Sebelum revolusi kemerdekaan Indonesia meletus pada 1945–1949, Soebandi adalah sopir mobil ambulans di sebuah rumah sakit di Surabaya. Perang tentu membuatnya bertambah sibuk. Soebandi bersama istrinya, Mardheyah, dan anak-anaknya tinggal di kampung Genteng, Bandar Lor, Surabaya.
“Waktu itu saya baru berumur hampir 10 tahun duduk di bangku Sekolah Rakjat kelas IV Taman Siswa, Jalan Kedungdoro di kota Surabaya,” kata salah satu anak Soebandi yang lahir pada 15 November 1935 dalam Bunga Rampai Perjuangan & Pengorbanan.
Anak Soebandi yang satu ini melihat bagaimana pesawat melintasi Surabaya dan menyampahi Surabaya dengan pamflet-pamflet yang isinya tidak dipahami olehnya karena berbahasa Inggris.
Dalam peristiwa perobekan warna biru bendera Belanda di Hotel Yamato pada 19 September 1945, bocah ini tidak ketinggalan ikut serta. Meski usianya belumlah genap 10 tahun.
“Saya pun tidak ketinggalan ikut ramai-ramai memecah kaca-kaca hotel. Hal ini sangat mungkin sebab waktu itu saya tinggal beserta nenek di mana rumah nenek ada di Genteng Bandar Lor, persis di belakang Hotel Yamato,” kata mantan bocah zaman revolusi ini.
Baca juga: Try Sutrisno dalam Simposium Anti-PKI
Sebelum ulang tahunnya yang ke-10, kotanya sudah menjadi ajang pertempuran besar yang dikenal sebagai Pertempuran 10 November. Jika pun dirayakan, ulang tahunnya harus dirayakan di pengungsian. Mardheyah dan anak-anaknya sempat mengungsi sampai ke Purwosari, Kediri, dan Jombang. Sementara Soebandi harus keluar masuk front.
Perang yang meletus di Surabaya tahun 1945 juga membuat anaknya tak bisa sekolah di Surabaya. Mereka tak masuk sekolah dari 1945 hingga 1948. Artinya pendidikan mereka jadi tertunda. Perang membuat anak laki-laki Soebandi yang berusia hampir 13 tahun itu ingin jadi tentara.
“Kemana saja saya ingin mendaftarkan saya selalu ditolak dan ditertawakan. Saya masih terlalu kecil. Tapi saya tidak putus asa, saya rintis masuk arena prajurit dengan menjadi tobang,” kata anak Soebandi itu. Tobang adalah pesuruh tentara yang bertugas membersihkan alat militer, menyiapkan makan, dan membelikan rokok untuk tentara.
Bocah ini bahkan pernah dipercaya menjadi mata-mata yang menyusup ke daerah pendudukan tentara Belanda. Terkadang ia membawa dokumen penting dan di waktu lain ia membawa obat-obatan. Biasanya ia bergerak dari Kediri ke Surabaya, di antaranya dengan berjalan kaki. Bukan jarak yang dekat. Itu dilakukannya hingga berakhirnya revolusi di akhir tahun 1949.
Setelah perang antara Indonesia dan Belanda selesai, anak Soebandi kembali ke sekolah dalam keadaan normal. Ia masuk SMP ketika umurnya hampir 15 tahun dan baru lulus SMA ketika umurnya hampir 21 tahun. Itu semua karena perang.
Baca juga: Try Sutrisno antara Raket dan Senjata
Semasa bersekolah di masa yang damai di Surabaya, ia menjadi pelajar yang cukup bagus nilainya di kelas dan jago olahraga di lapangan. Ia dikenal kawan-kawannya sebagai Cak Su.
“Di Surabaya, Cak Su-lah yang menonjol pada permainan bola, voli, bulutangkis yang ia pimpin,” kata Syaukat dalam buku terbitan Disjarahad, Jenderal Try Sutrisno Sosok Arek Suroboyo. Di masa remaja itu, Cak Su juga suka olahraga angkat besi.
Cak Su disebut-sebut pula sebagai cowok idola Surabaya era 1950-an. Gadis di Yogyakarta bahkan kesengsem padanya. Rupanya ketika SMA, pergaulannya tidak hanya di kota Surabaya. Ia juga menjalin pertemanan sampai ke luar kota.
Setelah masa SMA berlalu, Cak Su alias Try Sutrisno, kembali ke dunianya ketika masih remaja. Setelah tahun 1956 ia masuk Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad) di Bandung. Ia menjadi perwira pada 1959. Seperempat abad kemudian, ia menjadi jenderal.
Try Sutrisno pernah menjadi Panglima ABRI dan kemudian Wakil Presiden Republik Indonesia. Laki-laki yang kini berusia 87 tahun ini kesehatannya sempat menurun. Keadaannya membaik setelah dirawat di RSPAD Gatot Subroto.*