Masuk Daftar
My Getplus

Drama Tapol PRRI dan Tapol PKI dalam Penjara

Dalam penjara sekalipun, para tapol kiri dan kanan masih tidak bisa akur. Sekedar berbagi bawang pun tak sudi.  

Oleh: Martin Sitompul | 28 Sep 2023
Para pimpinan PRRI berkumpul di Padang, Maret 1958. Pimpinan Partai Masyumi Mohammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara masing-masing berdiri diapit tiga perwira militer. Foto: James Burke/Life.

Sejumlah tahanan politik PRRI dipindahkan dari rumah tahanan militer di Jakarta ke Madiun. Mereka menempati sebuah wisma di Jalan Wilis yang terdiri dari empat blok bangunan. Masing-masing blok berisi kamar-kamar besar maupun kecil yang mampu menampung hingga seratus orang tahanan. Di tempat itulah beberapa politisi dari Partai Masyumi dan PSI ditahan sejak akhir tahun 1962.

Segelintir nama para penghuni Wisma Wilis antara lain Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, KH. Isa Anshary, Engku Zaenal Muttaqien, dan M. Yunan Nasution. Sebagai orang tahanan, tak banyak yang bisa mereka lakukan di Wisma Wilis. Apalagi keluarga jarang membesuk lantaran jarak yang jauh dari Jakarta. Tapi, hari-hari para tahanan tetap disibukkan dengan rupa-rupa kegiatan.

Di dalam penjara, mereka banyak mendalami kitab suci Al-Qur’an atau mendengarkan siaran radio luar negeri. Sementara, di luar penjara, para tapol merambah pekarangan penjara dengan bercocok tanam. Kegiatan ini dimungkinkan karena luas pekarangan Wisma Wilis mencapai 4000 meter persegi. Mereka menanami berbagai jenis tanaman palawija seperti bawang, cabe, tomat, dan pepaya.

Advertising
Advertising

Baca juga: Rumah Tahanan Masyumi

Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Tanaman di pekarangan penjara Wisma Wilis bertumbuh dan berbuah. Sementara itu, di Jakarta, meletus peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Orang-orang PKI ditangkapi. Begitu juga di Madiun. Tokoh-tokoh PKI setempat dijebloskan ke penjara Wisma Wilis. Sebagaimana orang-orang Masyumi, orang-orang PKI ini juga ditahan dengan status tahanan politik (tapol).

Menurut Yunan Nasution, keberadaan orang PKI di Wisma Wilis memberikan rasa tidak nyaman bagi dirinya dan kawan-kawan penghuni lama. Mereka enggan hidup berdampingan dengan orang-orang PKI di dalam penjara. Permohonan lantas diajukan agar tahanan non-komunis dipindahkan dari Madiun. Permohonan dikabulkan.

Pada akhir Oktober, para tapol PRRI dipindah kembali dari Madiun ke RTM Budi Utomo Jakarta. Dalam perjalanan, Yunan teringat suasana perubahan di Wisma Wilis yang sudah dipenuhi oleh tahanan PKI. Namun, Yunan merasa beruntung karena tanaman di kebun pekarangan Wisma Wilis sudah lebih dulu mereka panen dan nikmati.

“Kami tidak rela sekulit bawang pun hasil-hasil yang kami pelihara dengan keringat kami sendiri dinikmati orang-orang komunis,” kata Yunan dalam biografi Catatan Perjuangan: H.M. Yunan Nasution yang ditulis Badruzzaman Busyairi.

Baca juga: Jenderal Pranoto, Ketua RT Para Tapol

Di RTM Budi Utomo para tapol PRRI dan Permesta dari Malang sudah lebih dulu tiba. Mereka antara lain Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Maludin Simbolon, Ventje Sumual, Nun Pantouw, dan Rudolf Runturambi dan lainnya. Orang-orang ini ditempatkan di Blok Timur atau dikenal dengan sebutan SOB. Ternyata kondisi RTM juga serupa. Tahanan non-komunis digabung bersama orang-orang PKI yang ditangkapi tentara. Situasi RTM mendi jadi penuh sesak.

“Bahkan membuat suasana tidak enak bagi Natsir dan teman-temannya yang non-komunis. Berkumpulnya dua kelompok tahanan ini bagaikan mencampur minyak dengan air. Oleh karena itu, para tahanan non-komunis mengajukan permohonan agar mereka dipindahkan dari sana,” catat M. Dzulfikriddin dalam M. Natsir Sejarah Politik Indonesia: Peran dan Jasa Mohammad Natsir dalam Dua Orde Indonesia

Yunan mengenang, keadaaan di RTM jauh lebih mencekam daripada di Wisma Wilis. Setelah tahanan komunis dan nonkomunis disatukan, makanan tidak lagi diantar ke tempat masing-masing. Para tahanan harus mengambil sendiri makanan ke dapur yang jaraknya mencapai 400 meter jalan berkelok-kelok. Situasi ini menyebabkan ketegangan di antara dua kelompok tapol. Para tapol PRRI yang tertekan memutuskan selama seminggu tidak mengambil jatah makanan. Beruntung suplai makanan datang dari keluarga yang berkunjung.

“Berbareng dengan itu dikirim delegasi terdiri dari Mohamad Roem dan Anak Agung menghadap kepala RTM. Hasilnya, esok hari jatah makanan dikirim langsung ke kamar masing-masing,” catat Badruzzaman.

Baca juga: Tak Ada Lauk untuk Tapol Moncongloe

Kejadian yang lebih dramatis dialami Maludin Simbolon. Pada suatu hari Minggu, dia bersama Ventje Sumual jalan dari blok mereka ke blok depan untuk menerima keluarga yang membesuk. Tiba-tiba ada satu orang yang datang berlari sambil menangis menghampiri Maludin.

“Saya tidak bersalah, Pak. Saya tidak bersalah,” teriaknya seraya merangkul Maludin.

Orang itu ternyata Brigjen Ulung Sitepu, gubernur Sumatra Utara. Maludin ingat sewaktu dirinya membelot dari pemerintah pusat untuk bergabung dengan PRRI, Ulung Sitepu adalah salah satu perwira yang ditugaskan menangkapnya. Peristiwa itu terjadi di malam Natal, ketika Maludin menyelenggarakan jamuan pesta di kediamannya, sejumlah perwira dari Kodim hendak meringkusnya. Setelah G30S, Ulung dipenjara karena dianggap mendukung PKI. Pencalonannya sebagai gubernur juga diusung oleh PKI. Kendati ingatannya tentang Ulung Sitepu terkuak kembali, Maludin masih dapat mengontrol diri.

“Jangan bikin malu, dilihat orang, nangis,” kata Maludin pada Ulung saat itu.

Baca juga: Drama Malam Natalan: Kisah Penangkapan Kolonel Maludin Simbolon

“Saya bawa dia ke selnya kembali. Saya tenangkan dia,” kenang Maludin dalam Mutiara, No 832, 1—7 Oktober 1996.

Pada Februari 1966, para tapol PRRI dipindahkan ke sebuah rumah di Jalan Tembok, Jakarta Kota. Setelah jalan sempit itu diubah namanya menjadi Jalan Keagungan, maka rumah tahanan itu lebih dikenal dengan nama Wisma Keagungan. Tidak begitu lama mereka ditahan di Wisma Keagungan. Setelah Presiden Sukarno digantikan oleh Soeharto, para tahanan politik itupun segera memperoleh kebebasannya.

TAG

prri pki masyumi tahanan politik

ARTIKEL TERKAIT

M Jusuf "Jalan-jalan" ke Manado Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Sudharmono Bukan PKI D.N. Aidit, Petinggi PKI yang Tertutup Suami-Istri Cerai Gara-gara Beda Partai Abdoel Kaffar Ingin Papua dan Timor Masuk Indonesia Redup Terang Bulan Bintang Arief Amin Dua Kali Turun Pangkat Ketika Nama PKI Diprotes Peredaran Rupiah Palsu di Taiwan