SEJAK kecil, Muhammad Hatta suka dengan sepakbola. Suatu hari, dia terlambat pulang karena bermain sepakbola. Dia pun dihukum neneknya, disuruh berdiri di bawah pohon jambu. Dia tidak boleh keluar dari garis lingkaran di sekitar pohon itu.
“Neneknya tidak mengizinkan dia sering bermain karena dia satu-satunya anak lelaki di kalangan keluarga, sehingga neneknya takut kalau Hatta main dengan teman-temannya. Kepada Hatta inilah tertumpah harapan seluruh keluarga,” tulis Solichin Salam dalam Bung Hatta: Profil Seorang Demokrat.
Hatta akhirnya bisa bebas bermain bola ketika sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau sekolah menengah pertama) di Padang. Tidak seperti ketika masih di Bukittinggi, neneknya melarang Hatta bermain bola karena cemas cucu kesayangannya cedera.
“Aku tidak boleh bermain bola, dia (neneknya, red) takut kakiku patah. Sekarang aku bebas. Aku bermain di tanah lapang dengan bola yang agak kecil, bola kulit yang dipompa. Saban sore pukul 17.00, aku sudah di tanah lapang. Kalau tidak bertanding, kami berlatih menyepak bola dengan tepat ke gawang,” kata Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku.
Hatta masuk perkumpulan sepakbola Swallow. Keahlian olah bolanya mulai terasah lantaran sering berlatih dan bermain di Plein van Rome (kini Lapangan Imam Bonjol, Kota Padang). Teman-temannya mengenal Hatta sebagai pemain bertahan yang tangguh. Sukar dilewati pemain lawan sehingga dijuluki Onpas Serbaar (sulit ditembus).
Di perkumpulan Swallow, Hatta tidak hanya menjadi pemain. Dia juga diminta kawan-kawannya sesama penghuni voorklas (kelas pendahuluan MULO) untuk menjadi bendahara. Dia dianggap cakap mengelola keuangan. Apalagi untuk bisa bermain, bolanya harus beli sendiri dari uang iuran perbulan. “Bola harus dibeli dan uang pembeliannya harus dikumpulkan berangsur-angsur dengan jalan membayar kontribusi tiap-tiap bulan,” ujar Hatta.
Hatta masih sering bermain bola meski sudah menjadi anggota Jong Sumatranen Bond (JSB). Bersama tim sepakbola asuhan JSB, Hatta berubah posisi menjadi penyerang tengah. Kendati tidak ada catatan berapa gol yang disarangkan, Hatta berhasil mempersembahkan juara Piala Sumatra Selatan tiga tahun beruntun.
Kegemarannya terhadap sepakbola tak pernah hilang meski diasingkan pemerintah Hindia Belanda ke Boven Digul, Papua. Bersama Sutan Sjahrir, Mohamad Bondan dan beberapa tahanan politik lainnya, Hatta menggelar friendly match antara pendatang baru dan penghuni lama Boven Digul pada 1935. Penghuni lama menang dengan skor 3-1.
Dalam Memoar Seorang Eks-Digulis: Totalitas Sebuah Perjuangan, Mohamad Bondan masih ingat posisi pemain pendatang baru: Marwoto sebagai penjaga gawang, di depannya berjaga dua pemain bertahan Bung Hatta dan Burhanuddin. Tiga pemain gelandang Datuk Singo di kiri, Maskun di tengah, serta Sabilal Rasad di kanan. Di depan berjejer lima penyerang yakni Suka, Bondan, Sjahrir, Lubis dan Muhidin.
Setahun berikutnya jelang Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira, mereka menggelar laga perpisahan pada 1 Februari 1936. Entah ketika itu berapa skornya dan siapa yang menang.
Seiring waktu berjalan, Hatta yang telah menjadi dwitunggal dengan Sukarno, masih terus menyukai sepakbola. Meski tidak lagi bermain, dia masih sering mengikuti beberapa pertandingan klub-klub lokal maupun tim nasional PSSI.
Pada medio Mei 1952 di Lapangan Ikada (kini Kompleks Monas) digelar pertandingan persahabatan antara PSSI melawan tim dari India, Aryan Gymkhana. Dalam laga itu, PSSI kalah dan Hatta nyaris tiada habisnya beradu argumen dengan Sukarno yang ketika itu juga nonton di tribun kehormatan.
“Begitu pertandingan usai dengan 1-0, Bung Hatta jadi agresif dan antusias membahas kekalahan PSSI yang diutarakan dengan amat sistematik dan mendetail kepada Bung Karno seperti membicarakan politik yang urgent dan rumit. Bung Karno tampak terpojok dan keteter menjawab argumentasi Bung Hatta,” kenang Guntur Sukarnoputra dalam “Nonton Bola, Apa Tafakur?” termuat dalam Pribadi Manusia Hatta.