PERZINAAN sulit termaafkan dalam masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Tak pandang bulu, entah rakyat atau raja, pelaku perzinaan bisa bernasib nahas. Masyarakat Bugis punya cerita soal hukuman perzinaan. Ada hukum adat bernama Malaweng di sana. Bisa dibilang, Malaweng adalah hukum adat kesusilaan di Sulawesi Selatan.
“Malaweng berasal dengan kata lawa, yang berarti pemisah, pagar, penjaga,” catat Ahmad Ubbe dalam Hukum Adat Kesusilaan Malaweng Kesinambungan dan Perubahannya.
Lawa kemudian mendapat awalan “ma” dan akhiran “ng” sehingga menjadi malaweng.
Baca juga: Assikalaibineng, Kitab Kamasutranya Orang Bugis
Di Bone, yang berpusat di Watampone yang –dulunya merupakan kerajaan– kini merupakan sebuah kabupaten di Sulawesi Selatan, ada cerita tentang perzinaan. Dahulu kala tersebutlah seorang raja bernama La Inca (kadang disebut La Ica) yang bergelar Matinroe ri-addenenna di Bone. Ia berkuasa di Bone dari 1564-1565.
“Di dalam pemerintahan La Inca, sejarah Bone tercoreng arang karena nilai-nilai kejujuran telah dilanggar oleh raja yang sedang berkuasa. La Inca tertangkap basah memperkosa istri orang lain,” catat Muhammad Sikki dalam Nilai-nilai Budaya dalam Susastra Daerah Sulawesi Selatan.
Lantaran mencoreng nama baik kerajaan, penghukuman dilakukan oleh bukan sembarang orang. Menurut Ahmad Ubbe, penghukuman La Inca dilakukan oleh kakeknya sendiri yang bernama Arung Majang. La Inca dibunuh di tangga rumah panggungnya. Sehingga, almarhum digelari Matinroe ri-addenenna, artinya meninggal di tangga.
Baca juga: Cerita Menarik di Balik Gelar Anumerta Raja Gowa
La Inca berkuasa hanya satu tahun. Perbuatan buruknya mengakhiri nyawa dan kekuasaannya.
“Dia adalah arumpone yang malaweng terhadap sanak keluarganya, disepakati dan dibunuh,” catat Mattulada dalam Latoa Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Arumpone maksudnya Arung Bone, orang yang berkuasa di Bone alias raja Bone.
La Inca bukan satu-satunya raja dari kerajaan-kerajaan Bugis yang berakhir tragis karena berzina. Kerajaan Wajo yang –berpusat di Sengkang dan kini juga telah menjadi sebuah kabupaten– merupakan tetangga Bone di utara pun punya contohnya sendiri.
Baca juga: Hukuman Bagi Pelaku Pelecehan Seksual di Majapahit
Tersebutlah raja bernama La Pateddungi To Samallangi yang dikenal sebagai Batara Gowa III. Raja yang berkuasa dari 1466-1469 ini dikenal suka menzinai gadis-gadis atau istri-istri orang. Golongan terakhir tentu mencederai harga diri (siri’) dari para suami. Bagi orang Bugis, siri’ sangat penting.
“Kejahatan La Pateddungi semakin berlanjut, ia menyuruh menggantung kelambu di hari pasar dan memasukan perempuan-perempuan yang disukainya ke dalam kelambu. Kemudian perempuan-perempuan itu diperkosa,” tulis Ahmad Ubbe.
Perintah raja menggantung kelambu di pasar itu membuat pasar menjadi sepi dari kaum perempuan. Meraka tak mau dizinai raja cabul ini.
Baca juga: Hukuman Bagi Pelaku Perselingkuhan
Ketidakmunculan perempuan di pasar itu membuat si raja cabul marah. Dia lalu memerintahkan pengikutnya untuk mengambili paksa para perempuan dari rumah mereka.
Rakyatnya dan sebagian orang bijak di kerajaannya pun tak tinggal diam melihat kebejatan sang raja. Tindakan terhadap La Pateddungi pun diambil.
“Hingga akhirnya, kejahatan La Pateddungi berujung pada kematiannya, karena dibunuh rakyatnya sendiri,” catat Ahmad Ubbe.
Begitulah akhir hidup dan kekuasaan La Pateddungi dari Wajo. Sebuah musyawarah kemudian diadakan di Wajo untuk mencari pengganti La Pateddungi. Musyawarah itu memutuskan para Paddanreng Arung Pabbicara dan para Matoa Limpomenetapkan Lapalewo Topalippu sebagai raja Wajo yang baru.*