Kisah Pembantaian di Cianjur Selatan
Mereka dibawa ke Takokak untuk tak kembali selamanya
Enampuluh delapan makam tak bernama itu tersebar dengan rapi di suatu tanah tinggi. Pohon-pohon rasamala berdiri kokoh di sekitarnya, seolah menaungi makam-makam bernisan putih itu dari sengatan matahari dan curahan hujan. “ Hampir semua orang Takokak tahu, bahwa yang dikuburkan di Bukit Cigunung Putri itu adalah korban-korban pembantaian tentara Belanda zaman perang dulu,” ujar Andin Soebandi (79), mantan lurah di Takokak, Jawa Barat.
Dan memang, sudah sejak 1947, Takokak dikenal sebagai pusat eksekusi orang-orang Indonesia dari wilayah Sukabumi dan Cianjur. Yusup Soepardi (92) masih ingat, sejak sebagian besar anggota Divisi Siliwangi hijrah ke Yogyakarta dan Jawa Tengah pada awal 1948, pembantaian-pembantaian itu semakin menggila terjadi di Takokak.
“Jadi jika dulu ada seseorang yang dibawa ke Takokak, maka sudah bisa dipastikan ia tak akan kembali lagi. “ ujar mantan anggota lasykar yang pernah bertugas di Takokak tersebut.
Ada beberapa titik yang menjadi tempat eksekusi di Takokak. Di antaranya di Jalan Lima, Puncak Bungah, Ciwangi, Pal Dua, Pasirtulang dan Cikawung. Yusup sendiri bahkan pernah menyaksikan sekaligus mengevakuasi lima mayat korban eksekusi di Ciwangi. “ Rata-rata mereka tewas dengan sebuah lubang peluru di tengkuknya masing-masing,” ujarnya.
Atjep Abidin memiliki kisah tersendiri dengan kejadian-kejadian tersebut. Sebagai seorang eks tentara dirinya mafhum bahwa orang-orang yang dieksekusi di Takokak mayoritas adalah orang-orang sipil. “ Yang saya tahu mereka sebelumnya dibon (diambil) dengan truk-truk militer dari penjara Van Delden di Gunung Puyuh, Sukabumi,” ungkap Ketua Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) rayon Takokak itu.
Sesampai di Takokak, para tahanan itu disimpan dahulu di kantor kecamatan atau pos militer Belanda di Bunga Melur. Lantas setelah satu atau dua jam, mereka baru dibawa ke beberapa titik yang sudah disebutkan di atas untuk dihabisi. “ Pimpinan algojonya seorang Belanda totok, namanya dikenal orang-orang Takokak saat itu sebagai Si Werling, orangnya kekar tidak begitu tinggi dan sering pakai baret berwarna hijau,” ujar Atjep.
Dengan mata kepala sendiri, Atjep pernah melihat sekitar 15 lelaki digiring ke arah Jalan Lima oleh Werling dan seorang pengawalnya. Mereka digiring masuk wilayah hutan dengan kondisi diikat secara berantai ke belakang. “Waktu itu saya mengintai dari kejauhan dan melihat orang-orang itu diturunkan secara kasar dari truk militer di pertigaan Pasawahan, lalu ditembak begitu saja “ kenangnya.
Achmad Khumaedi (79) masih ingat bagaimana suatu siang pada 1947, tentara Belanda membawa sang ayah yang bernama Sahi bersama tiga kawannya dari desa Kalibunder ke markas mereka di Nyalindung. “Setelah ditahan beberapa hari di Nyalindung, kami tidak tahu lagi nasib mereka,” ungkap salah seorang ulama di Takokak tersebut.
Belakangan, Khumaedi mengetahui dari keterangan orang-orang Takokak bahwa sang ayah dan kawan-kawannya ditembak mati oleh militer Belanda di kawasan Ciwangi. Tubuh mereka dikuburkan dalam satu lubang dan baru dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Cigunung Putri puluhan tahun kemudian ketika dia mendapat kepastian bahwa tulang belulang yang ditemukan para penduduk dekat pabrik teh Ciwangi adalah ayahnya.
“Saya yakin itu ayah saya, karena saya masih mengenal gesper dan cincin yang dikenakannya,” ujar Khumaedi.
Berapa jumlah pasti orang-orang sipil yang menjadi korban pembantaian oleh militer Belanda di Takokak? Hingga kini, belum ada informasi pasti soal tersebut. Namun, baik Yusup, Atjep maupun Khumaedi yakin bahwa jumlah sebenarnya bisa mencapai ratusan orang.
“ Enampuluh delapan kerangka yang dimakamkan di Cigunung Putri itu baru yang berasal dari Puncak Bungah, dari tempat-tempat lainnya kan belum digali,” ungkap Atjep.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar