SUATU siang 73 tahun yang lalu, Atjep Abidien tengah berjalan di atas pematang sawah ketika sebuah truk militer tertutup berhenti di depan-nya. Alih-alih menghindar, dia malah langsung bersembunyi di balik semak-semak. Sebagai anggota gerilyawan Republik, keingintahuannya lebih besar dibanding ketakutannya saat melihat kendaraan militer Belanda yang mencurigakan itu.
Benar saja, begitu berhenti di depan hutan Cigunung Putri (masuk wilayah Kecamatan Takokak, Cianjur), tiga prajurit berbaret hijau dengan senjata terkokang, keluar dari truk tersebut. Mereka terdiri dari dua orang bule dan seorang pribumi.
“Saya tahu salah satu dari bule itu adalah algojo Belanda yang terkenal paling bengis. Namanya Werling,” kenang lelaki kelahiran tahun 1925 itu.
Werling dan kedua kawannya lantas menurunkan 15 lelaki berpakaian sipil secara kasar. Mereka terdiri dari remaja dan orang dewasa yang semuanya diikat secara bersambung, membentuk satu barisan ke belakang. Kepasrahan terlihat di wajah-wajah itu.
Baca juga:
Kisah Pembantaian di Cianjur Selatan
Menurut Atjep yang mengawasi semua adegan itu dari semak-semak, kelompok pesakitan tersebut kemudian digiring ke dalam hutan. Begitu orang-orang itu memasuki hutan, 15 menit kemudian terdengar rentetan tembakan.
“Orang-orang itu memang ditembak mati. Saya tahu, karena setelah situasi aman, saya menemukan mayat-mayat mereka di sebuah tempat bernama Jalan Lima,” ungkap Atjep.
Banyak kalangan yang menyebut jika Werling yang disebut Atjep tak lain adalah Kapten R.P.P. Westerling alias De Turco’s (Si Turki), komandan Depot Pasukan Khusus (DST) yang pernah menumpahkan darah di Sulawesi Selatan pada akhir 1946 dan awal 1947. Salah satunya yang meyakini itu adalah Yusup Soepardi, eks anggota Batalyon Kala Hitam Divisi Siliwangi.
“Pasukan Baret Hijau (DST) yang dipimpin Westerling memang pernah bermarkas di Nyalindung (sekira 15 km dari Takokak) pada 1947-1948,” ujar eks gerilayawan Republik yang pernah aktif berjuang di wilayah Takokak itu.
Baca juga:
Menurut Remy Limpach dalam Kampung-kampung yang Dibakar Jenderal Spoor, akhir Februari 1947 Westerling dan 123 anak buahnya dipulangkan ke Jawa setelah menyelesaikan operasi pembersihan yang sukses di Sulawesi Selatan.
Belum jelas benar, di mana tepatnya Westerling ditempatkan usai dari Sulawesi Selatan. Yang jelas menurut beberapa kesaksian para pejuang Republik, dia selalu terlihat bersama pasukannya di wilayah Jawa Barat. Terutama di wilayah Cianjur Selatan dan Bandung Barat (Batujajar, Cililin serta Gunung Halu)
“Musuh yang kami hadapi adalah KST (pengganti nama DST) pimpinan Kapten Westerling…,” ujar Soegih Arto (eks komandan Batalyon 22 Djaja Pangrerot di wilayah Bandung Barat) dalam otobiografinya, Saya Menulis Anda Membaca: Pengalaman Pribadi Letjen (Purn) Soegih Arto.
Peneliti sejarah dari Historika Indonesia V.R. Nayoan membenarkan informasi Soegih Arto. Mengacu kepada bukunya Dominique Venner, Westerling: De Eenling (Westerling Sang Penyendiri), dia menyebut selain di wilayah Cililin, Batujajar dan Gunung Halu, Westerling pun menyebut pernah beroperasi di Karawang.
“Di kesempatan lain, dia juga menyatakan pernah bertugas di Cibarusah (perbatasan Cianjur-Bekasi),” ujar Nayoan.
Baca juga:
Di Gunung Halu, KST bahkan pernah melakukan praktek kekerasan dan aksi pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan muda. Itu disaksikan sendiri oleh Soegih Arto yang saat itu berada di suatu bukit yang tak jauh dari lokasi kejadian.
“Rasanya masih terdengar jelas jeritan dari para perempuan yang diperkosa itu…” ungkap Soegih Arto.
Soegih sendiri mengaku tidak bisa berbuat apa-apa. Selain jumlah pasukannya lebih sedikit dan kalah persenjataan, dia pun lebih mengkhawatirkan keselamatan ratusan orang kampung lainnya yang tengah ditawan pasukan Baret Hijau tersebut. Menurutnya posisi orang-orang kampung lainnya (termasuk anak-anak dan orang tua) persis ada di tengah kumpulan para prajurit KST.
Tidak terima dengan perlakuan sadis anak buah Westerling itu, pasukan Djaja Pangrerot sempat tergerak untuk melakukan aksi balas dendam. Ceritanya, suatu hari, seorang telik sandi Republik memberitahu Soegih bahwa Westerling akan melewati suatu jalan di Gunung Halu. Maka disusunlah rencana penghadangan.
Baca juga:
Begitu tiba waktu-nya, anak buah Soegih sudah bersiap di suatu bukit kecil. Dari kejauhan nampak sebuah jip militer berjalan dalam kecepatan tinggi. Saat lewat di titik penghadangan, tembakan gencar pun dilepaskan. Lantas terjadilah pertempuran cukup seru. Namun setelah lama bertempur, Soegih harus menemukan kenyataan Westerling tidak ada di antara para penumpang jip itu.
Akibat penghadangan tersebut, rakyat di sekitar lokasi tersebut harus membayar mahal. Mereka terkena aksi pembersihan KST. Westerling sendiri yang sepertinya sudah paham dirinya tengah diincar Soegih, malah melayangkan surat undangan kepada komandan Djaja Pangrerot itu untuk berunding. Alih-alih dipenuhi, surat itu malah dibalas Soegih dengan caci maki dan kecaman keras terhadap kejahatan KST.
“Saya tidak bersedia menemui Westerling, karena (dalam sejarah) Belanda tidak pernah menepati janjinya,” ungkap Soegih.