PERSEPAKBOLAAN putri nasional mulai menggeliat lagi. Berawal dari gelaran Pertiwi Cup akhir 2017, sepakbola putri tanah air kini memiliki Asosiasi Sepakbola Wanita Indonesia (ASBWI) dengan ketuanya Papat Yunisal, eks-pemain Putri Priangan dan timnas era 1980-an.
Kedua hal itu menjadi jawaban terhadap penelantaran sepakbola putri selama hampir 30 tahun. Bukan urusan gampang menggalakkan sepakbola di antara kaum hawa. Problemnya tak hanya di dalam, namun juga dari luar lapangan. Kritik yang mengiringinya mencakup banyak segi, mulai dari budaya ketimuran hingga soal kewanitaan (kesehatan perempuan). Banyak yang mengaggap sepakbola bisa menyebabkan kehilangan keperawanan.
“Dulu itu memang masih banyak yang berpendapat kalau keperawanan itu bisa hilang kalau kita main bola. Karena gerakan kaki (hingga mengangkang) tendang bola,” kata Papat kepada Historia beberapa waktu lalu.
Padahal, lanjut Papat, itu hanya mitos. “Soal keperawanan itu kalau dulu masih dimahkotakan orang, sampai sekarang juga. Ya masing-masing dalam pergaulannya harus dijaga sampai punya suami,” imbuhnya.
Menjaga Naluri dan Feminisme
Masyarakat juga percaya sepakbola sebagai olahraga agresif dan keras bisa mengubah kodrat perempuan dari feminim menjadi perempuan bernaluri jantan. “Kalau dipaksakan (bermain seperti pria), ia (pemain putri) akan jadi wanita jantan,” kata pakar kesehatan dr. Myrnawati dalam tulisannya yang dimuat Kartini edisi 11 Februari 1985, “Sepak Bola Wanita: Setuju dan Tidak Setuju”.
Dampak dari latihan keras sepakbola juga bisa membuat tubuh perempuan meningkat kekar dan berisi. Belum lagi kulit yang jadi kusam dan hitam, bisa mengurangi kecantikan.
Padahal, pendapat itu tak sepenuhnya benar. Terlebih di mata Papat. “Saya kalau sosialisasi selalu bilang, jangan takut (kulitnya) hitam. Kan ada sunblock atau body lotion. Jangan takut enggak punya suami. Buktinya saya punya suami. Jangan takut tak punya anak. Toh anak saya sudah sepasang. Kita bisa tetap cantik dan feminim kok. Kalau di lapangan saya berharap mereka bermain seperti laki-laki. Habis itu keluar lapangan, ya jadi perempuan lagi,” tandas Papat.
Siklus Menstruasi dan Hormon
Para penentang sepakbola putri juga kerap mendasarkan penilaian pada perbedaan fisik lelaki dan perempuan. Purnawirawan ABRI (kini TNI) Midyanto, salah satunya. Menurutnya, sepakbola bisa menimbulkan risiko ginekologi dan masalah kesehatan di daerah kewanitaan.
“Gerakan-gerakan dalam sepakbola itu berat dan tidak cocok dengan naluri kodrat kewanitaan. Penuh risiko bagi kesehatan. Lari yang dipaksakan, tendangan yang keras, belum lagi rentan kecelakaan,” ujarnya dimuat Majalah Kartini edisi 11 Februari 1985.
Namun, pakar kesehatan dr. Myrnawati memaparkan fakta berbeda. Merujuk hasil riset beberapa peneliti di Eropa tentang siklus datang bulan dan hormonal, Myrna menulis, “Dr. Schelle dari Sittard meneliti 111 pemain (bola putri secara acak) dengan hasilnya: hanya 26 persen yang menyatakan menstruasi jadi gangguan saat bermain, delapan persen mengaku dapat menunda datang bulan, 51 persen merasa kurang enak menggunakan tampon, dan 20 persen (memilih) menggunakan tablet (penunda mens).”
Hasil riset itu sejalan dengan pengalaman beberapa pesepakbola putri. “Saya ketika itu tidak terganggu (jadwal menstruasi) kok. Malah keluarnya semakin deras dan cepat bersih,” kata Muthia Datau, mantan kiper Buana Putri dan timnas putri PSSI era 1980-an.
Soal pengaruh sepakbola pada hormonal dan peningkatan gairah seksual juga menjadi bahasan riset tadi. Sebanyak 65 persen pesepakbola putri, kata riset itu, mengaku kegiatan seksualnya tak terganggu. Sementara 25 persen responden lain mengaku sepakbola justru membuat birahi mereka meningkat.
Jurnal Health and Fitness for the Female Football Player: A Guide for Players and Coaches yang diterbitkan Komite Medis FIFA pada 2007 juga mengungkap fakta serupa. Menurut jurnal yang membahas cedera dalam sepakbola dan pengaruh hormonal serta menstruasi yang ditimbulkan sepakbola itu, berkegiatan sepakbola faktanya bisa mengurangi gejala PMS (pra-menstruasi), hingga meringankan keram perut dan nyeri datang bulan. Hasil survei jurnal menyatakan 80 persen pesepakbola putri tetap bisa tampil normal di lapangan atau malah lebih baik saat menstruasi.
Soal kesuburan, kata jurnal FIFA, kelebihan maupun kekurangan latihan bisa menghambat perkembangan ovum (sel telur). “Porsi latihan harus disesuaikan dengan tepat untuk meningkatkan potensi kehamilan. Jika porsinya tepat, wanita bisa lebih cepat hamil dan melahirkan,” tulis jurnal itu.
Namun, jurnal itu menyarankan agar sepakbola tak dimainkan oleh ibu hamil karena mempengaruhi kenormalan detak jantung. Sementara untuk pasca-melahirkan, disarankan mengikuti anjuran dokter tentang kapan boleh merumput lagi.
“Dua pekan setelah melahirkan, saya sudah mulai latihan dan bermain lagi lima bulan pasca-melahirkan. Namun memang sulit menyisihkan waktu untuk menyusui ketika latihan dan pertandingan,” aku Martina Voss, mantan pemain timnas putri Jerman dalam jurnal itu.
Fakta-fakta itu yang mestinya disosialisasikan sehingga para gadis yang ingin bersepakbola tak perlu takut terhadap mitos-mitos yang beredar. “Itu yang dulu jadi salah kaprah. Kesannya wanita tidak boleh kerja berat. Terus gimana dengan olahraga lain? Tinju, gulat, angkat besi. Apa tidak (rentan) merusak tubuh (wanita) juga?” tandas Papat.
Baca juga:
Totalitas Srikandi Lapangan Hijau
Ikon Sepakbola Putri Indonesia
Sepakbola Kaum Hawa Merentang Masa
Main Bola Bukan untuk Pamer Paha