Rumah Tahanan Masyumi
Politisi Partai Masyumi menjadi tahanan politik di rumah tahanan militer. Mereka ditahan atas keterlibatan dalam pemberontakan di daerah.
Yunan Nasution, sekjen Partai Masyumi, menunggu giliran masuk ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Budi Utomo pada 7 April 1962. Ia tak sendirian. Bersamanya sejumlah kader Masyumi turut digelandang polisi militer, antara lain K.H. Isa Anshary, juru bicara Partai Masyumi, dan Ir. Ondang, pejabat Bank Indonesia sekaligus fungsionaris partai. Mereka ditahan atas keterlibatan sejumlah petinggi Masyumi dalam pemberontakan di daerah. Kelompok pemberontakan ini lebih dikenal dengan nama PRRI, pemerintahan tandingan yang menentang pemerintah pusat.
“Kyai Isa dan Yunan Nasution dan Ir. Ondang masuk disel. RTM artinya Rumah Tahanan Masyumi,” begitulah lelucon kawan-kawan sesama tahanan seperti dicatat Mochtar Lubis dalam Catatan Subversif.
RTM resminya bernama Asrama Tuna Terpidana Militer (Astuntermil). Karena terletak di Jalan Budi Utomo No. 7, Jakarta Pusat, ia lazim disebut RTM Budi Utomo. Penjara ini seyogianya diperuntukkan bagi personel militer yang melakukan pelanggaran. Namun, pada awal 1960, RTM ini juga difungsikan sebagai tempat tahanan politik, selain tahanan militer.
Baca juga: Kesaksian Tiga Eks Tapol 1965
Meski bukan berasal dari kalangan politisi, Mochtar Lubis lebih dulu menghuni RTM Budi Utomo. Pemimpin redaksi Indonesia Raya ini ditahan sebentar pada 1956 atas sangkaan berkomplot dengan Kolonel Zulkifli Lubis yang menentang pimpinan Angkatan Darat. Zulkifli Lubis kemudian bergabung dengan PRRI sehingga Mochtar Lubis ditahan lagi pada 1961.
Sebagai penjara kecil, kapasitas RTM Budi Utomo hanya bisa menampung sekira 200 tahanan. Dalam Mochtar Lubis Bicara Lurus: Menjawab Pertanyaan Wartawan, Mochtar Lubis menyebut RTM Budi Utomo sebagai penjara terburuk. “Di situ saya dicampur dengan tahanan kriminal yang diperlakukan jauh lebih buruk dari saya,” katanya.
Sementara itu, Yunan Nasution menempati ruangan sebuah kamar berdinding batu berukuran 3x3 meter di blok timur. Perabotan di dalam kamar hanya seadanya. Selain sehelai tikar lusuh, ada sebuah bantal dan sehelai kain kelambu kumal. Untuk makan dilengkapi peralatan berupa satu piring dan satu mangkok. Selama di RTM Budi Utomo, ruang geraknya dibatasi. Besuk dari keluarga hanya diizinkan saat hari raya.
“Berbicara dengan sesamanya, membaca koran menerima kunjungan baik dari keluarga maupun handai tolan serta para simpatisan, semuanya dilarang. Kiriman makanan tidak bisa langsung diterima. Hal semacam itu berlangsung terus sampai Hari Raya Idul Adha (Mei 1962),” tulis Badruzzaman Busyairi, penulis biografi Catatan Perjuangan H.M. Yunan Nasution.
Baca juga: Kisah Jenaka Para Petinggi PRRI/Permesta
Pada akhir Desember 1962, Yunan Nasution, Isa Anshary, dan Engku Zaenal Muttaqien (anggota DPR dari Partai Masyumi) dipindahkan ke penjara Madiun. Turut dipindahkan tahanan politik lain seperti Mochtar Lubis dan H.J.C Princen. Petinggi Masyumi yang lain gantian menjadi penghuni RTM Budi Utomo pada September 1963.
Setelah dua tahun mendekam di rumah tahanan di Batu, Malang, rombongan Mohammad Natsir dipindahkan ke RTM Budi Utomo. Seperti dicatat Lukman Hakiem dalam Biografi Mohammad Natsir: Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan, mereka yang turut dipindahkan bersama Natsir ialah Sjafruddin Prawiranegara, Boerhanuddin Harahap, dan Mr. Assaat. Selain tokoh Masyumi, para perwira militer yang menjadi pentolan PRRI-Permesta turut bergabung seperti Kolonel Maluddin Simbolon dan Letkol Ventje Sumual.
Pada Oktober 1965, Yunan Nasution, Isa Anshary, dan Muttaqien pindah kembali ke RTM. Selain mereka, tokoh Masyumi yang dipindahkan dari Madiun ke RTM ialah Prawoto Mangkusasmito dan Mohammad Roem. Bersama mereka ada juga beberapa tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang termasuk rombongan dari Madiun itu.
Baca juga: Beda Cara PSI dan Masjumi
Setelah meletus peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965, sejumlah tahanan G30S juga dijebloskan ke RTM. Kedatangan tahanan G30S menyebabkan RTM penuh sesak. Selain itu, tahanan politik dari Masyumi risih membaur dengan tahanan G30S. Kebanyakan tahanan G30S berasal dari Partai Komunis Indonesia (PKI) dan simpatisannya. Kedua kubu tahanan politik yang berbeda ideologi ini bahkan acapkali bersitegang, terutama saat jam makan.
“Berkumpulnya dua kelompok tahanan ini bagaikan mencampur minyak dengan air. Oleh karena itu, para tahanan non-komunis mengajukan permohonan agar mereka dipindahkan dari sana,” tulis M. Dzulfikriddin dalam Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia.
Pada Februari 1966, tahanan politik Masyumi dan tahanan politik non-komunis lain dipindahkan ke rumah tahanan yang terletak di Jalan Tembok, Jakarta Kota. Menurut Dzulfikriddin, setelah jalan sempit itu diubah namanya menjadi Jalan Keagungan, maka rumah tahanan itu lebih dikenal dengan nama Wisma Keagungan. Mereka baru dibebaskan pada Mei 1966, setelah terbit Surat Perintah 11 Maret yang menjadi tonggak peralihan kekuasaan dari Presiden Sukarno ke Jenderal Soeharto.
Baca juga: Lambaian Jenderal Tapol
RTM Budi Utomo sendiri ditutup pada 1978. Penjara ini sempat bersalin rupa menjadi bagian dari SMA I “Boedoet”. Saat ini bangunan penjaranya sudah rata dengan tanah.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar