Islamisasi Minangkabau
Kaum Padri mencoba menghilangkan pengaruh kaum adat di Minangkabau. Upaya itu mendapat perlawanan dan berujung perang saudara
Proses Islamisasi di Minangkabau –mencakup wilayah Sumatera Barat, sebagian Riau, Bengkulu, Jambi, sebagian Sumatera Utara, dan sebagian Aceh– terjadi pada kurun masa yang sangat panjang. Banyak bukti yang menjelaskan keberadaan ajaran tersebut. Namun mengenai kapan dan dari mana pertama kali ajaran tersebut masuk, banyak ahli yang kesulitan untuk merekonstruksinya. Keterbatasan informasi menjadi kendala utama.
Menurut sejarawan Taufik Abdullah sumber-sumber tentang Islam di Minangkabau belum terekam secara baik. Di dalam tulisannya “Adat and Islam: An Examination of Conlict in Minangkabau” dimuat Readings on Islam in Southeast Asia karya Yasmin Hussein, Taufik Abdullah menyebut jika pengetahuan pertama tentang Islam di wilayah itu datang dari Ulakan, Padang, Sumatera Barat. Tokoh utamanya adalah Syekh Burhanuddin.
Syekh Burhanuddin dianggap sebagai ulama pertama yang menyebarkan Islam di antara masyarakat Minangkabau. Dia merupakan murid dari ulama terkenal Aceh, Syekh Abduurauf Singkel. Tetapi, kata Taufik Abdullah, banyak bukti yang mengindikasikan bahwa Syekh Burhanuddin bukan yang pertama memperkenalkan Islam di sana.
Baca juga: Minang Menolak Bayar Pajak
“Meski begitu, ia tampaknya menjadi ulama penting pertama yang mendirikan pusat keagamaan di Minangkabau. Dia menjadi satu-satunya ulama yang memiliki wewenang dalam urusan agama,” kata Taufik Abdullah.
Syekh Burhanuddin diketahui membangun sebuah surau di Ulakan. Surau itu menjadi tempat pertama ulama-ulama Minangkabau belajar soal agama Islam secara lebih dalam. Murid-murid Syekh Burhanuddin berasal dari berbagai daerah di Minangkabau. Setiap orang, baik muda ataupun tua, yang ingin memperdalam tentang Islam boleh belajar di sana.
Menurut Mhd. Nur, dkk dalam Perjuangan Sultan Alam Bagagar Syah dalam Melawan Penjajah Belanda di Minangkabau pada Abad ke-19, mereka yang telah belajar di Ulakan akan kembali ke daerahnya masing-masing dan membangun surau sendiri. Proses inilah yang mempercepat proses islamisasi. Bahkan pengaruh dari Ulakan itu sampai juga ke seluruh Nusantara, seperti yang dilakukan Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Patimang di Makassar, Sulawesi Selatan.
“Para murid Syekh menyebarkan Islam di Minangkabau dengan jalan menanamkan budi dan memperlihatkan akhlak yang baik kepada masyarakat. Masyarakat Minangkabau cepat merespon Islam dan ikut menyebarkan Islam ke daerah-daerah lainnya di Nusantara,” tulis Mhd. Nur, dkk.
Baca juga: Bela Negara dari Belantara Minangkabau
Pada akhir abad ke-17, ulama-ulama besar bermunculan di Tanah Minang. Beberapa di antaranya: Tuanku Pamansiangan di Luhak Agam, Tuanku Koto Tuo, dan Tuanku Nan Tuo. Mereka adalah bekas murid-murid Syekh Burhanuddin. Di bawah pimpinan ulama-ulama ini, beberapa daerah menjadi pusat pengajaran fiqih Islam, serta Al-Qur’an dan Hadits. Permasalahan hukum, kepercayaan, dan seluruh aspek kehidupan sosial juga tidak lupa diajarkan.
Perbedaan Pendapat
Awal abad ke-19, setelah berjalan selama dua abad, proses Islamisasi di Minangkabau memasuki fase baru. Para ulama, dikenal sebagai “kaum Paderi”, mencoba melakukan pembaharuan Islam. Misi utamanya: pelaksanaan ajaran Islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits. Dengan kata lain, pemurnian terhadap Islam di Minangkabau.
Tokoh utama dalam gerakan reformasi ini adalah para ulama yang baru saja kembali dari Makkah, yakni: Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Setelah melihat dan belajar Islam di Tanah Suci umat Islam itu, mereka merasa ada kekeliruan dalam praktek agama di Minangkabau. Utamanya pelaksanaan adat yang berlebihan.
Meski mayoritas masyarakat Minangkabau telah memeluk Islam, tetapi tiga haji itu masih menemukan praktek-praktek keagamaan yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan Hadits. Seperti banyak guru agama masih berkhidmat kepada kuburan yang dianggap keramat, sabung ayam, berjudi, minum tuak, meninggalkan ibadah, dan pelanggaran agama lainnya.
Baca juga: Wabah Jubah
Kaum Putih (nama lain kaum Paderi) menentang seluruh sistem adat yang telah sejak lama menjadi bagian dari tradisi Minangkabau pra Islam. Mereka berusaha menghapusnya, dan menggantikan kebiasaan-kebiasaan di masyarakat tersebut dengan tradisi islami. Hal itu tentu mendapat pertentangan dari golongan adat yang ingin mempertahankan tradisi turun-temurun itu.
“Kaum Paderi bukan saja mencela sistem adat, tetapi juga sekaligus menentang pelaksanaan tradisi adat yang bertentangan dengan Islam yang telah menjadi tradisi bagi kaum Adat di Minangkabau,” tulis Mhd. Nur, dkk.
Pada 1803, suasana di Minangkabau semakin memanas. Berbagai perundingan dengan Kerajaan Pagaruyung, sebagai penggerak kaum adat, gagal mencapai kesepakatan. Puncaknya, kaum Paderi dan kaum adat terlibat pertikaian besar yang berujung kepada perang saudara. Di bawah komando Harimau Nan Salapan, kaum Paderi berhasil mendesak pasukan kaum adat pimpinan Sultan Arifin Muningsyah.
Baca juga: Penyelundup Kaum Paderi
Pagaruyung lalu meminta bantuan Belanda, yang kebetulan sedang mencari celah menguasai wilayah Sumatera. Kesempatan itu juga digunakan Belanda untuk melemahkan pengaruh kaum ulama Paderi. Merek sadar, setelah melihat kasus Aceh, bahwa kaum ulama militan bisa menjadi penghalang upaya kolonialisasi. Namun di tengah pertikaian besar itu, kaum adat mulai menyadari siasat Belanda yang hanya memanfaatkan mereka untuk kepentingan kolonial. Akhirnya kaum adat dan kaum Paderi setuju melakukan genjatan senjata demi mengusir Belanda dari Tanah Minang.
“Dampak paling awal dari Islam tercermin di dalam formulasi baru sistem adat sebagai pola perilaku ideal. Hingga akhirnya elemen-elemen luar dapat diserap secara menyeluruh ke dalam tatanan yang ada sebagai bagian dari sistem yang koheren,” kata Taufik Abdullah.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar