Masuk Daftar
My Getplus

Dari Arena ke Layar Kaca

Meretas karier dari bintang lapangan, Yuni Kartika hingga kini tetap jadi bintang di depan kamera.

Oleh: Randy Wirayudha | 23 Mei 2019
Yuni Kartika melejitkan namanya dari arena bulutangkis dan kini tetap jadi bintang di layar televisi (Foto: Randy Wirayudha/Historia)

DI mana ada siaran bulutangkis di televisi, di situ ada Yuni Kartika. Di antara para host dan komentator olahraga tepok bulu, nama Yuni salah satu yang paling dinanti. Yang berkesan darinya tentu bukan semata komentar hebohnya tapi juga pengetahuannya yang dalam terkait teknis permainan maupun profil para pemain yang tengah bertarung.

Komentar-komentar Yuni kembali nyaring saat TVRI mulai menyiarkan Piala Sudirman 2019 yang digelar di Nanning, China pada 19 Mei lewat. Kala itu, Gregoria Mariska Tunjung sedang meladeni tunggal putri Inggris Abigail Holden yang akhirnya dimenangi Gregoria straight set, 21-10 dan 21-13. Secara keseluruhan, tim Indonesia menang 4-1 atas Inggris di laga pembuka Grup 1-B.

Saat laga kedua Grup 1-B kemarin, Rabu (22/5/2019), kala tunggal putri Indonesia Fitriani berlaga kontra Mia Blichfeldt asal Denmark, Yuni kembali membimbing para pemirsa memahami pertandingan. Sejak pensiun pada 1995, Yuni memang memutuskan untuk menjadi komentator siaran olahraga (sportscaster).

Advertising
Advertising

Baca juga: Sudirman Bukan Sembarang Piala

“Saat menjelang akhir karier, saya berpikir apa ya bidang yang tetap in-line dengan badminton tapi enggak di lapangan. Karena saya merasa seluruh hidup saya sudah di lapangan. Dari kecil umur lima tahun sampai besar di lapangan. Jadi kalau saya harus jadi pelatih lagi atau buka toko olahraga, saya akan ada di lapangan lagi. Kayaknya enggak gitu kepenginan saya. Saya pingin yang lain tapi tetap tidak ingin meninggalkan badminton, gimana caranya,” tutur Yuni saat ditemui Historia.

Pikiran Yuni lantas tertuju pada dunia broadcast. Tujuannya, ia ingin mengedukasi masyarakat lebih dalam soal bulutangkis lewat layar kaca. “Caranya bisa mengedukasi tentu dengan mantan pemain yang bisa ngomong (di depan kamera). Tentang apa yang terjadi, bagaimana susahnya, struggle-nya main badminton. Kalau lagi mau apa yang dipikirkan. Mereka enggak tahu di belakang kayak apa. Itu yang membuat saya memutuskan bahwa next step saya akan lari ke dunia broadcast,” sambungnya.

Petaka Keluarga Hentikan Kariernya

Yuni mengenal bulutangkis sejak usia lima tahun. Srikandi cantik kelahiran Semarang, 16 Juni 1973 itu dikenalkan olahraga tepok bulu oleh ayahnya, Tjoa Soe Sien, yang kerap mengajak Yuni saat bermain dengan para sejawatnya.

“Saya kecil di Pekalongan dan mulanya serius bulutangkis masuk PB Praba Jaya. Terus pas saya kelas 6 SD ada pembukaan untuk PB Djarum. Tapi saya masuk audisinya lewat PB Djarum di Jakarta. Empat kali bolak-balik Pekalongan-Jakarta untuk ikut tes psikologi, tes IQ, hingga tes tanding. Waktu itu masih teringat angkatan saya audisi ada Ade Rai (binaragawan), Zarima Mir (ratu ekstasi), Ardy Wiranata, Jean Pattikawa,” kenang Yuni.

Yuni Kartika (berdiri paling kanan) bersama para rekan sejawat angkatannya kala mengasah karier di PB Djarum (Foto: Twitter @YuniKartika73)

Nama Yuni kemudian melejit sebagai salah satu andalan Pelatnas PBSI di sektor tunggal putri. Mengutip Arie MP Tamba dan TB Ahmad Fauzi Supri dalam Setengah Abad PB Djarum: Dari Kudus Menuju Prestasi Dunia, Yuni meraup titel German Open Junior 1990, jadi finalis Malaysia Open 1992, dan masuk tim Uber Cup 1992 di mana Indonesia tersisih di semifinal.

Baca juga: Zarima di Arena

Di peringkat dunia tunggal putri, puncak karier Yuni pernah menjejak urutan 10 pada 1992. Tapi tiga tahun kemudian, Yuni memutuskan gantung raket. Dia merasa tak lagi bisa bersinar. Fokusnya gampang goyah pasca-petaka kecelakaan keluarganya tiga tahun sebelumnya.

“Itu sedang di puncak karier saya. Saat saya lagi bertanding di Thailand, terus satu keluarga saya kecelakaan. Ibu saya (Sri Hartati, red.) meninggal, lalu kakak dan ayah saya kritis. Itu hal yang benar-benar membuat saya sulit ya. Kesan pahit sepanjang karier saya,” tuturnya dengan nada lirih.

Kabar duka itu, sambung Yuni, mulanya diterima pelatih dan manajer tim. Namun kabar itu di-pending sampai Yuni selesai berlaga. Hatinya teriris begitu mendengarnya. Meski kemudian kakak dan ayahnya pulih, Yuni tetap mendapati ibundanya tiada.

“Hidup rasanya seperti dibalik. Ibu saya itu orang paling dekat dengan saya. Sempat kita teleponan saat saya sudah di Thailand. ‘Ayo pulang,’ katanya. Gimana, saya lagi bertanding disuruh pulang. Saya enggak tahu bahwa itu akan jadi percakapan terakhir. Dari situ juga titik balik prestasi saya enggak bisa balik lagi dari yang saya capai sebelumnya,” tambah Yuni.

Yuni akhirnya memilih gantung raket dan beralih ke layar kaca sebagai sportcaster. Ia memulainya dengan masuk kursus presenter. hingga magang di TVRI. “Magang pertama di TVRI sampai akhirnya bisa punya kemampuan untuk jadi host dan komentator. Jadinya saya tetap punya sumbangsih buat badminton tapi dengan cara yang saya pikir bagus untuk mendukung badminton Indonesia,” sambung perempuan yang sehari-harinya juga berkarya di Djarum Foundation itu.

Baca juga: Srikandi yang Tak Diakui

Hingga kini, hampir di setiap siaran bulutangkis, Yuni selalu jadi host maupun komentator andalan, lengkap dengan penampilan nyentrik rambut pendek dan pirangnya. “Gaya rambut seperti ini memang baru pas jadi sportcaster.” tutupnya.

TAG

Bulutangkis

ARTIKEL TERKAIT

Sebelum Ferry Juara Dunia Bulutangkis Kala Liem Swie King Bicara Mental Tak Mau Kalah Cerita Liem Swie King Terobos Banjir Badminton is Coming Home! Menguber Uber Cup Putri Bulutangkis dengan Segudang Prestasi Elizabeth Latief dan Semangat Kartini Indonesia dan Kejayaan All England Alan Budikusuma Terpuruk di Kuala Lumpur, Berjaya di Barcelona Kawin-Cerai di Ganda Campuran