Meletusnya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Barat membuat tentara di Jawa menjadi sibuk. Pasukan pemukul harus dikirimkan, di antaranya pasukan dengan keahlian terjun payung seperti yang dipimpin Letnan Leonardus Benjamin Moerdani. Meski sebelumnya belum pernah latihan terjun payung, Benny Moerdani memimpin perebutan lapangan udara Pekanbaru.
Ketika itu, Try Sutrisno masih menjadi taruna Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad) di Bandung. Buku Jenderal Try Sutrisno Sosok Arek Suroboyo menyebut Try juga pernah bertugas sebagai taruna di Sumatra Barat yang sedang bergejolak karena PRRI.
Try Sutrisno bukan perwira jago perang. Ia tipe pemimpin yang cerdas. Ketika baru datang di Sumatra Barat, ia ditanya pemuda di sana tentang apa yang akan dilakukannya.
“Saya sedang mencari saudara saya yang hilang,” jawab Try Sutrisno. Pemuda itu bertanya lagi, “Kalau mau mencari saudara kenapa mesti bawa senjata?”
“Kami ini kan tentara, tentu saja ke mana-mana harus bawa senjata,” jawab Try.
Baca juga: Try Sutrisno Jadi Tobang Dulu Baru Tentara
Menurut Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto, Try dan Benny sudah berkawan sejak di Bandung. Ketika itu Try menjadi sersan taruna. Sementara Benny sudah berpangkat letnan.
Try dan Benny sama-sama dari Jawa, namun berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda. Try punya latar belakang santri dalam riwayat keluarga ibunya. Sementara Benny dari ibunya adalah seorang Kristen. Benny dari keluarga pegawai kereta api, sedangkan Try dari keluarga supir ambulan.
Sejak 1 Oktober 1959, Try menjadi perwira zeni Angkatan Darat berpangkat letnan dua. Ia mula-mula bertugas di Sumatra Selatan. Di masa Operasi Trikora, Mayor Benny memimpin Operasi Naga. Try juga ikut serta dalam operasi pembebasan Irian Barat itu.
Dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan II, Try mengaku ingin ikut misi khusus yang dipimpin Benny Moerdani. Namun, ia kemudian diberi tugas yang sesuai dengan bidangnya.
“Pak Harto tahu persis tentang Pak Try pada waktu membuat Lapangan Terbang Kendari, Sulawesi Tenggara,” ujar Tuti Sutiawati, istri Try Sutrisno, dalam Ibu Tien Soeharto dalam Pandangan dan Kenangan Para Wanita: Rangkaian Melati.
Baca juga: Try Sutrisno Harapan Djatikusumo
Atas perintah Kolonel Dandy Kadarsan, Try ikut dalam usaha membangun lapangan terbang di Kendari, Ambon, dan Kupang. Pada masa Operasi Trikora itu, Try dan Benny bertemu di sebuah pulau kecil.
Meski dapat Bintang Sakti karena Trikora, Benny keluar dari RPKAD setelah berseteru dengan atasannya. Benny masuk Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang dipimpin Mayor Jenderal TNI Soeharto, yang sebelumnya memimpin Operasi Mandala dalam Operasi Trikora. Benny lalu menjadi perwira intelijen di bawah Ali Moertopo.
Try sendiri terus berkarier sebagai perwira zeni hingga tahun 1974. Ia pernah menjadi wakil komandan batalyon zeni tempur Amfibi dan komandan batalyon zeni tempur para, sebelum menjadi ajudan Presiden Soeharto.
“Sama sekali saya tidak menduga akan dipilih menjadi ajudan Pak Harto pada tahun 1974. Setiap ajudan presiden harus bisa berpikir dan bertindak cepat, serta menyiapkan segala sesuatu dengan tepat dan cermat,” tutur Try Sutrisno dalam Pak Harto: The Untold Stories. Try banyak belajar dari Soeharto. Soeharto juga cukup perhatian kepada Try. Ajudan presiden biasanya berpangkat kolonel.
Baca juga: Benny Moerdani, Penjaga Setia Penguasa Orde Baru
Setelah peristiwa Malari atau Malapetaka 15 Januari 1974, Benny pulang dan dijadikan Kepala Satuan Tugas Intelijen di Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) merangkap Ketua Gabungan 1 (G-1) di Departemen Pertahanan dan Keamanan (Hankam). Setelahnya, ia merangkap banyak jabatan intelijen, seperti kepala Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat) merangkap Asisten 1 Hankam dan Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin).
Try menjadi ajudan Presiden Soeharto sampai tahun 1978. Ketika Try tak jadi ajudan lagi, Benny pernah hendak menariknya masuk intelijen strategis ABRI. Salim Said menyebut karier Try yang berasal dari zeni akan suram alias sulit mencapai pucuk pimpinan di Angkatan Darat, yang biasanya diisi oleh perwira yang berasal dari infanteri.
Rupanya Soeharto punya rencana. Try tidak hanya diberi kenaikan pangkat, tapi juga dijadikan Kepala Staf Kodam Udayana hingga tahun 1979. Jabatan itu biasanya diisi seorang Brigadir Jenderal TNI. Try kemudian menjadi Panglima Kodam Sriwijaya dari 1979 hingga 1982. Seorang Pangdam biasanya berpangkat Mayor Jenderal TNI.
Baca juga: Pembersihan Setelah Pembantaian di Tanjung Priok
Setelah itu, Try memimpin Kodam Jaya (Jakarta Raya) hingga tahun 1985. Pada masanya meletus Peristiwa Tanjung Priok tahun 1984. Peristiwa berdarah itu tidak membuat karier Try hancur.
Menurut catatan Siapa Dia Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, pada 21 Agustus 1985, Try bahkan dijadikan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) dan pada 18 Juni 1986 Try menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Ketika Peristiwa Tanjung Priok meletus, Benny sudah menjadi Panglima ABRI sejak 1983 hingga 1988. Setelah Benny, jabatan Panglima ABRI diisi oleh Try Sutrisno. Prediksi Benny atas masa depan karier Try di ABRI akan suram meleset.
Benny sendiri bisa jadi pernah salah dalam memprediksi kariernya. Sebagai orang yang tidak pernah menjadi Komandan Brigade dan Panglima Kodam, Benny bisa saja pernah merasa kariernya akan mentok di jabatan intelijen militer dan tidak akan menjadi Panglima ABRI. Semua berkat Soeharto.
“Kekuatan dan kontrol Soeharto atas ABRI terbukti telah menjadikan apa yang hampir tidak mungkin menjadi sangat mungkin,” tulis Salim Said. Termasuk menjadikan Try yang bukan infanteri, Benny yang tak pernah jadi Panglima Kodam, bahkan M. Jusuf yang 14 tahun jadi menteri di luar pertahanan dan keamanan, menjadi Panglima ABRI.*