Masuk Daftar
My Getplus

Totalitas Srikandi Lapangan Hijau

Melahirkan apalagi cuma menikah, dan pensiun bukan halangan bagi perempuan ini untuk terus merumput atau berkontribusi dalam memajukan sepakbola putri.

Oleh: Randy Wirayudha | 21 Des 2017
Papat Yunisal, legenda sepakbola putri Indonesia/Foto: Nugroho Sejati

KETIKA dirawat di Rumahsakit Hasan Sadikin, Papat Yunisal kedatangan banyak teman. “Suatu malam, kakak kelas Yati Sumaryati (ibu pesepakbola Airlangga Sucipto) datang jenguk saya yang waktu itu dirawat karena sakit kuning. Dia datang pakai jeket (klub) Putri Priangan yang tulsannya ‘Sepakbola Wanita’. Saya tanya, itu dari mana jaketnya. Dia bilang dari klub yang ikut kejuaraan sepakbola wanita di Yogyakarta,” ujar Papat kepada Historia saat ditemui di Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) Pasundan, Cimahi, beberapa waktu lalu.

Kedatangan Sumaryati itu menjadi tonggak penting dalam sejarah kehidupan Papat. Sejak itu, dia berhasrat pada sepakbola. Olahraga terpopuler di jagat itulah yang kemudian mematri namanya di antara segelintir perempuan lain dalam persepakbolaan perempuan di tanah air.

Mendobrak Monopoli Sepakbola

Advertising
Advertising

Lahir di Subang pada 11 Juni 1963 dari pasangan Otman Atmo dan Juhariah Sabur, darah olahraga Papat datang dari ayahnya. “Ibu itu desainer, sedangkan bapak awalnya kepala perkebunan di Subang. Tapi memang sebelumnya bapak aktif di kompetisi-kompetisi mahasiswa. Ikut sampai delapan cabang olahraga,” kata Papat. Sejak kecil, Papat telah bersentuhan dengan bulutangkis, basket, hingga hoki. Dia lalu mengambil pendidikan formal di Sekolah Guru Olahraga (SGO) Bandung.

Namun, kecintaan Papat pada sepakbola baru muncul setelah dia sakit kuning. Rasa penasarannya yang besar terhadap sepakbola membuatnya bersemangat untuk cepat sembuh. Usai opname, Papat dan tiga temannya mendatangi ketua klub Putri Priangan, Indra Tohir. Mereka mengajukan diri untuk ikut bergabung dengan klub sepakbola wanita tertua di Indonesia itu (1969). “Senang banget dia waktu kedatangan empat calon pemain baru. Waktu itu kan ya terbilang susah untuk cari pemain (wanita),” tambahnya.

Setelah melewati beberapa tes, Papat lulus masuk klub Putri Priangan pada 1979 dengan posisi penyerang. Dia ikut memperkuat klub itu ke sejumlah kejuaraan, mulai Kartini Cup, Pangdam Cup, hingga Galanita. Penampilan baiknya membuat dia kemudian terpilih masuk timnas (Galanita) PSSI putri pada 1981.

Meski sepanjang sejarah keikutsertaannya di berbagai ajang internasional sejak 1979 timnas PSSI putri belum pernah menjadi juara, Papat ikut mengantarkan timnas PSSI putri menjadi runner up ASEAN Women’s Championship 1982 –prestasi tertinggi yang belum bisa disamai para pesepakbola putri generasi-generasi berikutnya. “Juaranya waktu itu tuan rumah Thailand,” kata Papat.

Bagi Papat, prestasi itu lebih berkesan karena dia berhasil menjawab keraguan ofisial. “Yang paling saya ingat di kompetisi itu, saat bikin gol satu-satunya di pertandingan sebelumnya lawan Singapura yang awalnya saya di bangku cadangan. Saya merasa harus ngotot sama pelatih untuk minta dimainkan,” sambungnya.

Kengototan Papat berbuah setelah pelatih memberinya kepercayaan untuk menggantikan rekan di menit-menit akhir. Dari sebuah situasi scrimmage, Papat mencetak gol penentu kemenangan 1-0. “Keunggulan saya itu power (duel fisik). Makanya saya tabrak semua pemain lawan yang menghadang untuk dapat bola. Golnya kemelut, bolanya saya dorong dengan badan ke gawang. Saya sempat enggak percaya bisa gol. Rasanya seperti ada lautan yang akan menimbun saya,” tuturnya.

Kemenangan itu membawa Indonesia ke final melawan Thailand. Sayang, dalam pertandingan pada 28 Maret di National Stadium, Bangkok itu Indonesia kalah. “Timnas Kerajaan (Thailand) menang 4-1 di laga final melawan tim Indonesia dan menerima trofi Putri Maha Chakri Sirindorn yang diserahkan langsung Marsekal Armporn Kondee kepada kapten Wannipa Yeepracha,” tulis Bangkok Post, 29 Maret 1982.

Karier Papat kian moncer usai kejuaraan itu, terutama di klub. Tak seperti kebanyakan pesepakbola perempuan yang menyudahi karier usai menikah, totalitas Papat tetap terjaga bahkan setelah menikah pada 1986. “Pernah saya baru 40 hari habis lahiran, sudah main saking antusiasnya kembali ke lapangan. Tapi saya tetap harus cek dokter dulu, apa masih layak bermain bola. Sama dokternya saya dikasih syarat harus pake gurita (stagen) yang benar-benar ngepres. Pas main, syukurnya enggak ada rasa sakit atau nyeri sama sekali,” kenang Papat.

Papat pensiun dari timnas PSSI putri pada 1987 dan tiga tahun kemudian total gantung sepatu. Tapi kecintaannya pada sepakbola membuat Papat tak bisa jauh darinya. Pada 2004, dia mendirikan Sekolah Sepakbola (SSB) putri bernama Queen. Dia juga mengambil kursus kepelatihan sehingga punya lisensi C AFC.

Itu semua dilakukan Papat bukan semata untuk kepuasan pribadi tapi juga untuk memajukan sepakbola putri. Budaya patriarki membuat sepakbola putri di Indonesia tak populer. Jangankan prestasi, kaum perempuan sendiri banyak yang tak meminati. Butuh upaya dua kali lipat untuk mendongkraknya lagi dan itu yang terus dilakukan Papat.

Totalitasnya dalam sepakbola meski sudah pensiun membuat Papat kemudian dipercaya PSSI memegang manajerial timnas PSSI putri di beberapa level usia dan kompetisi sejak 2006. Lewat Kongres PSSI 2016, Papat masuk ke Komite Eksekutif PSSI. Di sela-sela kesibukannya mengajar di STKIP Pasundan, Papat aktif menggalakkan Pertiwi Cup. Pada 9 Desember 2017, Papat didaulat secara aklamasi menjadi ketua Asosiasi Sepakbola Wanita.

TAG

papat yunisal

ARTIKEL TERKAIT

Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian II – Habis) Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian I) Kado Manis dari Tionghoa untuk Tenis Indonesia Tionghoa Nasionalis di Gelanggang Bulutangkis Pengungsi Basque yang Memetik Bintang di Negeri Tirai Besi Riwayat NEC Nijmegen yang Menembus Imej Semenjana Melawan Belanda dengan Renang di Kolam Renang Manggarai Alkisah Niki Lauda Juara F1 Bermodal Setengah Poin Geliat Tim Naga di Panggung Sepakbola Kompak Unjuk Aksi Solidaritas HAM di Podium Olimpiade