal laut ke Pulau Jawa tanggal 29 Maret 1829 dan kembali ke Minahasa tahun berikutnya dan menduduki jabatan kepala walak di wilayahnya masing-masing,” sambung Jessy Wenas.
Pasukan yang dipimpin Dotulong dan Tawalijn Sigar terkenal gigih. Senjata mereka umumnya senjata tajam, namun beberapa orang juga menyandang senjata api.
Ketika berangkat ke Jawa, sudah ada sedikit pemuka yang menjadi perwira pasukan yang sudah menganut agama Kristen, namun para anak buah mereka masih menganut agama lokal setempat. Sebelum agama Kristen masuk, para pemuka masyarakat Minahasa biasanya memiliki beberapa istri. Kebiasaan itu menghilang setelah mereka menganut Kristen yang mengizinkan hanya boleh punya satu istri.
Ada cerita lisan dari mulut ke mulut bahwa pasukan Benjamin Thomas Sigar itulah yang terlibat dalam upaya penangkapan Pangeran Diponegoro pada Maret 1830 di Magelang. Bahkan ada yang menafsirkan bahwa dalam foto penangkapan Diponegoro terdapat Benjamin Thomas Sigar di dalamnya.
“Diponegoro hanya ingin menyerah kepada Pasukan Tulungan Minahasa,” tulis De Sumatra Post tanggal 12 September 1939).
Selain Benyamin Thomas Sigar, Dotulong sebagai komandan tertinggi Pasukan Tulungan dari Minahasa juga dianggap sebagai penangkap Diponegoro. Koran itu juga meyebut bahwa Diponegoro berulangkali bilang bahwa Mayor Dotulong adalah seorang pemberani.
“Bahkan diklaim bahwa Dotulong-lah yang menawan Diponegoro, dan menyerahkan pangeran Jawa itu kepada panglima Belanda. Apalagi konon atas prakarsa Dotulong inilah Diponegoro dan Kyai Modjo (yang semula sekutu Diponegoro) diasingkan ke wilayah Manado bersama pengikutnya masing-masing,” tulis Mieke Schouten dalam Leadership and Social Mobility in a Southeast Asian Society.
Diponegoro memang dibuang ke Manado, tapi sebentar. Dia kemudian dibuang ke Makassar hingga meninggal dunia di sana. Sementara itu, Kyai Modjo dan pengikutnya dibuang ke Tondano. Dari pembuangan itu, perkampungan Jawa Tondano terbentuk dan masih bersisa hingga saat ini.
Benjamin Thomas Sigar akhirnya menjadi Hukum Besar alias Kepala Distrik Langowan dari 1848 hingga 1870. Jabatannya itu dijalankan dengan pangkat tituler sebagai Mayor.
Ketika Benjamin Thomas Sigar kembali ke Langowan, agama Kristen mulai banyak dianut orang di Langowan. Penyebar agama Kristen itu adalah Johann Gottlieb Schwarz (1800-1859). Menurut Jessy Wenas, Schwarz dan kawannya Johan Friedrich Riedel tiba di Minahasa sekitar 1831. Kedua pendeta itu tergolong sukses. Schwarz berhasil meng-Kriten-kan Langowan sehingga di sebuah persimpangan jalan di Langowan terdapat patung besar dirinya Schwarz nan megah.
Dianutnya agama Kristen Protestan oleh kebayakan masyarakat Langowan menjadi bukti kesuksesan Schwarz. Setidaknya, semasa Benjamin Thomas Sigar berkuasa di Langowan, jumlah pengikut Kristen terus bertambah. Persekutuan gereja terbesar di Minahasa, termasuk di Langowan, adalah Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM).