Aksi Mayor Boyke Nainggolan di Medan menggegerkan sampai ke Jakarta. Lewat sandi “Sabang-Merauke, dia melancarkan operasi militer menguasai kota dan menggasak uang di Bank Indonesia cabang Medan. Kolonel G.P.H. Djatikusumo, Deputi KSAD untuk Sumatra Utara sampai melarikan diri ke Belawan mencari perlindungan di markas Angkatan Laut (ALRI).
Setelah itu, Boyke dan pasukannya dari Batalyon Infantri 131 meninggalkan kota Medan. Rencananya, Boyke akan bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) bersama atasannya Kolonel Maludin Simbolon yang telah lebih dahulu membangkang. Boyke menggerakkan pasukannya sebagai perlawanan atas sikap pemerintah pusat yang dirasa semena-mena terhadap aspirasi daerah luar Jawa. Namun, Mayjen Abdul Haris Nasution yang menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) terang-terangan menyebut Operasi Sabang Merauke (OSM) sebuah kudeta dan mencap Boyke Nainggolan sebagai pemberontak.
“Kami perlu cepat bertindak, karena jika Mayor Boyke Nainggolan dapat bertahan beberapa hari, maka diperkirakan bahwa Resimen 3 Tapanuli akan memihak ke PRRI, mungkin juga Aceh menyusul, sehingga separuh Sumatra jadi PRRI,” ujar Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 4: Masa Pancaroba Kedua.
Sampai ke Tapanuli
Nasution segera mengerahkan kekuatan penggempur. Pada 17 Maret 1958, sepasukan parakomando dari kesatuan RPKAD (kini Kopassus) diterjunkan ke Belawan. Selain itu, Batalyon 322/Siliwangi dibawah pimpinan Mayor Syafei turut didatangkan untuk menghadapi pasukan Boyke. Operasi ini diberi sandi “Sapta Marga”.
Menurut buku Siliwangi dari Masa ke Masa yang diterbitkan Kodam Siliwangi, serangan balasan ke kota Medan dilakukan dari dua arah. Dari arah Belawan dibawah pimpinan Djatikusumo. Sementara itu, dari kota Brastagi di bawah pimpinan Letkol Djamin Gintings yang ditunjuk sebagai panglima Teritorium I/Bukit Barisan menggantikan Simbolon. Pukul 07.30 pagi kota Medan telah dikuasai oleh pasukan pemerintah.
Baca juga: Aksi Pembangkangan Boyke Nainggolan
Di sisi lain, Boyke Nainggolan dengan pasukannya telah melarikan diri ke arah Tapanuli. Dalam pelariannya, mereka menghindari rute biasa, yaitu melalui Pematang Siantar dan Tebing Tinggi. Di kota-kota itu terdapat kesatuan TNI dibawah pimpinan Mayor Manaf Lubis yang setia kepada pemerintah. Konvoi pasukan Nainggolan mengambil jalur memutar dari Lubuk Pakam, Galang, Bangun Purba, dan Saribu Dolok kemudian menyusuri daerah pinggiran Danau Toba sampai di Parapat. Sebagian lagi berpencar ke Langkat menuju Aceh.
Sebelum mengambil jalur memutar, iring-iringan pasukan Boyke Nainggolan sempat dihadang pesawat-pesawat tempur AURI jenis Mustang. Nasution menuturkan, komandan AURI setempat melapor bahwa ada satu konvoi besar menuju Tanjung Morawa keluar kota. Ia minta perintah ditembak atau tidak. Karena ragu, Nasution memerintahkan jangan ditembak. Padahal, konvoi tersebut merupakan pasukan Nainggolan yang menuju Pematang Siantar.
Baca juga: Boyke Nainggolan, Tragedi Opsir Terbaik
“Setelah mengalami beberapa rintangan, seperti serangan udara dekat Saribu Dolok sewaktu salah satu pesawat AURI yang menyerang tertembak jatuh dan serangan tidak berarti beberapa kali sepanjang jalan Saribu Dolok-Parapat, rombongan OSM (Operasi Sabang Merauke) sampai dengan selamat di Parapat,” tulisa Payung Bangun dalam Kolonel Maludin Simbolon: Lika-liku Perjuangannya dalam Pembangunan Bangsa.
Pada 19 Maret 1958, Boyke Nainggolan dan sebagian pasukannya berhasil memasuki Tapanuli. Untuk sementara waktu, Nasution mengehentikan pengejaran. Sebelumnya, Nasution telah berjanji tidak akan menjadikan Tapanuli sebagai arena pertempuran selama komandan setempat tidak berpihak kepada PRRI.
Pusat Bersiasat
Nasution kemudian menjalankan siasat agar tentaranya dapat memasuki Tapanuli. Nasution melalui Letkol Djamin Gintings memerintahkan Mayor Sahala Hutabarat, komandan Resimen III yang memegang wilayah operasi Tapanuli menangkap Boyke Nainggolan. Perintah itu dengan berat hati ditolak oleh Mayor Sahala.
Dalam mengambil putusan itu, menurut Payung Bangun, Mayor Sahala dipengaruhi berbagai pertimbangan. Pertama, pasukannya dalam keadaan tidak utuh karena sebagian besar berada di Aceh menghadapi pemberontakan Daud Beureuh. Kedua, Mayor Sahala tidak ingin masyarakat Tapanuli terkena imbas kekerasan dari sengketa antara pusat dengan daerah. Ketiga, kebanyakan perwira yang terlibat dalam OSM merupakan kawan seperjuangan Mayor Sahala semasa perang kemerdekaan. Dengan adanya insubordinasi dari Mayor Sahala itu, maka Nasution melancarkan operasi militer ke wilayah Tapanuli.
Baca juga: Djamin Gintings Nyaris Dibunuh
Pada 11 April 1958, sebanyak tiga batalion dikerahkan mengepung Tapanuli. Dari Sidikalang bertolak pasukan Mayor Palawi didampingi Letkol Djamin Gintings merebut garis Sidikalang-Dolok Sanggul-Siborong-borong-Tarutung. Dari Parapat, bergerak pasukan Siliwangi pimpinan Mayor Syafei merebut Parapat-Porsea-Balige-Siborong-borong-Tarutung. Dari Rantau Parapat, pasukan Mayor Raja Sjahnan didampingi Kolonel Djatikusumo merebut garis Rantau Prapat-Kota Pinang-Gunung Tua-Padang Sidempuan-Sibolga.
Ketika pasukan yang dipimpin Djamin Gintings akan memasuki Tarutung, dijawab dengan perlawanan oleh Mayor Sahala dengan menjalankan taktik gerilya. Mayor Sahala pun dianggap resmi melawan pemerintah. Tiada pilihan lain, bersama pasukannya yang setia, Mayor Sahala menyatakan bergabung dengan PRRI.
Baca juga: Mayor Boyke Nainggolan vs Kolonel Djatikusumo
“Dan pada 23 April, Tarutung diduduki dan di kota itu menyerahkan diri pula pasukan-pasukan Batalyon 131 bersama Mayor Boyke Nainggolan,” tulis Nasution.
Pada 27 April 1958, Tarutung, Sibolga, dan kota-kota besar lainnya di Tapanuli telah dikuasai oleh pemerintah pusat. Namun itu semua bukanlah akhir, justru awal babak baru perlawanan terhadap pusat. Dalam otobiografinya Berjuang dan Mengabdi, Maraden Panggabean menyebut, “terjadilah kemudian perang gerilya dan anti-gerilya selama tiga setengah tahun di Tapanuli,”