Try Sutrisno merintis masuk dunia tentara dengan menjadi tobang pada masa revolusi kemerdekaan. Tobang adalah pesuruh tentara yang bertugas membersihkan alat militer, menyiapkan makan, dan membelikan rokok untuk tentara. Tak hanya itu, ia bahkan pernah dipercaya menjadi mata-mata yang menyusup ke daerah pendudukan tentara Belanda.
Setelah perang kemerdekaan selesai, anak Soebandi itu kembali ke sekolah. Bermodal ijazah SMA bagian B (ilmu pasti dan ilmu alam) di Surabaya, Try Sutrisno kembali ke dunia tentara. Ketika ia masih SMA, Akademi Militer di Magelang belum dimulai. Ia pun mendaftar masuk ke sekolah calon perwira Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad) di Bandung.
“Kesan yang mendalam waktu saya mengikuti testing untuk menjadi calon taruna di Bandung, saya ditelanjangi (hanya pakai celana dalam) di depan Bapak Djatikusumo sendiri (melihat postur tubuh) serta diinterviu beliau. Waktu itu saya terus terang dan mengaku anak rakyat biasa bukan dari golongan ningrat atau priayi,” kata Try Sutrisno. Kala itu Kolonel Djatikusumo menjabat Kepala Direktorat Zeni.
Baca juga: Try Sutrisno Jadi Tobang Dulu Baru Tentara
Rupanya hasil tes itu mengecewakan pemuda asal Surabaya ini. Buku terbitan Disjarahad, Jenderal Try Sutrisno Sosok Arek Suroboyo menyebut ada struktur tulang yang tidak proporsional (salah satu bahu tampak lebih tinggi) yang ditemukan dalam tes tersebut. Itu terjadi karena dirinya latihan angkat besi ketika remaja. Ia pun dianggap tidak lulus.
Namun, Kolonel Djatikusumo, mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pertama, melihat ada sesuatu yang hebat pada Try Sutrisno. Ketika nama Try Sutrisno tidak muncul dalam daftar calon taruna, Djatikusumo memanggilnya untuk ikut pendidikan calon perwira zeni di Atekad.
Baca juga: Try Sutrisno dalam Simposium Anti-PKI
Menurut Salim Salid dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto, ketika di Bandung, Try Sutrisno berkenalan dengan seorang perwira muda dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Ia adalah Letnan Satu Leonardus Benjamin Moerdani yang dikenal sebagai Benny Moerdani. Kala itu pemuda ini masih berpangkat sersan taruna di Atekad. Mereka menjadi sahabat.
Tak hanya dengan Benny, ketika masih menjadi taruna, Try Sutrisno juga berkenalan dengan seorang wanita saat sedang plesir ke alun-alun Bandung. Gadis bernama Tuti Sutiawati itu putri dari seorang guru bernama Haji Sukarna Prawira dengan Hajah Hasanah. Tuti sendiri juga seorang guru.
Setelah dua tahun menjadi perwira, Try Sutrisno menikahi Tuti pada 21 Januari 1961. Pasangan itu memiliki tujuh anak. Ia beruntung karena istri dan ibu dari anak-anaknya adalah seorang guru. Di antara anak-anaknya belakangan ada yang menjadi jenderal, yaitu Mayor Jenderal TNI Kunto Arief Wibowo (Pangdam III/Siliwangi) dan Inspektur Jenderal Pol. Firman Santyabudi (Kepala Korps Lalu Lintas Polri). Selain itu, Try juga punya mantu yaitu Jenderal TNI Ryamizard Ryachudu. Anak Brigadir Jenderal TNI Musannif Ryachudu ini pernah menjabat KSAD dan Menteri Pertahanan.
Try Sutrisno menjadi taruna yang menonjol dan akhirnya lulus. Tentu saja ia lulus mendahului adik kelasnya, Pierre Tendean, yang belakangan menjadi ajudan Jenderal TNI AH Nasution dan dikenal sebagai Pahlawan Revolusi.
“Tepat tanggal 1 Oktober 1959 saya dan rekan-rekan taruna dilantik oleh Bapak Presiden, untuk diwisuda menjadi perwira dengan pangkat Letnan Dua Zeni. Setelah mengikuti aplikasi satu tahun, pada tahun 1960 tugas pertama kali saya menjabat danton Zipur 2 (komandan peleton Zeni Tempur 2) di Palembang (Kodam Sriwijaya),” kata Try Sutrisno.
Baca juga: Try Sutrisno antara Raket dan Senjata
Panglima Kodam Sriwijaya kala itu Kolonel Harun Sohar di Palembang mendapat kunjungan dari Brigadir Jenderal TNI Djatikusumo. Nama Try Sutrisno disebut dalam pertemuan dua perwira penting Angkatan Darat itu.
“Kutitipkan Letda Try Sutrisno kepadamu. Arahkanlah ia sebagai kader untuk pengganti kita yang sudah tua,” kata Djatikusumo kepada Harun Sohar.
Dalam kariernya, pemuda Try Sutrisno tidak hanya bercokol di Palembang dan sekitarnya. Langkahnya cukup jauh.
Belakangan pemuda harapan Djatikusumo ini terlibat operasi militer penting seperti Trikora. Ia tak hanya pernah jadi komandan batalyon zeni di Jawa Timur. Setelah menjadi ajudan Presiden Soeharto, ia sempat menjadi Kepala Staf Kodam Udayana, lalu kembali lagi ke Palembang pada 1979 sebagai Panglima Kodam Sriwijaya.
Setelah menjadi KSAD seperti Djatikusumo, Try Sutrisno sempat menjadi Panglima ABRI dan akhirnya menjadi Wakil Presiden dari 1993 hingga 1998. Terbukti Djatikusumo tak salah pilih orang.*