Kolonel Suluh Dumadi berang. Sebagaimana Jenderal Soemitro yang ada di dekatnya, mantan Deputy I Badan Kordinasi Intelijlen (BAKIN) itu tak terima ada orang menjelek-jelekkan Jenderal Abdul Haris Nasution.
Kejadian itu terjadi pada masa awal Orde Baru. Saat itu, terdapat sebuah lembaga studi yang di dalamnya kebetulan terdapat peneliti-peneliti yang masih punya darah asing, yang sering disebut sebagai “Non-Pribumi” atau “nonpri”. Suatu kali, mereka berada di kantor BAKIN.
Soemitro mendegar cerita kumpul-kumpul itu dari anak buah Mayor Jenderal Ali Moertopo, rival Soemitro. Ali Moertopo adalah pejabat BAKIN yang pernah menjadi kepala Operasi Khusus (OPSUS) alias orang kepercayaan Presiden Soeharto.
“Kelompok Nonpri di lembaga tersebut semakin besar kepala taktala menyebut Nasution sebagai pengkhianat, alasannya Nasution menentang Pak Harto,” kisah Soemitro dalam Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari '74.
Soemitro dan Suluh Dumadi yang berada di dalam sebuah ruangan pun jengkel mendengar para peneliti itu menjelek-jelekkan Jenderal Nasution. Semua tahu Nasution adalah pendiri Orde Baru baru juga. Berkat Nasution pula Soeharto akhirnya bisa berkuasa sebagai presiden.
“You bilang sekali lagi saya tempeleng nanti,” kata Suluh Dumadi kepada peneliti yang bilang Nasution pengkhianat.
Suluh Dumadi tahu bagaimana Nasution membesarkan TNI. Seorang junior biasanya pantang mendengar senior yang dihormatinya dihina. Dalam konflik antara Sutopo Juwono dan Ali Moertopo di BAKIN, Suluh Dumadi termasuk yang berada di kubu Sutopo. Mereka punya kesamaan masa lalu, pernah dididik Jepang dan di badan intel sejak awal kemerdekaan.
Pada 1943, Suluh Dumadi diterima sebagai calon perwira tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Dia kemudian ditempatkan di Salatiga. Kesatuannya adalah Ico Kinmu Tau 1602 Butai. Pangkatnya di PETA pun sebelum 17 Agustus 1945 sudah Shodancho (komandan peleton). Namun setelah 14 Agustus 1945, ketika Jepang menyerah kalah kepada Sekutu, dirinya mudik ke Keresidenan Madiun, kampung halamannya.
Pria kelahiran Maospati 10, Januari 1926 ini kemudian masuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) Madiun yang dipimpin Residen Madiun Soemantri. Sebagai anggota BKR, Suluh ikut melucuti tentara Jepang di Maospati dan Saradan. Darinya pejuang Republik Indonesia di sekitar Madiun punya lebih banyak senjata.
“Seterusnya saya diangkat sebagai Kepala Persenjataan Resimen Soemantri, beberapa saat saya berhenti, tetapi tak lama kemudian saya dipanggil Markas Besar Umum di Yogyakarta dan diangkat menjadi Kapten Tentara Keamanan Rakyat (TKR),” aku Suluh Dumadi dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan III.
Suluh lalu ditunjuk memimpin pelatihan intel di Perkebunan Kopi Rowoseneng, Jawa Tengah. Ketika Magelang diduduki tentara Sekutu, pelatihan intel yang dipimpinnya pun pindah ke Plaosan, Madiun.
Ketika kemudian Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI) berdiri, Suluh ditunjuk memimpin salah satu satuan Field Preaparation (FP). FP merupakan sebuah satuan di dalam BRANI yang dipimpin Kolonel Zulkifli Lubis, kerabat sekaligus rival AH Nasution di era 1950-an.
Setelah pangkatnya diturunkan menjadi Letnan Satu, Suluh bersama satuannya pindah ke Jawa Barat dari Jawa Tengah. Mereka sempat terlibat pertempuan di Dayeuhkolot dan Cilampani, ketika tentara Sekutu menyebu Bandung. Sebagai komandan satuan FP di sana, dia memimpin pertempuran di sana. Suluh dan pasukannya kemudian mundur ke Tasikmalaya.
“FP bergabung ke dalam Komando Pangkalan IV (Mayor Umar Bahsan Almarhum) di Tasikmalaya selatan. Tugas saya tetap sebagai intel,” kenang Suluh.
Pada akhir 1947, Suluh kembali ke Yogyakarta. Pangkatnya kembali turun dari Letnan Satu menjadi Letnan Dua.
Bekas FP kemudian masuk ke badan intelijen Kementerian Pertahanan V (KP-V). Badan intel yang dipimpin Kolonel Abdul Rachman itu hanya berumur pendek, dari akhir 1947 sampai awal 1948. Suluh kemudian masuk ke Staf Umum Angkatan Darat I (SUAD-I). Di sini dia dibawah pimpinan Kolonel Zulkifli Lubis lagi.
“Dalam SUAD-I inilah saya melatih kader-kader intel untuk seluruh daerah pendudukan Jawa. Setelah selesai melatih, saya ditugaskan memegang wilayah yang diduduki musuh (Belanda). Pegangan saya meliputi Semarang, Pekalongan, dan Purwokerto,” aku Suluh, yang bekerja di bawah Kolonel Bambang Sugeng.