MANTAN Wakil Presiden Try Sutrisno mengatakan dia heran dan gelisah dengan apa yang terjadi belakangan ini: beredar buku-buku Marxisme, penggunaan atribut palu arit, gugatan terhadap TAP MPRS No. XXV/1966 tentang pelarangan PKI, dan internasionalisasi peristiwa 1965 melalui Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal) di Den Haag, Belanda.
“PKI adalah ideologi terlarang. PKI telah berkali-kali mengadakan pemberontakan (1926, 1948, dan 1965),” kata Try Sutrisno yang menjadi keynote speaker dalam simposium “Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain” di Balai Kartini, Jakarta, 1 Juni 2016.
“Jika kita diminta mengabsahkan pemberontakan PKI, kita harus menolak. Berantas!” tegas Try Sutrisno.
Menurut Try Sutrisno, korban prahara 1965 dari kelompok PKI saat ini telah mendapatkan kembali hak-hak sipilnya: sosial, politik, dan ekonomi. Karena itu dia menolak rekonsiliasi, apalagi permintaan maaf dari negara. Try Sutrisno mengakui bahwa korban-korban tapol (tahanan politik) yang diasingkan ke Pulau Buru tidak terindikasi dalam peristiwa 1965. Namun langkah itu dianggapnya tetap perlu dengan dalil pengamanan mereka dari amuk massa. “Di Buru dilindungi agar tidak mendapat serangan,” ujarnya.
Try Sutrisno juga menegaskan bahwa peristiwa G30S 1965 adalah pemberontakan PKI. Dia mengklaim buku Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya karya Nugroho Notosutanto merupakan literatur paling sahih yang menjelaskan peristiwa 1965. Buku yang terbit pada 1994 itu diterbitkan Sekretariat Negara dan menjadi sumber resmi pemerintah saat itu. Menurutnya, buku tersebut layak diterbitkan ulang dan disebarkan seluas-luasnya.
“Siapa yang menyebut G30S tanpa PKI, tidak pakai ini (menunjuk kepala), berarti dia mata-mata. Plin-plan,” tandas Try Sutrisno.
Letjen (Purn) Kiki Syahnakri, ketua simposium, dalam sambutannya menyatakan ada pihak-pihak yang sengaja menyebabkan kegaduhan dengan mengangkat wacana pengungkapan kebenaran tragedi 1965. “Ada pihak yang menginginkan Indonesia tidak stabil lewat isu-isu HAM,” ujarnya. Kiki mecemaskan, jika hal ini dibiarkan tanpa ada upaya serius untuk menghadapinya dapat dipastikan Pancasila dan NKRI akan tinggal fosil, menjadi sejarah.
Menurut Kiki, rekonsiliasi terhadap para korban PKI secara alamiah sudah lama berlangsung sehingga rekonsiliasi formal dianggap tidak diperlukan. “Minta maaf kepada korban PKI pun keliru. Emangnya PKI tidak berdarah, emangnya tangannya tidak kotor? Umat Muslim, TNI Angkatan Darat, apa tidak menjadi korban PKI dulu? Keliru kalau hanya menuntut satu pihak,” ujar Kiki.
Sementara itu KH Cholid Ridwan, ketua Majelis Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), dengan tegas menolak permintaan maaf dari negara untuk korban PKI 1965. Menurutnya hal yang sama juga harus dilakukan terhadap pembantaian ulama yang terjadi saat peristiwa Madiun 1948.
“Tiada maaf bagimu. Kalau negara minta maaf, kita jihad!” seru Cholid Ridwan.
Seruan takbir dari seluruh hadirin membuka sesi pertama simposium itu.
[pages]