Masuk Daftar
My Getplus

Seorang Menak di Garis Depan

Di era revolusi, dia membentuk sebuah pasukan. Dikenal sebagai seorang priyayi pejuang yang sebagian hidupnya dihabiskan di medan perang.

Oleh: Hendi Johari | 12 Mar 2019
Mayor Achmad Wiranatakusumah (tengah) didampingi para staf Yon Siluman Merah. (Sumber: Letjen TNI (Achmad Wiranatakusumah, Komandan Siluman Merah karya Aam Taram, R.H. Sastranegara dan Iip D.Yahya)

SEJARAWAN Rushdy Hoesein mengenang Achmad Wiranatakusumah sebagai sosok yang menyenangkan. Sebagai narasumber sejarah, Achmad hampir tak pernah menyimpan rahasia tentang segala sesuatu yang pernah dialami dalam hidupnya. Terutama yang terkait dengan kiprah menak Sunda itu di era revolusi.

“Saya ingat sebulan sekali dia kerap mengundang saya untuk sekadar sarapan pagi sambil bercerita di sebuah hotel di Jakarta,” ujar Rushdy.

Kendati seorang priyayi, Achmad dikenal sebagai seorang egaliter. Lahir di Bandung pada 11 Oktober 1925, putra pertama dari Dalem Bandung R.A.A. Haji Muharam Wiranatakusumah dengan Raden Ayu Sangkaningrat itu sejak remaja bergaul dengan siapa saja tanpa memilah-milah kasta. Bisa jadi itu disebabkan oleh pengaruh sang ibu yang seorang nasionalis sekaligus tokoh perempuan Sunda yang merakyat.

Advertising
Advertising

“Dia cerita kepada saya bahwa kebenciannya kepada kolonialisme karena cerita-cerita ibunya,”ungkap Rushdy.

Membentuk Pasukan

Menginjak usia remaja, Achmad bersama saudara dan kawan-kawannya mendirikan sebuah organisasi kepanduan bernama PJT (Padjadjaran Jeugd Troep). Berbeda dengan organisasi kepanduan lainnya di era itu, PJT lebih mengutamakan ketrampilan militer bagi para anggotanya. Secara rutin, PJT mempelajari  cara menggunakan senjata, taktik pertempuran dan survival.

Baca juga: Liga Pemuda Pramuka

“Achmad menyewa seorang sersan Belanda bernama Schouten untuk melatih kemiliteran,” tulis Aam Taram, R.H. Sastranegara, Iip D. Yahya dalam Letjen TNI (Purn) Achmad Wiranatakusumah: Komandan Siluman Merah.

Saat militer Jepang menyerang Jawa pada Maret 1942, PJT diperbantukan sebagai pasukan bantuan. Tugas utama mereka adalah memantau pergerakan tentara Jepang di sekitar Bandung. Saat itulah, Achmad sempat memergoki sepasukan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) yang sudah putus asa dan membuang senjata-senjata itu ke sungai.

“Setelah prajurit-prajurit KNIL itu pergi, Achmad dan kawan-kawannya kemudian mengambil senjata-senjata tersebut dan kemudian menyembunyikannya di beberapa gua dan sebagian dikubur di tempat-tempat tersembunyi,”tutur Rushdy.

Singkat cerita, pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada militer Jepang. Achmad sendiri sempat ditahan oleh Bepang, sejenis unit intelijen militer Jepang, karena ketahuan menyembunyikan senjata. Untunglah senjata-senjata tersembunyi yang diketahui militer Jepang itu hanya sebagian kecil saja. Sebagian besar tetap ada di tempat aman.

Senjata-senjata itu baru dibongkar oleh Achmad ketika militer Jepang sudah bertekuk lutut kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Bermodalkan senjata-senjata itulah, Achmad membentuk sebuah pasukan di Ciwideuy pada 7 Oktober 1945, lengkap dengan seragamnya yang terbuat dari karung goni “kualitas terbaik”. Karena seragam unik itulah ketika pasukan Achmad berbaris menuju Soreang, Bandung, orang-orang menjulukinya sebagai “Pasukan Karung”.

Sejarah mencatat Pasukan Karung kemudian banyak terlibat dalam kontak senjata melawan tentara Jepang dan tentara Sekutu di Bandung. Akhir 1946, saat proses evakuasi para prajurit Jepang dan masalah para interniran (tawanan Jepang) sudah selesai, pasukan ini juga terbilang aktif menyerang kedudukan pasukan Belanda. Termasuk ketika mereka menyandang nama baru: Batalyon 26 Brigade Guntur Divisi Siliwangi.

Baca juga: Hijrah Sang Maung

Batalyon Siluman Merah

Selaku seorang komandan, Achmad tak pernah absen di garis depan. Kendati sangat dekat dengan para prajuritnya, namun layaknya saat memimpin PJT, tradisi disiplin tetap berlaku tanpa kompromi. Karena itu tak heran jika Batalyon 26 yang dipimpin Mayor Achmad Wiranatakusumah diperhitungkan oleh militer Belanda.

Para serdadu Belanda mengenal batalyon yang dipimpin Achmad sebagai suatu pasukan yang tak pernah terdeteksi ketika akan menyerang. Pada saat lengah, secara mendadak mereka muncul dengan serbuan yang dasyat dan mematikan. Namun sebelum pasukan Belanda sadar dan bisa berkoordinasi, anak buah Achmad sudah menghilang. Itulah yang menyebabkan militer Belanda menjuluki pasukan Achmad sebagai pasukan siluman.

Menghadapi gerakan Batalyon 26 di wilayah Soreang dan sekitarnya, militer Belanda tak mau lagi kecolongan. Mereka lantas berinsiatif memburu kedudukan pasukan Achmad dengan dukungan banyak pasukan dan persenjataan lengkap nan mutakhir. Akibatnya, Batalyon 26 harus mundur ke Gunung Sadu.

Di Gunung Sadu, Achmad lantas menasbihkan nama pasukannya dengan nama “Siluman Merah”. Kata “merah” ditambahkan oleh Achmad dari Red Devil. Itu nama kesatuan baret merah resimen pasukan para Inggris. Sebagai lambang, dipilih gambar kepala siluman berwarna merah dengan dasar bintang kuning dan latar hijau. Ster (lambang bintang) mengikuti lambang 2rd Infantry Division Indianhead. Bedanya simbol kesatuan itu yang berupa kepala ketua suku Indian diganti dengan kepala siluman merah yang digambar oleh seorang prajurit Batalyon 26 bernama Oyo Kartawilaya. (Bersambung).

Baca juga: Sepakterjang Batalyon yang Hilang

 

 

 

TAG

sejarah-divisi-siliwangi sejarah-militer TNI

ARTIKEL TERKAIT

Sejarah Prajurit Penyandang Jenderal Kehormatan, dari Sri Sultan hingga Prabowo Subianto Kisah Kaki Prabowo Muda Jenderal-jenderal Madura Arief Amin Dua Kali Turun Pangkat Strategi Napoleon di Balik Kabut Austerlitz Soeyono Apes Setelah Kudatuli Suluh Dumadi yang Membela Nasution Dianggap PKI, Marsudi Dibui Komandan AURI Pantang Kabur Menghadapi Pasukan Gaib