PARA penggemar pebulutangkis tanah air akan kembali bisa menyaksikan atraksi pasangan ganda putra Kevin Sanjaya dan Marcus Gideon pada 16-21 Juli nanti di Indonesia Open. Duo “The Minions” diharapkan bisa mempersembahkan prestasi.
Pasangan Kevin/Marcus merupakan andalan ganda putra Indonesia saat ini. Keduanya merupakan penerus “estafet” daftar pasangan ganda putra tanah air yang dirintis Christian Hadinata/Ade Chandra dan Tjun Tjun/Johan Wahyudi di era 1970-an.
Selain diharapkan mempersembahkan prestasi, Kevin/Marcus juga ditunggu atraksi-atraksinya, mulai dari pukulan akrobatik hingga trik-triknya. Gaya permainan freestyle “The Minions” amat menghibur.
Menurut Kevin, gaya pukulan dan permainannya terinspirasi dari idolanya: Sigit Budiarto. “Cah Jogja” yang satu itu harum namanya di nomor ganda putra baik tingkat nasional maupun internasional.
Kutu Loncat
Sigit lahir di Yogyakarta pada 24 November 1975 dari pasangan Sutoto dan Naniek Sriniati. Sebagaimana kebanyakan pebulutangkis nasional, dia dikenalkan raket dan shuttlecock oleh ayahnya. Sedari umur 6 tahun Sigit sudah ikut-ikutan ayah dan empat saudaranya latihan bulutangkis.
“Saya tak pernah berpikir akan sampai sejauh itu (prestasinya). Dulu kecilnya ya sempat cita-cita pingin jadi pilot lah, dokter lah. Tapi dari kecil juga diajarin badminton sama orangtua, seminggu tiga kali di GOR. Lama-lama yang senang juga,” kenangnya saat ditemui Historia di sela-sela kesibukannya melatih di GOR PB Djarum Jakarta.
Baca juga: Hadiah Juara untuk Mama
Keseriusannya akan bulutangkis dimulai sejak dimasukkan ke klub PB Natura di Kecamatan Prambanan, tempat sang ayah melatih. Namun, Sigit bak kutu loncat alias berpindah dari satu klub ke klub lain. Setelah di PB Natura, ia hengkang ke PB Setia Kawan, lantas PB Pancing, dan akhirnya hinggap di PB Djarum pada 1988.
“Mulanya saya di single (tunggal putra). Di Kudus (PB Djarum) juga belum terpikir untuk main ganda. Belum juga terpikir untuk jadi juara dunia. Apalagi bisa dikatakan saya kan orang kampung, wong ndeso. Ya pokoknya latihan saja. Untuk bisa juara di All England atau Thomas Cup tak pernah terbayangkan oleh saya,” lanjutnya.
Sigit sempat tak betah di Kudus. Dua tahun di PB Djarum Kudus, ia hijrah ke salah satu klub di Solo, yang lebih dekat dengan kampung halamannya. Entah apa yang melecutnya, pada 1994 Sigit comeback ke PB Djarum namun di PB Djarum Jakarta.
“Di PB Djarum Jakarta saya mulai dialihkan ke ganda oleh pelatih Mas Basri (Yusuf) dan Mas Hafid Yusuf. Partner pertama saya Ade Lukas. Lalu saya masuk Pelatnas (PBSI) tahun 1995. Saya dipasangkan dengan Dicky Purwosugiono. Baru setelah itu dipasangkan sama Candra (Wijaya),” tutur Sigit mengingat masa merintis kariernya.
Hasil tak mengkhianati kerja keras Sigit. Bersama Dicky, Sigit menjuarai French Open 1995. Prestasinya kian melejit bersama Candra, di mana Sigit mendulang gelar juara dunia ganda putra pada 1997 di Skotlandia. Setahun kemudian, ia jadi bagian skuad Indonesia kala menjuarai Thomas Cup 1998 di Hong Kong.
“Pada saat itu kita berangkat (dilepas) presiden yang lama (Soeharto), kemudian pulang disambut presiden yang baru (BJ Habibie). Semua anggota tim panik di tengah kompetisi. Khawatir akan keadaan keluarga masing-masing. Itu juga momen pertama ikut Thomas Cup. Alhamdulillah bisa kita pertahankan dan itu jadi kebanggaan tersendiri. Pada saat tanah air terjadi huru-hara, kami di sana berjuang dan kemudian menang,” sambungnya.
Baca juga: Ketika Rumah Susy Susanti Nyaris Dibakar
Dalam laga-laga yang dimainkannya, Sigit acap bikin penonton kagum dengan pukulan-pukulan refleksnya yang akrobatik dan tak terduga. Saat mengembalikan pukulan lawan, Sigit sering berakrobatik dengan pukulan di antara dua kaki atau dari belakang punggungnya. Sigit lantas dikenal sebagai “Raja Freestyle”. Gaya-gayanya itu lantas ditiru Kevin/Marcus.
“Saya sendiri juga enggak ngerti. Kan itu (pukulan aneh) refleks saja sih. Spontan. Enggak ada yang dibikin atau dilatih khusus. Sebenarnya kan senior-senior saya juga banyak yang begitu. Intinya enggak ada niat ingin beratraksi saat main,” ujar Sigit.
Skandal Doping dan Akhir Karier
Nahas menimpa Sigit di tahun itu juga. Medio Desember 1998, karier Sigit yang tengah melambung tinggi, posisi 1 ganda putra dunia, mendadak menghujam tanah. BWF, induk organisasi bulutangkis internasional, memvonis Sigit menggunakan doping. Mengutip Bernd-Volker Brahms dalam Badminton Handbook: Training, Tactics, Competition, Sigit disebutkan mengonsumsi zat steroid nandrolone.
Vonis BWF berangkat dari sampel A dan B hasil tes urine Sigit di Laboratorium Doping Komite Olimpiade Internasional. Hasil itu membawa BWF menghukum Sigit dengan larangan bertanding selama 13 bulan.
Baca juga: Public Enemy Bernama Scheele
Sigit, yang membantah sengaja menggunakan doping, akhirnya urung terjun di Olimpiade 2000. Chandra lantas “diceraikan” dari Sigit untuk dipasangkan dengan Tony Gunawan. Sigit hanya bisa gigit jari ketika Candra/Gunawan lantas memetik emas.
“Momen itu (vonis doping) yang bikin paling nge-drop. Saya sendiri tidak tahu pasti dan saya tidak berani omong apapun karena saya tak merasa menggunakan doping. Itu ujian terberat buat saya,” papar Sigit.
Sigit akhirnya bebas pada 1999 dan comeback. Absen selama 13 bulan tak membuat skill-nya kendor. Gelar demi gelar tetap mampu disabetnya hingga 2006. Selain beragam turnamen berlevel open yang dimenanginya hingga 2006, Sigit berhasil menjuarai Thomas Cup 2000 dan 2002, All England 2003 (bersama Candra), dan Kejuaraan Asia 2004 (bersama Tri Kusharyanto). Setahun berselang, Sigit gantung raket.
“Keluar dari Pelatnas 2006 tapi sempat masih main untuk PB Djarum sampai 2007. Lalu di Djarum saya dikasih kesempatan karier melatih oleh Pak Hadibowo. Jadi pelatih, saya banyak belajar dari senior-senior seperti Koh Christian (Hadinata), juga Pak Tahir Djide. Ikut juga kalau ada kursus kepelatihan dari PBSI,” terangnya.
Prestasi melatih Sigit terbilang bagus. Kevin adalah salah satu anak didiknya yang kini melanjutkan prestasi sang pelatih. “Kevin anaknya kurang mengeluh dan mau kerja keras. Memang anaknya bisa dikatakan tengil tapi itu hanya di lapangan. Tengil karena dasarnya punya rasa tak mau kalah di lapangan, kan bagus,” tandas Sigit mengomentari muridnya.
Baca juga: Dari Arena ke Layar Kaca
Sigit sendiri tak memaksakan bulutangkis untuk menjadi karier ketiga anaknya dari hasil pernikahannya dengan dokter Hani Andreana pada 2009. “Anak saya sudah tiga dan tentu saya kenalkan dengan bulutangkis. Tapi saya biarkan mereka memilih. Salah satunya kelihatan lebih senang renang. Karena jarak dari rumah dan GOR jauh, ya jadi enggak bisa rutin melatih mereka bulutangkis. (Saya) Lebih fokus di Djarum saja sekarang.”