SEISI Istora Senayan kian riuh. Sorakan muncul dari berbagai sudut tribun penonton. Selain merupakan dukungan untuk pasangan ganda putra Muljadi/Agus Susanto, gemuruh yel-yel penonton juga berfungsi untuk mengintimidasi ganda lawan asal Malaysia, Tan Yee Khan/Ng Boon Hee.
Mulyadi/Agus baru saja memenangkan set kedua 18-13 partai kedelapan final Thomas Cup 1967 yang dihelat pada 10 Juni itu. Di set pertama, pasangan Indonesia itu kalah 2-15. Istora menjadi saksi bisu kian panasnya situasi jelang set ketiga.
Saat itu, Thomas Cup masih menggunakan sistem interzone dan challenge round. Sebagai juara bertahan, Indonesia cukup menunggu lawan di partai final challenge round. Lawan itu ternyata diisi Malaysia, yang belum lama rujuk dengan Indonesia akibat Konfrontasi.
Meski tertinggal 1-3 di hari pertama, 9 Juni, Indonesia menyusul 3-4 di hari kedua via kemenangan di dua nomor tunggal putra oleh pemain muda Rudy Hartono dan Muljadi. Muljadi kembali turun di nomor ganda putra berpasangan dengan Agus.
Gemuruh sorakan 12 ribu penonton tuan rumah jelang set ketiga pertandingan Muljadi/Agus membuat Herbert Scheele (sekretaris kehormatan merangkap honorary referee IBF) turun dari tribun kehormatan. Tanpa menghiraukan wasit Tom Bacher asal Denmark yang memimpin pertandingan, Scheele menghentikan pertandingan itu.
“Ia merasa terganggu dengan ulah penonton Istora Senayan dalam memberikan dukungan kepada tim Indonesia,” ungkap Suharso Suhandinata dalam biografinya, Diplomat Bulutangkis: Peranannya dalam Mempersatukan Bulutangkis Dunia Menuju Olimpiade.
Scheele, yang menginginkan pertandingan bulutangkis bisa setenang pertandingan tenis, risih terhadap psywar penonton Istora yang mengintimidasi pemain Malaysia. Ketidaknyamanan juga dirasakan para pemain Malaysia.
“Fokus kami terganggu oleh 12 ribu kericuhan penonton,” kenang Tan Yee Khan di media Malaysia, The Star, 25 September 2010. “Kami ketakutan. Para penonton berdiri di kursi tribun dan berteriak-teriak. Saya juga melihat beberapa tentara (aparat keamanan) mengentak-entakkan popor senapan mereka,” timpal Yew Cheng Hoe, tunggal putra Malaysia yang juga tampil di final.
Maka, sambil bertolak pinggang dan melambaikan satu tangan Scheele kemudian memanggil Padmo Sumasto, pimpinan panitia-cum-ketua PBSI. Gesture Scheele tak pelak menjadikannya sasaran amarah penonton. Scheele lantas mengumpulkan perwakilan pemain dan manajer tim masing-masing. Rundingan itu menghasilkan keputusan, sisa pertandingan dimainkan keesokan paginya dengan syarat tanpa penonton. Tim Indonesia menolak. Deadlock itu lalu dibawa ke markas IBF di London.
Keputusan Scheele itu “resmi” menjadikannya public enemy (musuh publik) nomor satu masyarakat bulutangkis Indonesia. Kemarahan publik Indonesia terhadapnya bertambah ketika dalam sebuah kunjungan ke Wellington tak lama setelah itu Scheele melontarkan komentar terhadap Indonesia.
“HAE Scheele mengatakan, pertandingan-pertandingan Thomas Cup ataupun Uber Cup tidak boleh lagi dimainkan di Indonesia. Dia menghentikan pertandingan Challenge Round (final) karena penonton Indonesia mengancam akan membunuh pemain-pemain Malaysia,” tulis Kompas, 14 Juni 1967.
Sementara, sidang IBF di London pada 4 Juli 1967 memutuskan, lanjutan set ketiga partai kedelapan final Thomas Cup mesti digelar di tempat netral. “Orang-orang Eropa tidak familiar dengan atmosfer (penonton) di sini. Itu alasannya kenapa mereka bereaksi seperti itu,” kenang Rudy Hartono, dikutip Bernd-Volker Brahms dalam Badminton Handbook: Training, Tactics, Competition.
Selandia Baru lalu terpilih menjadi tuan rumah pertandingan yang dihelat pada Oktober 1967 itu. “Tapi Indonesia tidak muncul. Skor menjadi 6-3 untuk kemenangan Malaysia,” ungkap Ferry Sonneville dalam biografinya Karya dan Pengabdiannya yang ditulis Wisnu Subagyo. IBF menyatakan, skor itu merujuk pada kemenangan walk out (WO) untuk Malaysia atas Indonesia.
Alhasil, Malaysia berhasil mengembalikan dominasi Thomas Cup-nya sejak 1949 sebelum direbut Indonesia, dan Indonesia gagal mempertahankan dominasi Thomas Cup yang selalu direbutnya sejak 1958. Kerugian besar itu menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Menteri Luar Negeri Adam Malik sampai ikut berkomentar. “Kita harapkan Malaysia mempunyai sportivitas. Kalau Malaysia menerimanya (trofi Thomas Cup), berarti mereka tidak sportif. Sebab pertandingan belum selesai dan kita telah memperlihatkan kebesaran jiwa kita,” katanya dikutip Kompas, 20 Juli 1967.
Toh, Malaysia dengan bangga membawa pulang Thomas Cup. Itu merupakan gelar keempatnya setelah Thomas Cup 1949, 1952, dan 1955.
Siapa Herbert Scheele?
Sebelum adanya “Insiden Scheele”, publik Indonesia jarang ada yang tahu siapa Scheele dan bagaimana dia bisa sampai dihormati dalam dunia bulutangkis. Menurut Brahms, Scheele dihormati publik bulutangkis dunia lantaran kiprahnya dalam memajukan olahraga itu.
Lahir di Bromley, Kent, Inggris pada 1905, pria bernama lengkap Herbert August Edward (HAE) Scheele itu justru lebih dulu karib dengan tenis, kriket, dan hoki. Baru pada usia 22 tahun Scheele memutuskan main bulutangkis dengan mengikuti berbagai event lokal hingga usia 43 tahun.
Scheele kemudian masuk ke jajaran pengurus bulutangkis Inggris. Kariernya terus menanjak hingga pada 1938 terpilih menjadi wakil sekretaris IBF (sejak 2006 berubah nama menjadi BWF/Federasi Bulutangkis Dunia). Usai Perang Dunia II, dia bersama koleganya membangun kembali IBF, bahkan seorang diri menyusun buku pedoman IBF setebal 400 halaman. Jabatannya naik menjadi sekretaris IBF.
Di tengah usia yang terus menua, sebagai sekretaris kehormatan dan honorary referee Scheele kerap bertindak tegas, lugas, dan saklek terhadap aturan-aturan bulutangkis dunia berdasarkan pedoman IBF yang disusunnya. “Ensiklopedia Berjalan”, “Mr. Badminton” dan beragam julukan lain pun melekat pada pria yang pernah menerima gelar Order of the British Empire (OBE) dari Kerajaan Inggris itu.
Reputasi Scheele perlahan mendapat penghormatan dari banyak pihak. “Seorang mantan pebulutangkis ternama pernah mengatakan tentang sosoknya: Di usia keemasan (sebagai pemain), kami bisa sangat tidak menghormatinya. Namun, sekarang saya sadar betapa besar kami berutang padanya. Dia Bapak Bulutangkis, tidak hanya untuk Inggris, tapi juga dunia,” kutip Richard Eaton dalam International Badminton: The First 75 Years.
Publik Indonesia sendiri akhirnya bisa memaafkan Scheele. Terlebih, para petinggi bulutangkis tanah air. Salah satu petinggi PBSI, Suharso Suhandinata, bahkan turun tangan menyelamatkan Scheele keluar dari Istora pasca keputusannya menghentikan final Thomas Cup 1967. Keesokan harinya, Suharso ikut mengantar Scheele sampai hotel dan Bandara Kemayoran.
Pada 1979, Scheele dan istrinya, Betty, mengunjungi Indonesia. Betty yang tahu kisah suaminya dalam Thomas Cup 1967, terkesan karena tak ada lagi sorakan penghinaan dari penonton Istora. “Publik (Indonesia) nampaknya sudah memaafkanmu,” celetuk Betty yang duduk di sebelah Scheele di meja honorary referee sebagaimana dimuat dalam biografi Suharso.
Scheele baru pensiun dari IBF pada 1 Juli 1976, bertepatan dengan perhelatan Thomas Cup ke-10 di Bangkok, Thailand. Namun, hidup Scheele tetap tak jauh dari bulutangkis di mana dia kemudian menjabat penasihat wakil presiden IBF.
Lima tahun berselang, 29 Maret 1981, Scheele mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Kent, Inggris karena kanker paru-paru. Namanya diabadikan dalam Hall of Fame BWF dan trofi. “Herbert Scheele Trophy mengabadikan namanya oleh BWF yang diberikan untuk figur-figur yang berjasa besar sejak 1986. Rudy Hartono (1986) dan Susi Susanti (2002) termasuk di antara para penerimanya,” tulis Brahms.