Seorang pemuda Jawa, Mas Soemitro, tiba di Negeri Belanda pada 1914 bersama mantan asisten residen Belanda yang tinggal di Utrecht. Setahun sebelumnya, Mas Soepardji tiba di Belanda bersama istri asisten residen itu.
“Kepada orang tua kedua pemuda itu, asisten residen berjanji akan menyekolahkan mereka di Negeri Belanda untuk menjadi pengawas pekerjaan umum, tetapi ternyata mereka dimanfaatkan sebagai pembantu rumah tangga,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda.
Mas Soemitro dan Mas Soepardji kemudian melapor ke pihak berwenang. Dewan Perwalian pun turun tangan. Sehingga mereka terbebas dari mantan asisten residen itu. Atas permintaan mereka, Dewan Perwalian mengirim keduanya ke Kampen atau sekolah pendidikan bintara.
Baca juga: Kisah Taruna Indonesia dalam Angkatan Laut Belanda
Mas Soemitro dan Mas Soepardji berasal dari keluarga priayi Jawa. Menurut Staatsblad van het Koninkrijk der Nederlanden, Staatsdrukkerij en Uitgeverijbedrijf tahun 1957, Mas Soepardji lahir di Pati, Jawa Tengah, 1 Agustus 1898.
Sementara Mas Soemitro, berdasarkan arsip yang tersimpan di The Utrecht Archives, adalah anak dari pasangan Mas Reksodirdjo dan Raden Roro Sitimaemonak. Menurut Regionaal Archief Nijmegen, Mas Soemitro lahir pada 14 Agustus 1898.
Ketika tiba di Negeri Belanda, usia mereka sekitar 16 tahun dan sudah pernah sekolah dasar berbahasa Belanda. “Mereka sebenarnya ingin sekali menjadi perwira, tapi pendidikan mereka sebelumnya tidak mencukupi, hingga dua kali mereka ditolak mengikuti pendidikan itu,” tulis Poeze. Mereka berdua tampaknya bukan lulusan HBS yang bisa diterima di akademi militer kerajaan Belanda di Breda.
Baca juga: Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Pertama Nazi
Tak bisa jadi letnan, jadi sersan pun akhirnya mereka lakoni. Bagi sebagian orang Jawa berpendidikan rendah menjadi sersan setidaknya akan hidup berkecukupan, meski sebagian priayi memandang hina profesi tentara Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL). Peluang menjadi Koninklijk Landmacht (KL) alias Angkatan Darat Kerajaan Belanda juga terbuka untuk mereka.
Setelah bertugas belasan tahun, Mas Soemitro akhirnya menemukan jodohnya, seorang wanita Belanda bernama Wilhelmina Catharina Kluvers. Usia Mas Soemitro sekitar 33 tahun dan istrinya berusia 28 tahun ketika menikah pada 14 Juli 1932 di Utrecht, kampung halaman istrinya. Pangkat Soemitro masih sersan kelas satu di Resimen Infanteri ke-16 tahun 1938. Dia tetap menjadi tentara Belanda sampai pecah Perang Dunia II.
Baca juga: Para Pemuda Indonesia yang Melawan Nazi
Ketika tentara Nazi-Jerman menduduki Negeri Belanda, Mas Soemitro dan istrinya tinggal di Soest, Utrecht. Mas Soemitro terlibat dalam gerakan bawah tanah melawan tentara Nazi-Jerman. Namun, pada musum semi tahun 1943, dia terjatuh dari trem. Dia terluka cukup parah hingga meninggal dunia pada 26 Januari 1944. Mas Soemitro dikenang oleh Kerajaan Belanda sebagai pejuang perlawanan (verzet) terhadap Nazi-Jerman.
Sementara itu, kawan sependeritaannya, Mas Soepardji, tidak banyak catatan tentangnya, kecuali belakangan dia menjadi ajudant (pembantu letnan). Akhirnya, dia punya nama belakang De Patier karena berasal dari Pati, Jawa Tengah.*