Kesaksian Tiga Eks Tapol 1965
Bagi mereka, disiksa itu sudah biasa. Bertahan hidup dengan cara yang berbeda-beda.
Tuba bin Abdurahim berasal dari keluarga miskin di Brebes. Demi mengubah nasib, dia merantau ke Jakarta bermodal ijazah Sekolah Rakyat. Itu terjadi pada titimangsa 1962, usianya baru 18 tahun. Saat itu, ibu kota sedang berdandan dengan pembangunan proyek mercusuar Presiden Sukarno. Pikir Tuba, ada banyak kesempatan kerja menantinya.
Di Jakarta, Tuba gonta-ganti profesi. Sempat menjadi pegawai negeri Dinas Pekerjaan Umum tapi ia dipecat karena nyambi jadi tukang catut karcis bioskop. Ia kemudian menjadi pedagang kaki lima, tukang parkir, hingga akhirnya mantap bekerja sebagai loper koran. Dalam mendapatkan pekerjaan, Tuba banyak dibantu kakaknya, Tohar, seorang kader Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berkedudukan di Front Nasional.
Pada 1963, Tuba bergabung dengan organisasi Pemuda Rakyat yang secara politik berafiliasi dengan PKI. Setahun kemudian, ia masuk barisan sukarelawan Dwikora yang dipersiapkan untuk menggagalkan pembentukan negara federasi Malaysia.
“Saya sebagai seorang Pemuda Rakyat yang ingin mendarmabaktikan jiwa dan raga untuk bangsa dan negara mendaftarkan diri jadi sukarelawan Dwikora yang dikomandoi oleh Bung Karno,” kata Tuba (78 tahun) dalam diskusi “Mengenal Tapol Pulau Buru” dalam seri “Warisan Ingatan” sepekan lalu (30/5).
Baca juga: Kegamangan Sukarno Mengganyang Malaysia
Latihan-latihan militer para sukarelawan bertempat di di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Pada malam 30 September 1965, Tuba menjalankan tugas ronda malam di Lubang Buaya. Keberadaan Tuba di lokasi itu kemudian menjadikannya pesakitan sebagai tahanan politik (tapol). Padahal, ia sendiri tidak tahu-menahu mengenai operasi penculikan para jenderal Angkatan Darat yang berlangsung pada malam itu.
“Setelah G30S meletus, saya malah jadi korban persekusi target penangkapan. Akhirnya saya ditangkap, disiksa, dan dimasukkan ke dalam penjara,” kenangnya.
Tuba sempat menyaksikan gerombolan tentara mengeksekusi beberapa jenderal yang kemudian dibenamkan dalam sumur tua. Peristiwa itu dikenal sebagai G30S (Gerakan 30 September) yang menurut narasi sejarah resmi didalangi PKI. Sebagai anggota Pemuda Rakyat, Tuba turut menanggung kesalahan yang ditimpakan pada partainya. Selama 14 tahun ia mendekam dalam penjara dan berpindah-pindah. Mulai dari Polres Brebes, ia kemudian ditahan di Penjara Salemba, Penjara Tangerang, Penjara Nusakambangan, hingga Pulau Buru. Ia melalui hidup dari penjara ke penjara tanpa proses pengadilan sampai dibebaskan tahun 1979.
Nelangsa serupa juga mendera Madarif (73 tahun) dan Harun Sulaiman (80 tahun).
Seperti Binatang
Seperti Tuba, Darif merupakan anggota Pemuda Rakyat cabang Bogor sejak usia 16 tahun. Ia aktif membantu para petani di kampungnya menjalankan program gotong royong, seperti bantuan modal usaha atau penyediaan bibit. Untuk lingkup kecamatan, nama Darif cukup dikenal. Meskipun ada saingan dari organisasi lain seperti Pemuda NU dan Pemuda Marhaen, menurut Darif organisasinya lebih maju dalam kegiatan masyarakat. Itu sebabnya banyak sekali kaum pemuda yang menyeberang menjadi kader Pemuda Rakyat.
“Begitu terjadi adanya G30S, mau tidak mau saya ditangkap, langsung dibawa ke Kecamatan Cigudeg tanggal 14 Oktober 1965. Kalau katanya penyiksaan jangan dikata lagi. Sebelum diperiksa juga sudah disiksa dulu,” kata Darif.
Baca juga: Gaya PKI Memikat Rakyat
Seminggu kemudian, Darif dipindahkan ke Penjara Bogor di Jalan Paledang. Darif sudah tidak aneh melihat teman-temannya dipukuli.
“Kami diperlakukan seperti binatang. Makanan kami itu dicampur pakai gabah,” tuturnya.
Berselang tiga tahun, Darif pindah lagi berturut-turut ke Bandung, Nusakambangan, terus ke Pulau Buru.
Setiba di Pulau Buru, keadaan bukan lebih baik. Para tapol ditampung di kamp konsentrasi yang disebut "unit" yang berjumlah 18. Satu unit bisa dihuni ratusan hingga beribu orang. Darif menghuni unit dua. Dalam serba keterbatasan, acapkali Darif terpaksa makan daun-daun liar untuk menyambung hidup.
“Kami datang ke sana semenit pun tidak ada istirahat. Karena untuk tempat tidur kami ini adalah salah satu barak yang masih belum selesai. Di atasnya belum dikasih atap. Kami membersihkan alang-alang dengan tangan kosong. Sedihnya luar biasa,” kenang Darif.
Sementara itu, Sulaiman adalah seorang guru di SD Negeri Banjarsari, Cilacap. Di luar aktivitas sebagai pengajar, Sulaiman menjabat ketua Comite Resort Besar (CRB, setingkat kelurahan) PKI. Menurutnya, situasi politik di Cilacap memanas setelah G30S meletus di Jakarta. Pasukan RPKAD bahkan telah memasuki Cilacap sejak akhir Oktober untuk menangkapi orang-orang PKI. Sulaiman sendiri ditahan di Penjara Cilacap sejak November 1965.
“Setiap malam mulai maghrib itu terjadi siksaan-siksaan, rintihan-rintihan, tembakan-tembakan, suara-suara pukulan. Saya diperiksa pertama kali 18 November. Pemeriksaan sesungguhnya secara resmi adalah tempat pembantaian,” tutur Sulaiman.
Penyiksaan-penyiksaan itu, kata Sulaiman, bagi para tapol seperti adu ketahanan fisik. Mereka yang keluar dari tahanan itu umumnya dipotong kalau tidak mati di situ. Usai diperiksa dalam satu kamar yang tidak ada cahaya lampu, Sulaiman menyaksikan tumpukan-tumpukan manusia yang habis disiksa. Mereka teman-teman Sulaiman.
“Ada yang masih hidup, ada yang sudah mati, bahkan ada yang lebih dari mati,” kenangnya.
Baca juga: Lambaian Jenderal Tapol
Sulaiman kemudian dibuang ke Nusakambangan. Setiap sebulan sekali, Sulaiman dibawa ke Cilacap untuk pemeriksaan. Pemeriksaan artinya penyiksaan. Sulaiman menolak menandatangani pernyataan pengakuan bahwa, “pada tanggal sekian kamu ke Jakarta ikut membunuh jenderal.” Mereka yang tidak mau mengaku kebanyakan mati. Dari 18 kali pemeriksaan, enam kali Sulaiman disetrum pakai aki listrik. Kalau sudah disetrum orang tidak bisa jawab. Kata-kata pun menjadi gagap.
Setelah ditetapkan statusnya sebagai tapol kelas C, Sulaiman dipindahkan ke Penjara Pekalongan, yang tidak lain kamp pengasingan. Dari Pekalongan kemudian ke Pulau Buru melalui Nusakambangan. Karena Pelabuhan Cilacap dangkal, para tapol diseberangkan menuju kapal Sunan Gunung Jati menggunakan tongkang. Beberapa di antaranya mengalami nahas tergelincir kala menaiki anak tangga yang licin ditambah tongkang yang diterjang arus.
Pelayaran menuju Pulau Buru ditempuh selama 9 hari 10 malam. Dari tempat penampungan sementara menuju hutan yang menjadi tujuan terakhir masih memakan waktu beberapa jam lagi; menyusuri hutan-hutan bakau dan rumbia. Selama perjalanan, Sulaiman dan kawan-kawannya tiada bicara sepatah kata pun. Mereka hanya membatin yang isinya kurang lebih sama satu dengan yang lain.
“Oh inilah sesungguhnya stasiun yang terakhir, tempat kami mati.”
Bertahan Hidup
Tuba, Darif, dan Sulaiman tetap bertahan hidup kendati siksaan fisik dan mental kerap mendera mereka selama menyandang status tapol. Namun, ketiganya punya cara masing-masing menghadapi kerasnya kehidupan penjara. Tuba, misalnya, mengaku selalu mencoba untuk menghibur dirinya bahkan orang lain. Menurutnya, hati yang gembira membantunya mengubah penderitaan menjadi biasa saja, khususnya selama pembuangan di Pulau Buru.
“Waktu dibawa ke Pulau Buru, saya di atas kapal masih bernyanyi lagu ‘Kembali ke Jakarta’, ‘Kapan-Kapan Kita Berjumpa Lagi’ di tengah suasana yang sangat menyeramkan. Dengan orkes seadanya kita bernyanyi bahkan direkam oleh komandan laut KRI Teluk Tomini 508,” kenang Tuba.
Baca juga: Jenderal Nasution: PKI Bukan Musuh Kita Lagi
Sementara itu, Darif benar-benar berjuang untuk bertahan hidup. Bagi Darif, meski dirinya tersiksa dengan berbagai perlakuan penguasa setempat, yang penting perutnya harus kenyang. Sebagai orang Sunda yang suka makan lalap-lalapan, ternyata manjur bagi Darif menghadapi ganasnya Pulau Buru.
“Saya makan apa saja, lalapan daun mentah-mentah, yang penting bisa dimakan. Pokoknya yang enggak bikin mabok,” terang Darif. Bahkan, karena kesulitan pangan, ada kalanya Darif makan binatang yang ditemui mentah-mentah. Dia terpaksa, demi menyambung nyawa.
Adapun Sulaiman, lebih pasrah dan legowo. Ia keukeuh bahwa tujuannya mulia, selaras dengan tujuan partai untuk melepaskan rakyat Indonesia dari kemiskinan. Tapi itu ternyata belum mampu membebaskan si miskin wong cilik karena kebodohan kader partai. Kendati demikian, Sulaiman menerima kenyataan bahwa perjuangannya gagal.
Baca juga: Pengakuan Dewa Soeradjana, Eksil Indonesia di Slovenia
“Bagi orang yang kalah ya seperti saya ini, sing diinjek-injek sampai gepeng, nyawa pun banyak melayang. Ya, itulah perjuangan. Saya terima kenyataan ini dengan lapang dada,” katanya lirih.
Terlepas dari bagaimana cara mereka bertahan hidup, ketiganya meyakini pertolongan Sang Khalik dalam perjalanan hidup masing-masing. Dari menyandang status tapol yang begitu nista kini mereka menjadi penyintas. Dengan demikian, memberi kesempatan mereka menuturkan kembali Peristiwa 1965 dari sudut pandang orang biasa.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar